Kepalaku tegang dan ada gempa di dadaku ketika mendapat kabar bahwa Kakang Ajip Rosidi telah meninggalkanku yang sedang kasmaran pada karya-karyanya.
Pada suatu tidur yang tak pulas, angin fajar mengusap bulu mataku sembari berujar bahwa kematianku telah tiba. Dengan wajah bantal aku segera beranjak dari singgasana ternyamanku, kududukkan tubuh kecil kerontangku sembari mengumpulkan nyawa yang sebelumnya melanglang buana. Kuambil gawai yang terisi penuh baterai kemudian kujelajahi linimasa yang menyudutkanku pada angin fajar yang mengatakan bahwa kematianku telah tiba.
Kepalaku tegang dan ada gempa di dadaku ketika mendapat kabar bahwa Kakang Ajip Rosidi telah meninggalkanku yang sedang kasmaran pada karya-karyanya. Siapa sangka seorang guru yang ingin aku kunjungi di waktu dekat ini telah menolak kedatanganku, bahkan sebelum ku beritahukan kepadanya jika aku ingin datang.
Kali pertama ku injakkan kaki di tanah Mataram, tak sekalipun aku pernah mendengar nama Ajip Rosidi. Sampai suatu waktu yang panjang mengantarkanku ke sebuah perlombaan pembacaan puisi. Saat itu aku harus memilih dua buah puisi yang akan kubacakan, kupilih puisi Sajak Sebatang Lisong milik Rendra dan Puisi Ajip Rosidi Tanah Sunda.
TANAH SUNDA
Héjo pagunungan
Paul lautan
Héjo
Paul
Langit na haté kuring
Masing dimana kuring nangtung
Masing kamana kuring leumpang
Tanah lémbok tempak bumetah
Angin nyeot nyiuman tarang
Masing dimana anjeun nunjuk
Masing iraha anjeun cumeluk
Kuring mo mumpang , kuring rék datang
Neueulkeun tarang , neueulkeun jantung
Kuring tungtung teteupan
Kuring tungtung
Teteupan
Tuntung bedil
Ngincer dada
Kuring geus nyaksian getih ngabayah
Getih maranehna nu mikacinta anjeun
Kuring geus nyaksian panon carelong tanggah
Jasadnu ruksak ngalungsar na dada anjeun
Héjo pagunungan, paul lautan
Taya kamarasan ngan katugenahan
Héjo pagunungan, paul lautan
Taya katengtreman, ngan ancaman !
Di tengah kecemasan terhadap perlombaan, aku justru berbangga diri karena berhasil membuat penonton dan penilai terkesan pada pembacaanku. Saat itu mulai kucintai puisi daerah yang menjelma kepulanganku ke kampung halaman. Puisi itu membangun kembali pertemuanku dengan leluhur-leluhur Sunda yang pernah kulewatkan. Dalam tiap baitnya menggambarkan keindahan peradaban masyarakat Sunda yang mulai kehilangan jati dirinya.
Luka-luka identitas kerap kujumpai dalam karya miliknya, misalnya pada cerpen Sebuah Lukisan Telah Terdjual yang menceritakan seorang seniman yang mencari identitas dalam lukisan yang telah pergi jauh ke dunia barat. Atau pada sosok Mr. Gadjah yang kehilangan identitas politiknya dalam cerpen Sebuah Rumah Buat Haritua.
Pertemuanku dengan Kang Ajip tak lebih dari seorang pembaca dan penulis. Dalam sejarah hidupku tak sekalipun aku bertatap muka dengannya. Meskipun begitu, padanya aku belajar bahwa sastra bukanlah sesuatu yang harus dikompetisikan melainkan sesuatu yang harus dibicarakan seperti kampung halaman.
Kecintaanku pada Kang Ajip semakin bertambah ketika Sebuah Rumah Buat Haritua menolongku dari kegusaran terhadap tugas-tugas semester akhir perkuliahan. Orang yang tak pernah aku jumpai ini justru menjadi seorang juru selamat atas jurang penghayatanku.
Di waktu fajar, angin menyampaikan kabar duka di timur Padjajaran. Berita kematian yang tak habis-habisnya aku tolak kebenarannya. Kang Ajip setidaknya telah dua kali berakad dengan keabadian. Yang pertama ialah sastra dan kedua sekaligus terakhir baginya adalah kematian.
PANTAI LAUT UTARA
Menjelang Tengah Malam
Angin dingin naik ke puncak bukit
menyisir rambutmu yang meriap nakal
dengan tanganmu lentik, kau susuri langit
sia-sia mencari bintang yang kau kenal.
Kepada langit katalustiwa yang biru
dahulu kau bisikkan madu cinta pertama
dan angan-angan yang jauh, penuh rindu
akan negeri-negeri asing yang entah dimana.
Tapi di sini langit kelam. Laut pun kelam
hanya riak ungu yang kadang-kadang sejenak bersinar
perlambang keajaiban yang dalam
dari takdir yang tak mungkin terhindar.
Kau simakkan lampu-lampu kota, kapal yang bertolak …
memahatkan arti hakiki pertemuan ini
dan dalam keheningan, telah kau maklumi dengan bijak
segala kata yang tak perlu ‘ku ucapkan lagi.
Kang Ajip, yen urang Sunda ayeuna teh kabengbeuratan ku zaman nu kajajah. Mugya kaangkatan Akang, urang Sunda emut deui ka sajarahna. Wilujeung memeta di kahirupan nu abadi.
Editor: Agustinus Rangga Respati