Gadis Pantai Bernama Kangean, Dihabisi Bendoro Bernama Sumenep

Gadis pantai menetap di tubuh masyarakat adat yang dipaksa beradab oleh ukuran negara. Lebih khusus lagi, gadis pantai adalah wujud dari manusia-manusia Kangean.

Pramoedya Ananta Toer berhasil mencederai apa-apa yang mapan melalui teks sastra yang dilahirkan sebagai anak rohaninya. Mulai dari Tetralogi Buru hingga berbagai buku tipisnya, termasuk Gadis Pantai. Ya, sekalipun sebetulnya Gadis Pantai tak setipis itu. Sebab konon katanya, sebelum dicetak dan diluaskan ke khalayak ramai, Gadis Pantai kadung dibakar oleh ABRI. Barangkali, gadis pantai kita yang kalah itu akan meraih kemenangannya sendiri seandainya buku itu berhasil sepenuh-penuhnya diumumkan. Atau justru sebaliknya?

Gadis Pantai bicara soal perempuan yang jadi korban feodalisme raja-raja Jawa, jauh di pantai utara sana. Namun yang mesti digarisbawahi adalah fakta bahwa perempuan sebagai korban feodalisme belaka barangkali tak akan pernah cukup, pasalnya dalam konteks Gadis Pantai, feodalisme itu sendiri juga berada di bawah pengaruh kolonialisme Belanda. Dari buku karya Pramoedya Ananta Toer itu kemudian “ilham” tulisan ini hadir. Bahwa ada saling pengaruh, ada kelit-kelindan antara sistem pemerintahan yang dibawa oleh Belanda, yang hingga kini masih juga mendarah-daging di kalangan pejabat Indonesia khususnya dan di benak setiap manusia Indonesia umumnya, baik dari kalangan atas hingga kelas paling rendah.

Gambaran soal sikap dan idealisme bangsawan Jawa banyak ditonjolkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Gadis Pantai melalui tokoh Bendoro. Bendoro sendiri adalah seorang dari kelas priyayi dan bekerja sebagai administran pada bangsa kolonial Belanda. Bendoro inilah yang kemudian menikahi gadis pantai dengan motif yang semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya saja, tak ada yang lain lagi selain mendidik gadis pantai sebagai gundik yang hidup dan bertingkah sebagaimana mestinya menurut ukuran priyayi Jawa.

Ward Keeler dalam artikelnya yang berjudul ‘Durga Umayi’ dan Dilema Postkolonial (2008) menyebut bahwa banyak orang Jawa menganggap hubungan hierarkis adalah ciri paling dasar dan prinsip utama untuk mengatur manusia. Keadaan ini kemudian disebut sebagai “konstruksi hegemonik” yang menyatakan bahwa hak dan tanggung jawab pihak berstatus lebih tinggi ialah menjalankan kekuasaan atas nama bawahannya. Sementara hak dan tanggung jawab dari yang berstatus rendah ialah memenuhi kewajiban-kewajibannya dan mematuhi perintah-perintah mereka yang lebih tinggi hierarkinya. Gadis pantai dipaksa untuk terikat pada Bendoro. Hal ini merealisasikan bentuk hierarki pada feodalisme Jawa yang dipengaruhi oleh pendudukan Belanda pada masa itu.

“Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup”.

Gadis Pantai, 12

Berangkat dari uraian di atas kemudian kita mafhum bahwa Gadis Pantai juga telah menjelma sebagai pemberi peringatan, bahwa relasi antara penjajah dengan yang dijajah itu tak cuma berhenti di novel. Melainkan sangat mungkin untuk bersemayam di tubuh masyarakat kita, juga di isi kepala instansi dan sistem pemerintahan Indonesia. Persis sama dengan apa-apa yang dilakukan oleh Bendoro terhadap gadis pantai, tokoh utama dalam novel. Maka ketika kita sudah dapat mengerti betul dengan duduk persoalan yang hendak dibahas dalam tulisan ini, terang juga fakta soal gadis pantai itu kini bukan cuma sekadar individu yang perempuan dalam novel Pramoedya saja. Melainkan juga berbagai entitas, kelompok budaya, kolektif tertentu, serta masyarakat marjinal yang dinilai rentan dan tak punya daya upaya untuk melepas-bebaskan kelompoknya dari sistem sosial dan pemerintahan yang sejak awal memang sudah tak adil.

Gadis pantainya Pramoedya telah bermimikri, jiwanya selam-berselam mendiami berbagai kelompok rentan. Misalnya bangsa Melanesia yang berkulit hitam nun jauh di timur sana. Gadis pantai hinggap pula di tubuh-tubuh buruh miskin, nelayan, dan kaum petani yang dipisahkan dari rumahnya. Dirusak pengharapan, laut, tanah, dan hutannya. Gadis pantai menetap di tubuh masyarakat adat yang dipaksa beradab oleh ukuran negara. Lebih khusus lagi, gadis pantai adalah wujud dari manusia-manusia Kangean, tinggal di sepanjang pesisir pantai dan tepian hutan lebat rimbun yang pelan-pelan dirusak oleh seorang Bendoro bernama Kabupaten Sumenep. Sementara Sumenep sendiri sudah dirusak oleh Bendoro lain yang bernama Jawa Timur. Begitulah seterusnya.

