Menyimak Deru Gurung Tajak | Cerita dari Kalimantan Barat

Dari kenyataan ini dapat diketahui, paling mudah memang berucap janji, tetapi sulit untuk menepatinya. Mereka hanya menemui Gurung Tajak untuk memperoleh suara, tanpa benar-benar menyimak deru Gurung Tajak.


Jumat (4/12/20), Romo Paulus (57) dan Bang Fran (29) duduk menyila di dalam perahu menghadap ke haluan. Mereka tampak santai dan tersenyum di dalam perahu yang akan membawa kami ke Desa Tapang Menua (Naluk), Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Suara gemricik arus sungai yang diterpa haluan perahu menemani perjalanan kami, beriringan dengan suara deru mesin tempel 15 Paarden Kracht (PK) yang menyalak-nyalak di telinga.

Perjalanan sudah ditempuh setengahnya ketika saya, Bang Fran, dan dua orang awak perahu yang bertugas membawa kami ke Naluk harus mencebur ke dalam sungai. Tinggal menyisakan Romo seorang diri di atas perahu. Suara deru sungai, serta angin beriringan membelai, menerpa, serta membasahi tubuh kami. Air sungai yang jernih dengan bebatuan kerikil terasa seperti pijat refleksi saat pertama kali menapakkan kaki di dasarnya.

Romo dan Bang Fran sebenarnya sudah lama ingin ke Naluk. Terutama Bang Fran yang telah berjanji kepada Romo untuk mendesain gereja di sana. Sesekali Romo bertanya kepada saya, “Eka, apakah kamu sudah pernah ke Naluk?” Saya hanya dapat menggelengkan kepala. “Nikmati saja perjalanannya,” lanjut Romo mengakhiri percakapan kami.

Desa Tapang Menua merupakan desa terakhir yang terletak di hulu Sungai Kayan. Biasanya, perkampungan di hulu sungai sulit dijangkau, seperti Desa Tapang Menua ini.

Untuk sampai ke sana, harus menggunakan perahu dengan mesin tempel. Siapa saja harus menyusuri sungai dan mendorong perahu untuk sampai ke tujuan, karena hulu sungai sudah mulai dangkal. Saat kami ke sana, seingat saya hampir tujuh kali kami terpaksa harus mendorong perahu.

Apabila air sedang surut, masyarakat yang ingin membeli bahan pokok harus ke kecamatan dengan waktu tempuh tiga sampai empat hari. Masyarakat perlu membawa bekal untuk persiapan makanan, mana kala harus menginap di tengah-tengah perjalanan. Oleh kerena akses yang susah, bahan pokok di sana harganya mengalami lonjakan signifikan dibanding harga bahan pokok di kecamatan. Misalnya harga beras satu karung berukuran sepuluh kilo di sana bisa menyentuh Rp160 ribu sampai Rp200 ribu. Padahal, di kecamatan harga beras dengan ukuran yang sama hanya dibanderol Rp113 ribu saja.

Legenda Gurung Tajak

Sabtu (05/12/20), Kami duduk di ruang tamu berlantai papan kayu sembari menunggu masyarakat berkumpul membahas pembangunan gereja. Frekus Abang Lotau (67) sehari-hari bekerja sebagai petani. Di sela-sela menunggu beliau memulai kisahnya. Deru angin malam datang melalui celah-celah pintu yang dibiarkan menganga.

Sesekali terdengar pula dentuman sound system musik dangdut dari kejauhan. “Biasa, mereka habis pulang memikul kayu di hutan, sembari minum arak membuang rasa lelah. Biasanya malam minggu seperti inilah mereka baru pulang dari hutan, kerena besok harus beribadah,” Lotau menerangkan.

Beliau pun memulai kisahnya tentang legenda Gurung Tajak. Gurung adalah kata dalam bahasa suku Dayak Kabahant yang dalam bahasa Indonesia berarti air terjun. Gurung Tajak dan Sungai Pedini itu dulu bernama Sungai Telanyent dan gurung-nya itu bernama Gurung Telanyent pula.

