Belajar dari Zizaluka Project, Teater yang Absurd | Ulasan Pertunjukan ‘Rijsttafel://EXT-ACT’

Pada Parade Teater Linimasa, Zizaluka Project pentaskan karya berjudul ‘Rijsttafel://EXT-ACT’ dalam nuansa yang absurd.

Hamparan sekam memenuhi panggung dari ujung ke ujung. Seorang pria dengan topi kerucut tinggi putih (lihat: KKK) memainkan alunan musik yang terdistorsi. Sementara itu, seorang wanita berbaju ungu dengan payet-payet di bajunya memakai tudung kepala berwarna merah seperti cenayang.

Ia menyalakan hio, lalu melantunkan alunan kata-kata yang terdengar lebih seperti mantra. Lalu pada bagian depan, terdapat beberapa orang dengan baju putih dan celana compang camping yang teruduk sila.

Pada tanggal 20 Oktober 2023, Zizaluka Project kembali meluncurkan karya keduanya dalam Parade Teater Linimasa di Taman Budaya Yogyakarta. Berbeda dengan karya pertama mereka, Bangun Pagi Bahagia yang lebih cenderung ke arah komedi, karya keduanya yang berjudul Rijsttafel://EXT-ACT garapan sutradara Ihsan Kurniawan lebih mengarah kepada golongan absurd.

Dari judulnya, saya kira pentas ini adalah sebuah pranala yang akan mengarahkan saya pada suatu informasi tentang pertunjukan tersebut, tapi setelah hampir 20 menit mencari dan memastikan ejaan kata ‘rijsttafel’ berulang kali, saya baru menyadari bahwa itu adalah judul dari penampilan tersebut.  

Alur cerita dari pentas Rijsttafel ini cukup membingungkan untuk saya dan beberapa teman yang ikut menonton. Selain karena tidak adanya sinopsis, juga karena karena pertunjukannya yang tidak menggunakan narator atau kata-kata pengantar. Para penonton dipaksa untuk merangkai opini masing-masing tentang alur cerita dan pesan yang disampaikan dalam pentas ini.

Diakibatkan oleh rasa penasaran saya atas alur dan pesan yang disampaikan dalam teater ini, saya pun berinisiatif untuk searching arti dari kata ‘rijsttafel’ dan mencoba berusaha memahami pesan juga alur cerita pentas.

Pentas Rijsttafel :EXT-ACT di Taman Budaya Yogyakarta (dok. @devimarlindaa)

Mengutip dari serial dokumenter KISARASA, Rijsttafel merupakan sebuah acara makan bersama atau jamuan yang ditujukan untuk menjamu golongan kelas atas atau kolongmerat. Golongan kolongmerat ini umumnya terdiri dari orang Eropa, sementara orang yang bekerja di bawahnya, seperti pelayan dan koki, biasanya berasal dari penduduk pribumi.

Secara umum, sajian Rijsttafel terbagi menjadi tiga bagian: hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup. Selama masa kolonial, sajian Rijsttafel yang paling mewah adalah luncheon (makan siang), di mana nasi disajikan bersama lebih dari 60 macam hidangan.

Sajian Rijsttafel merupakan perpaduan antara masakan Eropa dan masakan nusantara. Dalam penyajiannya, keluarga kolongmerat akan duduk di tengah ruangan dan para pelayan akan menghidangkan makanan pendamping/lauk satu-persatu mengitari meja makan.

Rijsttafel sendiri dianggap sebagai cara untuk menunjukkan kuasa sebagai tuan rumah yang pada saat itu memungkinkan orang asing untuk mempekerjakan penduduk pribumi tanpa memberikan gaji, bahkan di tanah asal mereka.

Dari penjelasan tersebut, saya mencoba mengaitkannya dengan pentas Rijsttafel :EXT-ACT. Pentas ini menurut saya adalah cerita di mana para pribumi (digambarkan menggunakan baju compang-camping) melakukan pemberontakan terhadap para penguasa.

Salah satu adegan menampilkan para pribumi yang berlutut dengan satu kaki, sementara “pembunuh” meledakkan balon berisi cairan merah di atas kepala mereka, menciptakan dramatisasi adegan pembunuhan yang kuat.

Salah satu adegan di pentas Rijsttafel :EXT-ACT (dok. @devimarlindaa)

Penggunaan tangga sebagai alat peraga yang menggambarkan perbedaan strata sosial pada masa kolonialisme Belanda menjadi elemen menarik lainnya. Selain itu, sentuhan komedi dengan seorang aktor yang secara diam-diam mengambil telur saat terjatuh dan penggunaan beragam alat bantu seperti otok-otok, sandal daun, dan ranting yang dijatuhkan dari atas panggung, berhasil memikat perhati penonton dengan kekayaan elemen pertunjukan ini.

Meskipun mungkin sulit dicerna, pentas ini berhasil memicu minat penonton untuk mengeksplorasi budaya Rijsttafel yang merupakan bagian bersejarah dari Indonesia pada masa kolonialisme Belanda. Barangkali pentas Rijsttafel :EXT-ACT tidak selalu sesuai untuk semua kalangan penonton, namun tetap saja berhasil memberikan pengalaman yang menarik dan bernilai di antara pentas lainnya.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: @devimarlindaa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Aku Sibuk: Kumpulan Puisi Gilbert Natanael Pardosi

Next Article

Misteri Pesta Akhir: Kumpulan Puisi Agung Cahyo Pangestu

Related Posts