Hubungan keduanya, Kabupaten Sumenep dengan Kepulauan Kangean, dapatlah dikategorikan sebagai hubungan antara penguasa dengan rakyat jelata. Di mana hubungan ini mensyaratkan semua kebijakan dimulai dari kabupaten yang letaknya 160 km dari Kangean, tak kurang dari 8 jam perjalanan laut jika ditempuh menggunakan kapal. Sialnya lagi, Sumenep yang notabene dihuni oleh bangsa Madura itu senantiasa menganaktirikan Kangean yang sejatinya dihuni oleh kelompok adat dan kolektif bernama suku Kangean, sama sekali bukan Madura.

Tuduhan ini akan senantiasa jadi sekadar tuduhan jika tak lekas dibuktikan, tentu saja. Begini, kabupaten yang penguasa itu telah benar-benar menganggap Kangean sebagai rakyat jelata melalui sistem pemerintahan yang sejak bertahun lamanya mereka praktikkan. Lambat laun Kangean dibikin jadi sebuah pulau mati yang sama sekali tak memiliki pilihan. Berbagai perangkat kebudayaan yang diturunkan dari sistem pemerintahan yang kolonialistik itu sepenuh-penuhnya memakai kacamata kota dan lalu dipakai untuk melihat desa, petani, nelayan, masyarakat adat, dan berbagai wujud kebudayaan luhur warisan nenek moyang Kangean.

Setelah Pulau Kangean yang “desa” macam gadis pantai itu terpaksa memakai kacamata “kota” ala Bendoro yang sama sekali tak cocok bagi masyarakatnya, lahirlah gadis pantai bernama Kangean. Lahirlah kelompok masyarakat yang mendiami garis pesisir pulau-pulau yang kini menjelma sebagai seorang gadis terpenjara. Dijauhkan dari berbagai perangkat kehidupannya yang telah lalu, dijauhkan dari mata pencahariannya yang bergantung pada alam pesisir dan hutan-hutan, dijauhkan dari sistem kebudayaan luhur moyangnya, serta dijauhkan dari kebebasan untuk sepenuh-penuhnya menentukan hari depannya sendiri.

Sejak awal ketidakharmonisan hubungan antara Bendoro dengan gadis pantai merupakan fakta yang tak dapat ditolak. Keharmonisan yang sebetulnya cuma rekayasa rancangan sang Bendoro. Hal ini memastikan keberhasilan priyayi yang laki-laki mengontrol dan mengambil kendali atas perempuan (istrinya) agar senantiasa jadi seperti apa-apa yang diinginkan. Hubungan semacam ini dikategorikan sebagai hubungan antara “penjajah” dengan “yang dijajah”, “penindas” dengan “yang menindas”, serta “penguasa” dengan “rakyat jelata”. Relevan dengan teori pasca-kolonial, dalam hal ini ialah hubungan antara “penjajah” dan “terjajah”.

“Spivak’s analysis of power relations in colonial and postcolonial India reveals dramatic and persistent gender inequalities. “Both as object of colonialist historiography and as subject of insurgency, the ideological construction of gender keeps the male dominant. If, in the context of colonial production, the subaltern has no history and cannot speak, the subaltern as female is even more deeply in shadow.”

“Subaltern”, 287

Berangkat dari pernyataan Spivak, fakta soal gadis pantai sebagai korban ideologi kolonial dan dominasi kekuatan (laki-laki) terhadap perempuan sama dengan fakta bahwa Kangean merupakan korban dari kekuasaan Bendoro bernama Sumenep lewat sistem hierarki pemerintahan yang laki-laki itu. Maskulinitas sistem pemerintahan kita, atau kerap disebut dengan “bapakisme negara”. Gadis pantai selalu jadi bayang-bayang Bendoro, pun juga Kangean akan senantiasa dijadikan sebagai bayang-bayang kabupaten bernama Sumenep itu. Gadis pantai sepenuh-penuhnya dibikin macam tak bernyawa, tapi Bendoro memang tak akan dapat menampik fakta bahwa ia memang membutuhkan tubuh gadis pantai, alih-alih memberinya kebahagiaan dan kesejahteraan.

Pembacaan atas teks sastra Pramoedya di novel Gadis Pantai dan telaah pikiran-pikiran Spivak menuntun penulis pada satu fakta menyedihkan. Bahwa bukan cuma gadis pantai yang dijadikan gundik oleh Bendoro. Sebab Kangean juga sama. Dinikmati tubuhnya yang indah-permai, dibikin jadi gundik oleh kota yang priyayi, diperkosa sepanjang waktu, dan sepenuh-penuhnya dirusak oleh Bendoro Sumenep lewat sistem pemerintahan yang hierarkis-maskulin, kolonialistik-kapitalistik.

