Pramoedya Ananta Toer adalah pribadi penuh perlawanan yang tak bisa dilawan. Daya juangnya lewat sastra membuatnya disorot dunia sebagai seorang novelis pembangkang. Pram mengalami masa-masa pembuangan di Pulau Buru karena karyanya itu.
Walaupun begitu nasibnya, Pram tidak pernah berhenti untuk menulis, sebab ia merasa itu adalah tugas pribadi dan nasionalnya. Tulisan Pram memiliki ciri khas, yakni rumit untuk dipahami. Namun, Pram mengajak para pembaca agar dapat terbiasa memahami sastra perlawanan dengan mudah.
Selama Pram menulis, ia selalu megambil latar belakang sejarah Indonesia. Sebab itu, saat pembaca membaca karyanya, secara tidak langsung pembaca dapat menikmati sastra sekaligus sejarah Indonesia.
Buku ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 2003. Sampai tahun 2018, buku ini sudah sampai pada cetakan ke-11. Tebal halaman dalam buku ini adalah 183 halaman. Sayangnya, novel Larasati ini sudah sangat jarang ditemui di toko buku kesayangan Anda. Mungkin masih ada toko buku yang menjualnya, hanya saja jumlahnya yang sangat sedikit.
Baca Juga: Pengalaman Hidup Midah Simanis Bergigi Emas
Buku ini menceritakan seorang bernama Larasati, yang biasa dipanggil Ara. Dia adalah pro-republik, artis film populer, sekaligus pelacur. Setelah setahun tinggal di Yogyakarta, ia kembali ke Jakarta naik kereta api. Ia ingin mengembangkan karir sekaligus merawat ibunya, Lasmidjah di Jakarta.
Dalam perjalanan ke Jakarta, ia bertemu dengan opsir piket di Cikampek. Si opsir meminta bantuan Ara mencarikan kabar ajudannya yang hilang. Selanjutnya, Ara mendapat sambutan meriah dan souvenir selendang merah dari para pemuda revolusioner di Bekasi. Perjalanannya berakhir dengan penggeledahan oleh pasukan NICA di bawah pimpinan kolonel sekaligus produser film, Surjo Sentono. Ara diajak bermain film propaganda Belanda oleh Mardjohan, Surjo Sentono, dan Kolonel Drest.
Ara menolak tawaran mereka dengan tegas. Atas perintah Sentono, Mardjohan menemani Ara mengunjungi penjara. Ara pingsan di penjara saat melihat kekejaman Belanda terhadap Ketut Suratna, ajudan opsir piket Cikampek. Ara diantar pulang oleh Martabat, seorang republiken asal Sorong, sopir Sentono. Kehidupan Ara jungkir balik di Jakarta. Revolusi semakin membakar semangat nasionalismenya. Alih-alih sibuk main film, Ara malah ikut penyergapan truk NICA yang membuatnya berakhir menjadi tawanan seks Jusman, pemain gambus dan mata-mata NICA berkewarganegaraan Arab.
Pada masa pascaproklamasi, Pramoedya Ananta Toer menceritakan situasi yang terjadi saat itu dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Larasati adalah tokoh yang Pram jadikan sebagai lakon. Larasati atau biasa dipanggil Ara diceritakan sebagai gadis cantik yang saat itu menjadi artis panggung. Penampilannya di atas panggung selalu mendapat perhatian banyak orang. Bahkan, penggemarnya juga ada di luar panggung penampilannya.
Ara tumbuh sebagai gadis di masa revolusi sekitar tahun 1940. Dalam masa itu, Ara dihadapkan pada kenyataan bahwa ia berada di pihak musuh. Ia menyaksikan banyak penderitaan yang dihadapi bangsanya sendiri. Konflik yang sering terjadi mengakibatkan Ara harus mengambil sikap menurut keyakinannya sendiri, yakni melakukan perlawanan.
Ara mendapat penghidupan untuk dirinya dalam cengkraman erat penjajah. Ia mendapat banyak bujuk rayu untuk mengkhianati republik. Dalam proses perjalanannya dari Yogyakarta sampai Jakarta, Ara mendapatkan kekuatan sehingga ia semakin yakin untuk berjuang melawan penjajah dari luar yaitu bangsa lain dan dari dalam yaitu para angkatan tua yang bobrok dan oportunis.
Pada saat angkatan muda mati-matian berjuang untuk bangsanya, Ara melihat bahwa angkatan tua mendapat kekuasaan yang nyaman. Angkatan tua itu munafik pada revolusi, loyo, banyak bicara tapi kosong, dan pengkhianat. Korupsi dilakukan oleh mereka dan rasa tidak mau rugi pada diri sendiri terjadi pada para atasan.
“Mungkin matanya bukan mata orang, mata anjing, maka manusia kelihatan sebagai anjing, itulah dia tuannya.” Larasati hal. 33
“Memang aku seorang pelacur, tuan Kolonel. Tapi, aku masih berhak mempunyai kehormatan. Karena, aku tidak pernah menjual warisan nenekmoyang pada orang asing.” hal. 36
Ara melihat semua hal itu harus segera diselesaikan. Terjadi banyak konflik dalam diri Ara saat melihat kejanggalan angkatan tuanya. Dalam menghadapi konflik, Ara harus matang dan berani dalam menentukan sikap, maka ia harus menemukan dirinya dalam perjalanannya dari Yogya ke Jakarta.
“Aku juga berjuang dengan caraku sendiri.” hal. 21
“Jangan hadapi aku sebagai perempuan macam apapun, hadapi persoalannya.” hal. 55
“Aku akan masuk ke sana dengan bukti perjuangan.” hal. 87
Yang menjadi perhatian dalam roman Larasati ini adalah kemampuan Pramoedya Ananta Toer dalam memaparkan, menggambarkan, dan mendeskripsikan situasi sosial pada masa pascaproklamasi dan sebab-akibat yang timbul dari keadaan yang terjadi. Pram dapat menggambarkan kondisi pergolakan revolusi pascaproklmasi yang mengakibatkan tidak adanya kestabilan dalam pemerintahan dan kekuasaan. Secara de jure, Indonesia telah merdeka dari jajahan bangsa lain. Namun, secara de facto, campur tangan Belanda masih bertahan di tanah air ini sehingga orang-orang akan memanfaatkan situasi seperti ini untuk mencari keuntungan pribadi. Namun, sebagian orang malah terbakar akan jiwa nasionalismenya.
“Dengan bangsaku sendiri aku merasa lebih terjamin.” hal. 21
Dalam roman Larasati ini, Ara memilih untuk hidup bersama para pejuang ketimbang dengan para pengkhianat bangsa dan kaum oportunis. Ara selalu menunjukkan sikap hormat kepada perjuangan nasional. Kondisi yang semrawut itu tidak membuat Ara untuk mencari keuntungan sendiri. Ia tetap turun untuk bekerja. Bekerja mencari Oeang Republik Indonesia (ORI).
“Revolusi—dia adalah guru. Dia adalah penderitaan. Tetapi dia pun harapan. Jangan khianati revolusi! Kembali ia pandangi kedua orang tua itu, yang mungkin beberapa tahun lagi tewas digulung maut. Betapa mereka mengagumi lembaran uang—perwujudan Revolusi itu.” hal. 78
Pribadi Ara abadi. Dengan daya cipta Pram yang berhasil merekam jejak-jejak revolusi, potret Ara menjadi impian yang selalu dapat direnungkan. Pram telah memanifestasikan pikirannya tentang revolusi pada pribadi Ara yang tak pernah menyerah pada kenyataan atau halangan untuk revolusi.
Editor: Agustinus Rangga Respati