Menilik Sosok Butá dalam Pameran Self Reflection

“Murka sang Duta”

Kepandaian mengolah unsur-unsur dalam pokok perupaan, tidak bisa dicapai tanpa pengalaman dan pengetahuan yang diuji oleh waktu, gairah serta energi mengembangkan segenap potensi diri dalam proses ‘menjadi diri sendiri’. – Tiang Senja


Self dalam bahasa Indonesia berarti diri. Artian dari diri ini merujuk kepada pribadi setiap manusia yang unik dan tidak ada duanya. Setiap insan memiliki karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya dan itu mutlak tidak bisa diganggu gugat. Sedangkan Reflection berarti cerminan, yang berarti gambaran yang tercipta dari pantulan objek yang kita lihat. Pada konteks ini, Self Reflection memiliki arti bahwa setiap karya merupakan cerminan dan gambaran dari sang seniman itu sendiri.

Bertema Self Reflection dan dominan digarap oleh mahasiswa-mahasiswi jurusan seni murni angkatan 2019 ISI Yogyakarta. Pameran ini juga bagian program yang dicanangkan oleh pemerintah yaitu program kampus merdeka.

“Pameran ini merupakan ungkapan jati diri dan karakter setiap seniman yang berproses mulai dari awal masuk kuliah hingga sekarang” begitu ungkap Fachrizal. Seniman yang menunjukkan jati dirinya dalam pameran ini antara lain, Adi Sadewo, Ananda Fachrizal, Anindita Nastiti, Muh. Nur Ikhsan, Paskalis Gangga, Primadi Priyo, Ridho Sembodo, Septi Nurdaisna, dan Tsanamerra Larevue.

Pameran ini diharapkan menjadi tempat untuk menemukan jati diri sebagai seorang seniman dalam menciptakan sebuah karya. Dengan adanya pameran ini pencipta karya diajak untuk dapat merefleksikan kejujuran mereka akan ekpresi diri sendiri atau mengikuti hasrat artistik diluar jati diri mereka.

Saya berkesempatan untuk mampir dan berkeliling untuk melihat lihat karya yang ditampilkan. Di ruang pameran, terdapat satu karya yang menarik hati saya, judulnya “Murka sang Duta” dari Primadi Priyo.

Selain tampak gagah, kesan budaya tradisional Jawa juga nampak jelas pada karya ini. Penggambaran wayang yang disuguhkan dengan apik membuat unsur kebudayaan lokal tersebut yang kemudian membuat hati saya melirik sosok Butá .

“Murka sang Duta” | 80cmx80cm Acrylic On Kanvas | Karya Primadi Priyo

Karya ini mengingatkan saya pada Butá Rambut Geni, seorang raksasa dengan ciri rambutnya yang berupa api dan mempunyai taji layaknya ayam. Mungkin orang-orang atau anak muda masa yang hobi menonton film fantasy akan lebih familiar dengan karakter Ghost Rider yang kepalanya berapi-api dari pada karakter tradisional ini.

Lakon Butá berambut api berwarna merah tempampang besar di tengah lukisan. Lukisan dengan ukuran 80×80 cm ini digores menggunakan material Acrylic di atas kanvas. Terlihat ekspresi Butá yang sedang marah dan mengacungkan senjata.

Didominasi dengan warna merah yang meyerupai kobaran api. Penggambaran Butá ini juga menghipnotis mata dan membuat saya ingin berdiri diam cukup lama untuk meihat seramnya sosok Butá yang memiliki raut wajah beringas dan mata merah yang menyala-nyala. Dalam judul lukisan itu lakon Butá ini dalam judulnya diganti menjadi duta.

Ada beberapa hal yang membuat miris setelah saya melihat karya ini, pasalnya tidak sedikit anak muda yang belum tau mengenai Butá. Mungkin tidak sedikit juga yang tidak tau menau kisah pewayangan, atau bahkan cenderung tidak mengerti dan bingung saat melihat pentas wayang yang sering terihat di acara kemasyarakatan ataupun siaran radio yang diputar simbah dimalam hari.

Alih-alih berkembangnya jaman yang semakin cepat, percampuran bebagai budaya juga semakin jelas terlihat. Banyak budaya masuk dan sedikit-demi sedikit mulai mengeser dan menenggelamkan budaya lokal.

Disaat kebudayaan tradisional sudah jarang sekali diangkat oleh kaum muda pada umumnya, Primadi Priyo ini nguri-uri budaya lokal dengan menampilkan wayang pada karyanya. Selama saya berkunjung di beberapa acara pameran yang ada, baru kali ini saya menemui lukisan yang menggambarkan wayang seperti ini. Terlebih lagi karya ini dibuat oleh anak muda, bukan orang tua yang sering mendengarkan wayangan di radio saat malam hari.

Jati diri seniman yang mengusung unsur-unsur budaya lokal seperti ini layaknya harus diumumkan. Hal tersebut agar kelestarian budaya lokal tidak hilang ditelan oleh bumi dan dilupakan oleh penerus bangsa.


Editor: Tim Editor SudutKantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Patung

Next Article

That Breakfast, We Turned Into Rockstars | Bagian Pertama Fiksi Sejarah Britpop