Pengenalan eksplorasi sumber bunyi musik elektronik dalam diskusi daring bertajuk Tiga Sumber Bunyi Musik Elektronik digelar oleh Futurkultur.id bulan Februari lalu.
Lagi dan lagi, di masa pandemi seperti ini ternyata tidak menyurutkan gairah pekerja seni. Salah satunya kegiatan webinar yang digagas oleh Futurkultur.id pada tanggal 22 Februari 2021. Webinar ini diadakan melalui Zoom Meeting pada pukul 20.20 WIB dengan tiket masuk sebesar lima puluh ribu rupiah.
Pada webinar tersebut membahas konteks penciptaan bunyi dengan judul Tiga Sumber Bunyi Musik Elektronik dengan narasumber Rangga Purnama Aji. Mas Rangga merupakan pemateri, direktur program October Meeting – Contemporary Music & Musicians , komponis, juga seniman.
Adalah karena topik obrolannya tentang musik yang membuat saya tertarik untuk nyemplung dalam diskusi ini. Musik yang dibicarakan dalam webinar tersebut sangat unik terlebih dalam hal recording. Pada masa pandemi seperti ini, para pekerja seni terutama seni musik dituntut untuk memahami musik elektronik karena semua kegiatan seni bisa-bisa dilakukan hanya di rumah saja dan tentunya kegiatan didukung oleh perangkat elektronik (home recording).
Materi-materi yang dipresentasikan cukup menarik. Misalnya tentang bagaimana proses instrumen menghasilkan bebunyian elektronik. Saya dapat belajar tentang bentuk bentuk bunyi dan teknik Waveforms, Enveloping ADSR, Audio Sample, Audio Sampling, Live Signal Processing.
Sepenangkapan saya, Waveforms adalah gelombang bunyi, dalam kasus ini dipicu secara elektronis atau digital. Waveforms sendiri dibagi menjadi Sine Wave, Squaretooth Wave, SawTooth Wave, Triangle Wave, dan Enveloping ADSR. Ada pula Audio Sample, representasi digital dari bunyi atau sinyal analog.
Lalu Audio Sampling adalah perekaman digital dari bunyi; mengubah sinyal analog menjadi data digital yang kemudian disebut audio sample. Terakhir, Live Signal Processing adalah pemrosesan sinyal secara langsung, contohnya proses modifikasi bunyi akustik secara digital. Jadi dapat disimpulkan maksud tiga sumber bunyi dalam musik elektronik adalah Waveforms, Audio Sample, Live Signal Processing.
Beberapa contoh karya yang pernah ditampilkan seperti Self-Help (2016), Jagad Menangis (2017), Naga (2017) karya Rangga Purnama Aji, data.matrix (2005) karya Ryoji ikeda, De natura sonorum : Pleins et déllés (1976) karya Bernard Parmegiani, The Exploration of The Electroacoustic guitar in electroacoustic music (2012) karya Chloe Cutler.
Setelah saya mengikuti webinar ini, dapat saya simpulkan bahwa musik selalu berkembang dari zaman ke zaman. Tidak hanya alat musiknya tetapi juga dengan jenis musiknya. Berbicara soal musik elektronik menurut saya sangatlah tepat apalagi di era 4.0 seperti sekarang. Pekerja seni terutama seni musik seolah dituntut untuk beradaptasi dengan musik-musik elektronik. Sehingga kelak seniman tidak kaget jika bertemu musik dengan nuansa yang beragam.
Webinar Tiga Sumber Bunyi Musik Elektronik ini dihadiri kurang lebih 10 orang termasuk saya. Keadaan diskusi yang terjadi sangat interaktif sekali baik dari pemandu diskusi, pemateri, dan peserta. Beberapa kali peserta mengajukan pertanyaan terkait materi yang disampaikan Mas Rangga. Semua pertanyaan dapat dijawab dengan baik dan juga para hadirin puas akan hal itu, dan inilah yang penting; pemateri dan para peserta dapat bertukar pikiran terkait musik elektronik.
“Emang perbedaan musik elektronik sama akustik apa mas?” Salah satu pertanyaan yang diunggah oleh Ramdhan Al Fasya pada akun Instagram @alfasyadadan sehari sebelum diskusi digelar. Dalam postingan tersebut, Mas Ramdhan menuliskan sebuah kutipan yang kurang lebih memiliki pesan bahwa pertanyaan ini adalah pertanyaan yang ditanyakan oleh Mas Rangga ketika awal-awal Dansifutura memulai proyek albumnya.
Ada semacam harapan bahwa diskusi ini memang sudah disiapkan menjadi diskusi yang menyenangkan untuk berbagi pengetahuan, eksplorasi persepsi, dan kontemplasi prinsip yang kelak menjadi dasar-dasar kita melangkah dengan riang mengulik dan memproduksi komposisi bunyi.
Tak luput juga, Mas Ramdhan menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan membawanya untuk belajar memahami tulisan Mark Fisher Capitalist Realism (2009) dan Patrik Schumacher Parametricist Manifesto (2008). Tulisan yang banyak menyinggung soal produk, alat (produksi), proses, sistem, dan lainya yang berhubungan dengan proses kreatif.
Dan saya rasa benar saja, setelah mengikuti diskusi ini sedikit banyaknya saya sering mbatin “oh ngono toh,” tak berbeda seperti yang diharapkan oleh Mas Ramdhan dan seniman lainnya. Banyak hal baru yang saya pelajari. Saya juga berharap diskusi semacam ini tetap ada selanjutnya karena menurut saya webinar ini cukup unik dan sangat membantu apa lagi di saat pandemi.
Setidaknya kita bisa lebih termotivasi untuk tetap berkarya.
Editor: Arlingga Hari Nugroho