Apakah ada Sastra di Ciputat? | Surat kepada Imam Budiman

Dari tulisan Imam Budiman sebelumnya, saya bertanya apakah sastra itu beneran ada di Ciputat?

Pasca pemilu kemarin, di pesisir Halte UIN Jakarta sambil menikmati estetika kemacetan dan polusi yang terlanjur jadi sahabat itu, serta menikmati kemelaratan dengan meneguk kopi tiga ribuan, saya membaca tulisan perihal sastra dan Ciputat milik Imam Budiman yang menarik dan ciamik terjelaskan dalam puluhan paragraf yang tersusun rapi sebagai penggiat sastra yang ulung, tertib, dan serius.

Diketahui artikel milik Imam Budiman diterbitkan oleh Sudut Kantin Project dengan tajuk “Selama Mahasiswa UIN Jakarta Hanya Menonton Festival Musik, Ekosistem Sastra Di Ciputat Tidak Baik-baik Saja (5/2/2024). Sependek bacaan saya yang bukan dari kalangan mahasiswa dan tidak terdidik ini, lebih-lebih yang tidak paham dan mengerti sastra, saya kira itu cukup mengesankan dan keren analisanya. Namun, sungguh disayangkan dan dikhawatirkan bahwa penulis hanya memperhatikan siklus, detail, dan hal-ihwal sastra di dunia kampus (UIN Jakarta) saja.

Tulisannya tidak melebar dan mendalam melihat kenyataan dan kebenaran yang terjadi di Ciputat itu sendiri, tentunya soal sastra. Lebih-lebih sebagai sebuah pertanyaan orang yang tidak terdidik ini: Apakah sastra itu beneran ada di Ciputat? Maksudnya, sastra yang dikenal sebagaimana musik-musik populer yang diklaim terpengaruh dengan bahasa-bahasa puitis menye-menye mirip puisi?

Tapi, konon, bukankah semua orang juga mengetahui puisi-puisi Pak Sapardi viral akibat lagu Jason Ranti (Jeje) dan sebab itu pula sastra punya tempat tersendiri di selayang pandang orang-orang saat ini? Ah, mungkin saya kurang update soal beginian, terlebih saya bukan dari dunia sastra dan UIN Jakarta itu sendiri.

Saya tahu pertanyaan di awal itu semacam kebodohan yang terus terang terpamerkan, karena secara jelas, Mas Imam, di judul artikelnya mengklasifikasikan “Mahasiswa” bukan masyarakat Ciputat, terlebih dipaparkannya pula perihal ekosistem sastra yang berada di UIN Jakarta. Namun, bukankah sebagai seorang yang kebetulan setiap hari melihat Gedung UIN Jakarta—terlebih saya pernah masuk ke dalamnya sebagai bukan mahasiswa dan tak pernah tahu apa itu sastra, budaya atau dunia akademik—bolehkah saya sedikit menanyakan kembali maksud baik, Mas Imam, yang terpaparkan pada tulisannya itu?

Berikut pertanyaan-pertanyaan yang akan saya paparkan—dengan harapan dijawab–dalam bentuk-bentuk yang tak terdidik dan sastrawi sebagaimana harus dan mestinya.

Pertama, melihat judul yang amat jelas bahwa dicantumkan kata-kata ekosistem sastra di Ciputat tidak baik-baik saja, apa sebenarnya ada sastra di Ciputat itu sendiri? Maksudnya begini, sastra di Ciputat itu secara universal bagi masyarakat Ciputat atau klasifikasi khusus yang meminjam kata Ciputat itu sendiri?

Jelas, semua warga Ciputat tahu bahwa UIN diklaim dan dikampanyekan sebagai sumber intelektual yang melahirkan banyak orang-orang hebat bagi Indonesia itu sendiri, terlebih bilamana melongok—sependek pengelihatan orang yang tidak terdidik ini—banyak yang mewacanakan Ciputat adalah tempat lahirnya para orang-orang besar sehingga punya ruang, yang biasa disebut mazhab, pemikiran dengan corak yang pastinya unik dan keren.

Sastra di Ciputat, sebagaimana yang terpaparkan pada tulisannya, disebutkan pula nama-nama tokoh besarnya misalnya Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, Danarto, Eka Kurniawan, dan Seno Gumira Ajidarma, apa sudah mewakili Ciputat atau bisa dianggap bahwa ada sastra di Ciputat itu sendiri? Amat jelas bahwa pertanyaan yang saya ulang-ulang itu menunjukkan rasa penasaran karena sebelumnya saya belum pernah dengar bahwa warga Ciputat itu punya ekosistem sastra—kecuali Mahasiswa UIN Jakarta yang kebetulan ada dan berkeliaran di Ciputat. Apakah ada sastra di Ciputat?

Selanjutnya, ekosistem sastra di Ciputat yang terpaparkan pada tulisan itu sebetulnya arahnya ke mana dan untuk apa? Saya tahu– kebetulan pernah-pernah denger dari pengendara ojek online yang nyeruput kopi tiga ribuan–bahwa mahasiswa UIN itu sering ribut untuk hal-hal yang sifatnya elektoral sebagaimana orang-orang politik yang terpajang di muka media dan mulut-mulut pendukungnya.

Tapi apakah diskusi-diskusi yang juga terjelaskan pada tulisannya itu sudah mewakili dan menjelaskan sastra di Ciputat? Melihat kata-katanya yang berbunyi: mahasiswa kinyis-kinyis generasi pandemi, yang terdengar kritik atas ketidakpedulian mahasiswa terhadap sastra dan diskusi-diskusi disiplin ilmu mutahir itu agaknya patut diacungi jempol sebagai seseorang yang amat peduli dengan nasib dunia diskusi sebagai alternatif pembentukan ideologis per individu.

Jadi, ekosistem sastra itu maksudnya bagaimana, Mas? Saya tahu, salah satu penulis rusa besi telah berhasil memenangkan penghargaan susastra dan pastinya penilaian atas keberhasilan ekosistem bukan terletak pada kemenangannya. Apakah ekosistem sastra di Ciputat akan terlaksana sebagaimana maksud baik, Mas, itu? Apakah ada sastra di Ciputat? Apakah ada?

Kedua, melongok tulisannya—yang tercantum pada paragraf kesepuluh pada sub judul “daerah istimewa Ciputat dan sekitarnya“—yang berbunyi “saya pernah menelusuri secara aktif sekitar tahun 2017-2019, perhelatan sastra yang diadakan di kafe-kafe sekitar Ciputat-Pamulang. Ada banyak kafe yang cukup rutin mengadakan agenda bulanan seperti malam Puisi, Musikalisasi Puisi, dan diskusi Karya“, saya kira itu satu hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Ciputat itu sendiri.

Sebab, Mas Imam, secara aktif tahun 2017-2019 di kafe-kafe Ciputat-Pamulang itu (yang tertulis secara terang-terangan) sudahkah ada keterangan fakta dan data bahwa Ciputat atau yang saya maksud warga Ciputat mengetahui atau menyadari bahwa beneran ada sastra Ciputat? Atau, apakah itu semua hanya satu klaim atas klaim mengenai Ciputat dan sastra itu sendiri?

Bukankah, atas pendapat pribadi saya, sastra, karya sastra, dan pembaca sastra itu satu ekosistem dan tak terpisahkan sehingga ia menjadi bulatan yang bernilai seni keindahan dan nilai makna itu sendiri? Jadi, sastra dan Ciputat itu maksudnya bagaimana? Sudahahkah penikmat, penggiat, dan pemerhati sastra (terkhusus yang dipaparkannya) di Ciputat dari kalangan mahasiswa mengampanyekan sastra kepada khalayak umum, terlebih kepada warga kecamatan Ciputat, kecamatan Ciputat Timur dan warga Tangerang Selatan? Sekali lagi saya tanya, apakah ada sastra di Ciputat?

