“Mengapa perlu repot mengurusi bahasa Indonesia?” tulis Goenawan Mohamad dalam esai yang menjadi pembuka buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo (2008). Pada esai berjudul “Gado-Gado” itu, Mas Goen—begitu para wartawan Tempo menyapa Goenawan Mohamad—tak lantas memberi jawaban dari pertanyaan itu secara gamblang. Ia seperti berniat mendorong para pembaca untuk menemukan jawaban tak hanya pada esai yang ia tulis, tapi juga dari berbagai esai yang termuat di buku tersebut.
Dalam buku ini, Goenawan Mohamad memang tidak seorang diri. Buku setebal 308 halaman itu juga memuat karya dari sederet nama yang kita tahu merupakan seorang linguis, wartawan, sampai sastrawan. Lewat tulisan mereka, pembaca tak hanya diajak untuk menyelami berbagai celah yang ada pada bahasa Indonesia, tapi juga dipandu untuk memahami bahasa Indonesia secara lebih utuh.
Tetapi, jangan bayangkan buku ini bakal menyuguhkan materi bahasa Indonesia layaknya buku LKS yang biasa dibawa pada siswa di sekolah—yang ketika diajarkan di ruang kelas malah membuat para murid suntuk. Lewat buku ini, pembaca akan—meminjam salah satu judul esai milik Sapardi Djoko Damono— dituntun untuk menikmati yang namanya “tamasya bahasa”.
Buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo memuat tiga bagian: bagian tentang bahasa, linguistik, serta bahasa dan kebudayaan. Bagian “tentang bahasa” tentu dimaksudkan sebagai pengantar, sebelum membawa pembaca menyusuri hal-ihwal tentang linguistik dan seluk-beluk bahasa dan kebudayaan. Berbagai esai yang tersaji pada buku itu sebenarnya tidak seserius kedengarannya, tapi tetap tak boleh diremehkan. Beberapa pembahasan malah terkesan menggelitik. Sebut saja esai berjudul “Logika” gubahan Hasto Pratikno.
Pada tulisannya itu, Hasto mengingatkan betapa pikiran dan bahasa merupakan dua hal yang berkaitan erat. Sayangnya, di keseharian, orang-orang sering sembrono dalam berbahasa, dan itu menandakan adanya kacau pikiran para penggunanya. Hasto memberi contoh pernyataan “Para tamu dihidangkan nasi kebuli dan minuman tradisional”. Hemm, betapa malang nasib para tamu itu, hanya karena terdapat “kan” pada dihidangkan yang seharusnya milik imbuhan “i”.
Dari banyaknya pembahasan, topik mengenai merambatnya penggunaan bahasa asing yang tumpang tindih dengan penggunaan bahasa indonesia merupakan salah satu yang sering muncul. Pembahasan ini memang selaras dengan apa yang selama ini mudah kita saksikan di keseharian. Tetapi, begitulah yang menjadi kodrat bahasa. Soenjono Hardjowidjojo, dalam salah satu esainya, berpendapat mustahil suatu bahasa bisa benar-benar dipertahankan kemurniannya. Sebab, hal itu bakal memperlebar jarak masyarakat kita dari masa depan. Namun, Soenjono tetap mengingatkan agar kita tak gegabah menyerap dan menerima bahasa asing.
Ketika menuntaskan buku bersampul merah ini, saya menyadari betapa pentingnya berpikir analitis, khususnya dalam berbahasa. Selama ini, yang saya lihat, orang lebih sering menelan mentah-mentah bahasa yang ada disekitarnya, baik secara lisan maupun tulisan, lalu menempatkannya di situasi yang tidak tepat. Gara-gara sikap yang demikian, makna dari sebuah kata dapat bergeser jauh dari makna aslinya, bahkan bisa bertentangan.
Dalam situasi itulah peran pekerja media menjadi sangat penting. Sebab, kata-kata yang dibawa media massa cenderung menjadi acuan masyarakat dalam berbahasa. Tetapi, toh bahasa yang ditampilkan di media massa juga banyak “kacau”-nya. Setidaknya, buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo banyak memberi bukti soal itu. Maka, agar tak mudah tersesat, kecakapan berbahasa hendaknya perlu dimiliki oleh orang-orang dari berbagai macam profesi.
Meskipun sudah terbit 16 tahun lalu, buku Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo masih sangat perlu untuk dibaca tak hanya oleh para pekerja media, tetapi juga masyarakat umum. Membaca buku ini juga merupakan suatu ikhtiar untuk merawat bahasa dan meruwat kata agar maknanya tetap utuh.
Lewat tulisan-tulisan yang renyah dan enak dibaca, buku ini membuktikan kepada para pembaca bahwa memahami bahasa Indonesia merupakan satu hal yang sebenarnya terasa menyenangkan, walau kadang tetap membuat dahi berkerut juga. Sebab, Mas Goen, dalam esainya yang menjadi pamungkas buku ini pun menulis, “Ternyata tak mudah berbahasa Indonesia.”
Judul buku: Bahasa! Kumpulan Tulisan di Majalah Tempo
Penulis: Amarzon Loebis dkk.
Editor: Bambang Bujono & Leila S. Chudori
Penerbit: TEMPO Publishing
Tahun terbit: 2008
Tebal halaman: 322 halaman
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Pasar Ikan Penjaringan (flickr.com/cementley)