Sejauh membawa punggungku pulang-pergi menyusuri Ringroad menuju Bibis, rasanya aku sedang disekap oleh suara bising yang tak pernah ada habisnya. Tubuh dan batinku seperti dikepung oleh berlapis-lapis kendaraan yang melaju dari Utara ke Selatan.
Bunyi klakson dari belakang, gonggongan mesin beroda tebal, hingga sirine ambulans dari kejauhan, serasa tak memberi kesempatan bagi tubuhku untuk melambat. Hampir di setiap persimpangan, kudapati suara-suara itu mengepung telingaku, bahkan memaksaku untuk melaju cepat menghindari ketertinggalan.
Namun kepungan itu tak lagi kurasakan, setelah punggungku berhasil kubawa menyusuri Museum Bibis. Bahkan sedari awal memasuki situs tersebut, akhirnya aku bisa merasakan keheningan. Hampir tak ada suara yang berlalu-lalang mengetuk daun telingaku, suara-suara itu mengendap bersamaan dengan suasana di Museum Bibis yang mencekam.
Terlebih ketika punggungku mengalami langsung instalasi yang digagas oleh Lintang Radittya. Bunyi yang hadir di sepanjang instalasinya tersebut, membawa ingatanku pada bunyi pasir yang bergesekan langsung dengan roda besi di atas kubangan aspal. Bunyi yang cukup kasar, namun pelan-pelan menghanyutkanku.
Bunyi itu terdengar berulang-ulang tanpa jeda, bahkan terasa sangat lambat dan menjemukan. Meskipun demikian, ketika arus hari ini memaksa tubuhku untuk cepat tanpa berpikir, instalasi Lintang justru memberi kesempatan bagiku untuk berspekulasi. Atau setidaknya merasakan jadi lambat, di tengah kepungan modern yang serba cepat.
Pengalaman mendengar tersebut terasa menyeret tubuhku untuk berhenti. Segala pergerakan waktu di kepalaku dibuat melambat, bahkan berhasil mengaburkan suara klakson yang lekas menyeretku dalam kontestasi yang tak berujung.
Praktik Mengebiri Mata
Barangkali, modus untuk “mendengar bunyi lambat” jadi pengalaman yang coba ditawarkan oleh Lintang Radittya, pada instalasinya yang berjudul Terra Firma. Sebagai bagian dari site specific yang diusung oleh Biennale Jogja 17, Lintang Radittya berupaya merespons material ruang apa saja yang ditemukannya di sekitar situs Bibis.
Dalam konteks Terra Firma, Lintang memilih menggunakan material tanah yang ditemukannya di situs Bibis, serta beberapa material lain yang ditemukannya di lokasi yang berbeda. Tanpa berupaya mengacaukan tekstur dari tanah, ia mengaplikasikan material tersebut pada sebuah tabung yang berputar secara repetitif.
Melalui perangkat tersebut, maka dihasilkanlah beragam bunyi yang bersumber dari material tanah. Bunyi tersebut menjadi sikap spekulatif Lintang untuk menelusuri keterkaitan, antara tanah dengan situs tempatnya berasal.
Selama mengalami praktik artistik yang ditawarkan Lintang, instalasinya tersebut ternyata telah mendapat apresiasi yang cukup beragam. Pasalnya, beberapa pengunjung yang saya dapati justru menunjukan bentuk respon yang berbeda-beda.
Alih-alih memposisikan tubuh dengan mata yang berjarak –sebagaimana praktik apresiasi yang kerap ditemukan pada instalasi lain, instalasi Lintang telah membuat kita melekatkan telinga sedekat mungkin dengan instalasi.
Beberapa di antaranya memilih melekatkan telinga sedekat mungkin dengan tabung, sepiker, serta perangkat suara lainnya guna menelusuri sumber suara. Beberapa yang lain lebih memilih mengamati gerakan frekuensi, bahkan ada pula yang memilih untuk melekatkan telinga ke dinding.
Jika diamati dengan cukup jeli, alih-alih menyodorkan speakers yang mengarah langsung ke telinga kita, Lintang justru membalikannya ke arah dinding. Sebagaimana yang diungkapkannya, siasat ini hadir lantaran kondisi ruang yang digunakannya tidaklah cukup optimal secara akustik.
Meskipun demikian, siasat tersebut justru turut memicu cara bunyi untuk menyiasati pergerakannya. Lantaran dinding yang telah dilapisi kayu multipleks, justru menjadi medium bagi bunyi untuk merambat ke telinga kita.
Bahkan siasatnya tersebut turut menghasilkan respon sensor yang beragam. Beberapa pengunjung dibuat kebingungan dengan model artistik yang diambil Lintang. Alhasil, mereka juga terlibat melakukan beragam siasat, guna mencari cara suara mengungkapkan dirinya.
Dalam praktik semacam ini, maka posisi untuk melekatkan telinga pada sebilah dinding akan jadi posisi yang sangat menguntungkan. Pasalnya, kita dibuat mengalami apresiasi yang lebih optimal, sehingga menghasilkan respon yang berbeda-beda.
Alih-alih pengunjung menempatan diri sebagai subjek pasif, sebagaimana cara mata menghakimi objek pengkaryaan. Pengunjung justru dibuat mengebiri keangkuhannya dengan turut mencari keterlibatan tubuh pada karya. Sehingga mereka tak melulu memasang jarak dengan karya, melainkan menjadi pihak yang setara aktifnya dengan cara tanah mencari kehadirannya melalui telinga kita.
Tanah yang Berbicara
Sebagaimana instalasi Lintang yang tak pernah kehabisan spekulasi, pada ruangan putih yang berada pada sisi paling timur situs Bibis, terdapat empat material tanah yang coba Lintang hadirkan.
Keempat material tersebut, memiliki tekstur serta presentasi suara yang berbeda. Sebagaimana ketika aku mendapati tanah dengan asupan air dan matahari yang cukup, suara itu lekas merambat ke tubuhku dengan cukup segar. Sedangkan pada tanah dengan asupan air dan matahari yang rendah, tubuhku justru dibuat lemah dan pucat seiring dengan gerakan frekuensi yang terpasang di bar paling bawah.
Mengalami keempat bunyi tersebut, membuatku memikirkan ulang apa-apa saja yang jarang kupikirkan tentang tanah. Tanah dalam keterkungkungan tubuh kita yang serba cepat dan visual, membuat kita kerap memposisikannya sebatas pijakan. Alhasil kita luput bahkan angkuh terhadap tanah, pun juga terhadap organisme lain yang hidup dari tanah.
Namun melalui instalasi yang coba ditawarkan Lintang, indraku yang serba visual dan cepat coba diretas dengan mengoptimalkan telinga untuk mendengar suara tanah. Sehingga tanah tak melulu material mati yang hanya dijangkau oleh mata untuk mengungkapkan kualitas dirinya. Namun ia bisa berbicara dan bersuara tentang kondisi yang sedang menimpa dirinya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Suden