Masyarakat pasca-kolonial mendukung keadaan ini. Jika kita tilik posisi perempuan dalam konteks Gadis Pantai-nya Pram memang dibungkam melalui praktik-praktik sistem pemerintahan, bahwa perempuan memang cuma sekadar pelengkap kebutuhan kaum lelaki. Begitulah penulis melihat Kangean, dibungkam melalui sistem pemerintahan yang dibikin dan dimuluskan Bendoro Sumenep. Fakta soal Kangean sebagai pelengkap sebuah kabupaten bernama Sumenep itu memang nyata dan tak lagi dapat ditolak. Ini diskursus penulis, bantah saja kalau ma(mp)u!

Lebih jauh lagi, Bendoro paham betul soal ketidakharmonisan hubungannya dengan gadis pantai. Sebab itulah kemudian ia senantiasa membikin manipulasi  agar gadisnya itu tak melawan. Berbagai praktik manipulatif Bendoro dalam Gadis Pantai-nya Pram itu rupanya mengilhami watak sistem pemerintahan di kita punya negara. Menganggap dominasi sepenuh-penuhnya sebagai hak exorbitant mereka. Kepastian dari pemandangan ini ialah ketika ada yang mendominasi maka ada pula yang didominasi. Begitulah fakta yang berkelindan, mewarnai relasi antara desa dengan kota, yang mendominasi dengan yang didominasi, antara Kangean dengan Bendoro Sumenep.

Menariknya, Pramoedya Ananta Toer dalam Gadis Pantai-nya itu menggambarkan Bendoro sebagai orang yang demikian berbudi-beragama. Maka lihatlah tindak laku pemerintahan kita yang kerap kali menampilkan citra religiusnya di muka umum. Semata-mata memang dimaksudkan untuk menutupi ketidakharmonisannya dengan gadis pantai. Sebab itulah kemudian dalam kasus Kangean dengan Bendoro Sumenep, mereka (para bendoro kabupaten itu) lebih memilih untuk mengurus kiai dan bukan mengurus umat guna melanggengkan dominasinya melalui praktik-praktik manipulatif sebagaimana yang sudah disebutkan di atas.

Kangean memang bentuk subaltern yang sudah jadi konstruksi-hegemonik, disalurkan lewat tradisi, dan dalam waktu yang sama pula dipaksa menjelma sebagai produk kolonial dari Bendoro dan orang-orang kabupaten yang priyayi bernama Sumenep. Sama sekali tak jauh berbeda dengan apa-apa yang dialami oleh gadis pantai dalam novelnya Pram. Karenanya, Kangean dan gadis pantai atau Kangean yang gadis pantai sudah sukses jadi korban dari praktik kekuasaan yang menindas oleh Bendoro-nya masing-masing. Kondisi ini memastikan eksistensi Kangean sebagai gadis pantai yang terbelenggu sebab hak dan kebebasannya sudah sejak awal dikekang secara paksa.

Belenggu eksistensi dan kondisi subaltern ini yang membikin Kangean sama sekali tak punya pilihan, sepenuhnya sama dengan apa-apa yang terjadi pada gadis pantai. Sejak bertahun lamanya kita memang sudah habis-dihabisi oleh kabupaten sendiri, dipaksa melayani kebutuhan mereka, dirusak berbagai keluhuran budayanya, dan lalu dinikmati tubuh ibu buminya. Itulah kenapa kemudian gadis pantai yang menjelma Kangean itu parasnya kian menyedihkan. We have been raped by system, sistem pemerintahan yang bersemayam di kedalaman kantor bupati pada sebuah kabupaten bernama Sumenep.

Akhir kata, Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis itu menyebut bahwa manusia sejatinya dikutuk untuk bebas. Rupanya sistem pemerintahan warisan kolonial yang dipraktikkan negara justru menjauhkan manusia dari kutukan kebebasan itu. Hubungan antara Kangean dengan Sumenep yang hadir dalam tulisan ini memang cuma sekadar contoh, barangkali pemandangan ini juga terjadi di banyak tempat namun luput diumumkan secara jujur dan apa adanya. Fakta bahwa pola pengambilan kebijakan oleh orang-orang kota melalui sebuah mekanisme pemerintahan yang sejak awal warisan kolonial ini tak pernah cocok untuk diterapkan pada entitas dan kelompok adat tertentu, termasuk juga apa-apa yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten pada masyarakat Kangean.

Secara tak langsung, sebagaimana gadis pantainya Pram, rupanya sistem pemerintahan kita telah demikian banyak melahirkan gadis pantai yang lain. Sekali lagi, apa-apa yang terjadi di Kangean cuma sekadar contoh. Penulis yakin bahwa gadis pantai telah banyak menjelma di lain-lain tempat, dimuluskan oleh kolonialisme-kapitalisme negara dalam sistem pemerintahan warisan Belanda.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: KITVL

0 comments
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts