Menjadi budaya tepi kanan kampus ISI Yogyakarta, khususnya program studi Seni Rupa Murni untuk menggelar pameran perdana bagi setiap angkatannya. Tak ada tuntutan dan sangkut paut dengan keharusan sebagai mahasiswa, melainkan karena spirit dan inisiatif dari setiap angkatannya. Kali ini giliran Samsara, sebutan untuk angkatan tahun 2022 Seni Murni, siap mengisi ruang-ruang kosong di setiap sudut Galeri R.J Katamsi dengan ekspresi yang merefleksikan setiap personalnya.
Titik Temu: Refleksi Personal & Playground menegaskan bahwa sebagai entitas yang masih dalam proses studi mengamini bahwa eksplorasi adalah hal yang merdeka. Nampak tak ada gaya visual yang kemudian dipertahankan dengan terpaksa untuk mencipta sebuah ciri khas demi eksistensi belaka. Semua atas dasar tumpah ruah, keluh kesah, dan gelisah dari kemurnian jiwa yang tengah dirasa oleh masing-masing personalnya.
Terlalu naif jika kemudian saya mengamini bahwa gaya visual tak begitu penting ketika saya bisa mengenali sebuah karya yang terpampang di sudut tanpa melihat nama perupa yang tertempel di sampingnya. Adalah karya Morris Hork. Bukan kali pertama saya melihat karya beliau di sebuah galeri, namun jadi pertama saya lihat Morris bermain dengan gaya a la fotografi. Sebuah pendewasaan dan eksplorasi yang menancap dan berhasil.
Suara gaduh yang terukur dari ruangan gelap yang mencekam seolah memberi peringatan alerta. Mengantar saya pada keresahan Taufik Gustian atau kerap disapa Kippo. Sebuah karya multidisiplin komunal yang sangat krusial. Melihat karya Taufik Gustian, mencoba memahami apa yang ingin beliau bicarakan hanya ada dua sensasi yang akan terjadi. Tak ada posisi tengah. Opsi satu adalah benci dan anda memilih all out, opsi dua adalah cinta dan anda memilih all in.
Di sudut, tersekat, tersembunyi, terdapat jendela kayu lugu terbuka yang berhasil memantik saya untuk melihat ada keindahan apa di sana. Dewa Aji dengan karya cetak grafis dry point yang dicetak di atas kain mengaburkan kepolosan dengan bingkai absurditas nan mabuk. Bukan sisi kedangkalannya yang saya tekankan, melainkan luapan spirit amatir, kala keterbatasan menjadi mantra keberhasilan.
Linocut on Paper dengan ukuran A3 mengingatkan saya pada tugas awal sebagai mahasiswa seni grafis. ”Kedekatan Adik Kakak” karya Nur Amalia menampilkan karya cukil yang menampilkan visual bentuk siluet dua sosok berdekatan. Menjadi sebuah kedewasaan untuk nama-nama yang sudah dikenal rela berbagi ruang dan memajang karya berdampingan dengan para entitas yang masih giat mencari gaya visual yang diharap mampu menarik perhatian pengunjung galeri.
Persoalan seperti itu menjadi tidak menyenangkan tatkala dibawa pada ruang untuk bermain. Ketika kaki, tangan, dan pikiran sudah masuk ke dalam sebuah wahana tujuannya adalah untuk bersenang-senang dan meluapkan semua emosi yang sempat terpendam selama ini. Di situlah kemurnian jiwa yang hakiki bisa terlihat. Penting tak penting, elok tak elok, kikuk tak kikuk, Samsara berhasil membuat sebuah ruangan yang setara menyenangkannya untuk serba-serbi entitas di dalamnya.
Terlihat dari cara mereka menempatkan karya, tak ada lantai khusus untuk nama-nama besar. Semua atas dasar tumbuh dan berkembang bersama. Serba dinamis, luwes dan banal. Dari sini saya sampai pada kesimpulan sementara bahwa pameran ini mencapai segala sasaran material dan egoistis yang kita kejar, artinya mampu menikmati keindahan visual dan bahasa kita sendiri. Semua didasari atas dasar keinginan berkarya. Akan seperti apa nantinya, tengantung bagaimana khalayak mengamininya. Tak ada obituari yang disematkan diri sendiri.
Pameran Titik Temu: Refleksi Personal & Playground, bisa jadi merupakan sebuah kerja komunal yang melibatkan hubungan sehidup semati antar entitas di dalamnya. Bahwa pernah ada ruang pamer yang dijadikan sebagai tempat bermain dan berproses, bukan tentang kelayakan lagi. Keputusan tepat menjadikan ruang pamer sebagai tempat bermain untuk sampai pada titik temu antara gagasan personal dan kerja kolektif.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Samsara