Pertanyaan yang masih sama seperti paragraf di atas perihal sastra dan Ciputat itu sendiri, yakni apakah ada sastra di Ciputat? Sebab di paragraf yang sama dan di bawahnya terjelaskan bahwa “sedangkan hari ini, adik-adik mahasiswa kita tercinta lebih suka berlomba-lomba memantau jadwal tiket festival musik paling murah di bulan depan” yang mengarah kepada kemewahan sastra di masa jayanya (2017-2019). Apakah benar adanya? Apakah sudah dilakukan sosialisasi sekaligus mediasi kepada adik-adik mahasiswa untuk melihat sastra daripada festival musik? Mengapa hal demikian bisa terjadi begitu adanya?

Atau, sebelum (2017-2019) itu hanya berisikan orang-orang yang punya perhatian lebih kepada sastra sehingga kita bisa mengklaim bahwa yang kita lakukan sudah sastrawi dan menyangkut-pautkan dengan Ciputat sebagai sekadar embel-embel nama administratif belaka tanpa nilai-nilai yang harus dan semestinya. Bukankah, jika melongok lebih serius dan semestinya, serta yang tertulis bahwa setiap zaman ada masa jaya dan masalahnya?

Tapi, saya sekali lagi bertanya, sejak kapan ada sastra di Ciputat? Sejak kapan orang-orang yang terhimpun sehingga kita sebut rakyat-masyarakat-warga Ciputat itu tahu dan kenal sastra, kenal Pak Sapardi, Pak Seno, dan lainnya? Atau, mahasiswa itu sendiri sebagai seseorang yang terpelajar membicarakan sastra yang bukan hanya sekadar teks imajinatif, tentunya bisa melihat dan melongok Ciputat sebagai satu kenyataan yang utuh-padu tanpa mengurangi dan melebih-lebihkan? Apakah ada sastra di Ciputat?

Sebuah rentan masa yang dipaparkannya itu (2017-2019) seolah memiliki aura sastra yang terjadi di cafe-cafe Ciputat-Pamulang, apakah sastra benar-benar ada di Ciputat? Sastra di Ciputat itu sastra yang bagaimana? Sebagai corak lokalitas? Sebagai tempat yang kebetulan ada di Ciputat, sehingga kita sebut itu sebagai sastra di Ciputat, tanpa menampakkan Ciputat di dalam sastra itu sendiri?

Astaga! Saya lupa, sebetulnya, sastra itu apa sih? Sastra itu apakah teks-teks yang punya makna sehingga pembaca tergugah mengingat-ingat itu sampai akhir hidupnya? Apakah sastra adalah media manusia untuk memaparkan curhatan rasional, imajinasi, dan fakta atas pandangan individunya dengan balutan metafora (dan jenis-jenis gaya stilistika atau ilmu-ilmu lainnya) sehingga terkesan bermakna tinggi (dan pastinya beda dengan tulisan yang non-sastra)?

Lebih-lebih, di tahun 2017-2019 itu apakah sudah terkelupas satu entitas Ciputat di dalam sastra itu sendiri? Apakah kata Ciputat sebagai sebuah wilayah dalam diskusi-diskusi sastra yang terpaparkan di tulisannya sudah menjelaskan keterhubungan antar keduanya, serta mendikotomikan sastra di Ciputat ala mahasiswa, sastra di Ciputat ala warganya, sastra di Ciputat ala siswa-siswi sekolah se-Ciputat, dan macam-macam lainnya itu? Apakah sastra itu benar-benar ada di Ciputat?

Ketiga, sebagaimana yang tertera di website Badan Pengelola Statistik (BPS) jumlah penduduk Kecamatan Ciputat tahun 2019 itu 252 262,00 jiwa dan Kecamatan Ciputat Timur itu 219 261,00 jiwa bukan lagi rahasia umum sebagai wilayah yang terjangkit budaya populer pernah saya dengar ada sastra di Ciputat. Ya, saya tahu itu klaim pribadi dan pastinya bisa salah, saya kira sampai saat ini belum ada.