Namun, nama itu berubah sebab Pedini dan Tajak. Dikisahkan, Tajak itu seorang laki-laki, sementara Pedini seorang perempuan yang sebenarnya adalah bibi dari Tajak. Aku mendengar kisah itu dulu, menurut orang tua zaman dahulu Pedini merupakan saudari dari bapaknya Tajak. Akan tetapi, mereka berdua malah saling mencintai. Karena melihat hal tersebut, masyarakat pun merasa resah. Sehingga, masyarakat memberi syarat untuk kelanjutan hubungan mereka berdua.

Setelah syarat itu terpenuhi, maka keinginan Tajak dan Pedini untuk menikah akan direstui oleh masyarakat. Syarat yang diberikan masyarakat terhadap mereka berdua adalah untuk mengarungi sungai Telanyent berserta gurung-nya dengan mendayung menggunakan perahu. Kalau saja mereka berdua masih hidup setelah mengarungi Gurung Telanyent, mereka boleh menikah. Karena rasa kasih yang begitu hebat, mereka berdua pun memutuskan untuk menerima syarat yang diberikan masyarakat.

Pada suatu pagi, mereka berdua telah bersiap menjalani syarat itu. Mereka mulai melalui jeram yang pertama. Mereka berdua masih selamat dan terlihat batang hidungnya. Begitu pula dengan jeram yang kedua masih saja terlihat keberadaan mereka. Berikutnya, setelah melalui jeram di tengah yang memiliki teluk, mereka pun menghilang di situ tanpa jejak sama sekali. Perahu yang mereka tunggangi pun tak pernah ditemukan keberadaannya sampai saat ini.

Dari kisah itulah Sungai Telanyent diberi nama Sungai Pedini dan gurung-nya diberi nama Gurung Tajak. Pada masa dahulu zaman orang tua kami, barang siapa melihat perahu yang ditunggangi Tajak dan Pedini, orang tersebut harus berteriak senyaring-nyaringnya. Apabila ia tidak berteriak, dapat dipastikan orang yang melihat bongkahan perahu peninggalan mereka, umurnya tidak akan panjang.

Potensi Gurung Tajak

Sabtu (05/12/20), suara riuh deru Gurung Tajak menyalak-nyalak di telinga kami. Hamparan hijau menyala sejauh mata memandang, Bukit Alat berdiri tegak seakan menantang siapa saja yang ingin melukainya. Leonardus Jantek (48), seorang petani, sedang duduk lesehan di atas sebongkah batu ketika saya menghampiri beliau.

“Zaman dahulu banyak orang dari Belanda datang. Ketika itu masih zaman pastor dari Belanda. Oleh karena mereka cerita tentang potensi Gurung Tajak di Tapang Menua ini, kabar itu sampai di telinga pemerintah”.  Pemerintah daerah pun melakukan survei. Akhirnya pada tahun 2013, mulailah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Gurung Tajak ini.

Terlihat rumah mesin serta pipa untuk aliran air pun sudah dibangun dan terpasang. “Lampu itu dulu menyala ketika mereka mencoba menghidupkan mesinnya,” ungkap Jantek. Namun, arus listriknya belum sampai ke kampung-kampung yang ada di sekitaran Gurung Tajak.

Pernah Jantek bertanya kepada kontraktor PLTA, mereka mengaku sudah kekurangan dana. Mengapa bisa kurang dana? Apakah tidak ada perhitungan, ketika merancang anggaran dalam proyek PLTA ini? Ketika Pak Jantek bertanya pada pemerintah, dijelaskan bahwa proyek ini baru sebatas perencanaannya saja. Hanya sebuah perencanaan tetapi sudah dibangun, bagaimana bisa?

“Jadi di turbin ini pernah nyala mesinnya, hanya arus listrik belum mengalir sampai ke desa. Sekarang mesinnya sudah rusak karena terendam banjir. Tiang dan kabel listrik memang sudah sampai ke desa. Akan tetapi, lisriknya belum dipasang ke rumah-rumah warga,” lanjut Jantek.

Jantek menceritakan pula, banyak calon anggota DPRD dan calon bupati yang datang dan berjanji akan melanjutkan proyek ini. Dari kenyataan ini dapat diketahui, paling mudah memang berucap janji, tetapi sulit untuk menepatinya. Mereka hanya menemui Gurung Tajak untuk memperoleh suara, tanpa benar-benar menyimak deru Gurung Tajak.

 

Editor: Agustinus Rangga Respati

1 comment
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Kisah Kematian Tuhan

Next Article

Kiamat; Kumpulan Puisi Antonius Wendy