Andaipun ada sastra di Ciputat, sastra hanya sebagai satu hal yang amat terasing dan boro-boro bernilai tinggi, melainkan sebagai kewajiban belajar mata pelajaran dan mata kuliah belaka tanpa keseriusan. Saya tidak bermaksud apa-apa, itulah kenyataan. Saya berkali-kali tanya kepada siswa-siswi sebagian sekolah di Ciputat Timur, bahwa apa yang mereka tahu soal sastra adalah puisi yang menye-menye atau bahasa puitis yang sulit dimaknai karena tidak ada hubungannya dengan persoalan kehidupan.

Terlebih, melihat angka-angka yang normatif di atas, saya amat ragu-ragu menduga bahwa sebenarnya memang tidak ada sastra di Ciputat. Tidak ada sastra yang sebagaimana banyak pendapat ahli-penggiat susastra jelaskan yang membahas isu-isu serius soal Ciputat dan sekitarnya. Entah gambaran antropologi masyarakat Ciputat, psiko-sosial masyarakat Ciputat, mitos-mitos masyarakat Ciputat, tradisi dan kebudayaan masyarakat Ciputat, dan macam-macam lainnya dengan serius sebagaimana yang terpapar pada karya-karya sastra yang tinggi nilai dan maknanya itu. Benar begitu kan, Mas? Bahwa sastra harus melihat kenyataan serta memaparkan kembali fakta lapangan dengan ungkapan yang sastrawi?

Sejumlah angka-angka yang banyak itu, terlihat jelas bahwa tidak ada yang berkaitan dengan sastra. Sebenarnya ada, tapi siapa yang mau menyadari hal-hal begituan? Toh, selama ini sastra hanya dianggap imajinatif belaka dan parahnya tidak masuk bagian dari ilmu pengetahuan, sehingga siapapun boleh mengklaim diri sebagai penulis karya sastra. Bukankah begitu, Mas?

Di Indonesia, ah kejauhan banget saya, terlebih di Ciputat itu sendiri, sudah tertanam bahwa sastra bukan satu yang harus dan wajib dipelajari dan dimengerti dengan kadar yang nilainya sama dengan mata pelajaran dan mata kuliah lainnya. Sehebat-hebatnya sastra, informasi subjektif dari teman yang kuliah di jurusan Sastra Indonesia yang akan dinilai adalah ketika berhasil mencari duit dari sastra (entah jadi penulis fiksi dan kritik atau macam-macam lainnya). Bukankah begitu, Mas?

Nah, yang jadi pertanyaan selama ini, menurut pikiran sempit saya, apakah sastra itu adalah budaya? Apakah budaya itu sastra? Apakah budaya itu sama dengan tradisi? Apakah fiksi itu adalah fiktif? Apakah sastra itu bukan hasil dari pengamatan atas realitas? Apakah semua itu sama? Apakah berbeda? Jika sama, apakah sastra di Ciputat adalah satu aktivitas yang (entah seremonial diskusi kecil-kecilan dan seremonial ala sekolah, komunitas dan pemerintah) hanya memakai-menggunakan embel-embel sastra belaka tanpa harus menilik-meninjau keterhubungan sastra dan Ciputat itu sendiri sebagai satu entitas yang terhubung-terpisah? Jika berbeda, apakah sastra itu kenyataan yang lain dari sebuah kehidupan manusia, dan Ciputat juga satu entitas yang juga tidak sangkutannya dengan sastra? Apakah begitu, Mas?

Sependek yang saya tahu, seremonial dan lomba-lomba yang membawa-bawa nama sastra sudah banyak dilakukan di Tangerang Selatan. Semua tahu, informasi yang dikemukakan oleh teman yang kuliah di jurusan Sastra Indonesia, komunitas penggiat sastra di Tangerang Selatan, terkhusus di Ciputat, itu lumayan banyak dan menjamur. Namun sampai saat ini saya kira belum ada juga sastra di Ciputat. Maksudnya, sampai saat ini, masyarakat Ciputat yang mana tertarik dengan sastra? Jadi, apakah ada sastra di Ciputat?

Melihat paparan yang tidak terdidik dan kurang tertib sebagaimana tulisan para akademisi baik sesuai kaidah-kaidah, terlihat jelas pertanyaan saya yang harus dijawab sebagaimana mestinya guna mengurangi sangsi bahwa memang benar ada sastra di Ciputat, bahwa sastra di Ciputat bukan hanya sekadar basa-basi belaka dengan nama-nama yang dipaparkannya itu, bahwa sastra di Ciputat bukan hanya seremonial estetika yang jangkauannya tidak meliputi Ciputat secara kewilayahan, secara menyeluruh, secara seharusnya, bahwa sastra di Ciputat itu apakah ada? Ketiga poin-poin di atas itu, saya kira cukup untuk menumpahkan sedikit dari kesangsian saya, bahwa memang ada sastra di Ciputat.

Terakhir, untuk menutup dan mengurangi pertanyaan bodoh karena saya tahu bahwa saya tidak tahu akan hal-hal begituan, harusnya ini dibaca dan dijawab sehingga saya mendapat ekstasi jawaban yang menghilangkan keraguan saya bahwa memang benar ada sastra di Ciputat, di jalanan macet, di warung-warung ayam geprek, di asbak rokok, di mimbar penceramah, di lubang-lubang aspal yang mutunya jelek, di kertas-kertas para pendidik, di udara sore setu Gintung, di flyover yang lampunya padam melulu, di kantor-kantor kecamatan dan kelurahan, di meja-meja korporasi.

Atau di ruang-ruang tersembunyi para perempuan-pria yang terbius skema budaya populer, di pasar yang banyak preman, banyak pungli, banyak nasib-nasib yang terabaikan, di kos-kosan putra-putri mahasiswa yang sibuk mencium bibir kekasihnya dan meraba tubuhnya sebagai bahan eksplorasi keasyikan masa remaja, di lahan-lahan yang ditempati warga yang kini akan digusur oleh UIN Jakarta tanpa hak-hak yang didapatkan sebagai sila ke lima, di perut yang lapar, di halte UIN yang panas kalau siang hari, di tujuh kelurahan di bawah kecamatan Ciputat dan enam kelurahan di bawah kecamatan Ciputat Timur.

Atau di apartemen yang sombong menatap keadaan, di stasiun yang macet dan menyebalkan, di cafe-cafe yang ramai buka di pelbagai kelurahan, di ruang-ruang kelas dengan siswa yang pikirannya ke mana-mana, di tubuh-tubuh indah perempuan baru remaja, di kantong-kantong ibu-ibu yang mengeluh karena harga sembako sekarang naik, di kejahatan yang berbaju kebaikan, di kebenaran yang dituduh subversif, di prinsip-prinsip yang terjegal oleh realitas yang keji sekaligus biadab, di Gintung yang banyak orang lari sekaligus ciuman, mesum, mabuk, melamun, mancing dan lainnya itu, di gereja-gereja, di patah hatinya anak SMA, di pikiran soal uang dan masa depan, di muka-muka pelacur yang sangsi, di baju-baju pejabat negara, di mulut-mulut karyawan swasta yang takut dipecat, di suara-suara demo yang nyaring di alam kemungkinan, di korupsi, di pesta narkoba, di perhelatan para aparatur pegawai negara, dan di seluruh yang nyata dan benar sesuai Ciputat tanpa disembunyikan dan dibesar-besarkan.

Semoga hal-hal yang terjelaskan itu semua hanya keraguan tak berdasar, sehingga secara kebetulan dan benar adanya bahwa sastra itu memang benar-benar ada di Ciputat. Mudah-mudahan, dan saya berharap semoga ada dan memang benar ada. Wallahualam. Tabik.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Ahmad Rizki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Memanusiakan Manusia: Peran Ki Hajar Dewantara dalam Pendidikan Indonesia

Next Article

Dari Pil Koming hingga Dedy Pitak, Bukti Skena Dangdut Memang Seluas Itu