Megantara Craft, Pencarian Makna dalam Seni Miniatur

Tempatnya yang sangat pelosok membuat nama Mas Nanang sebagai pendiri Megantara Craft menjadi ternama di kalangan dunia bonsai atau tanaman hias, burung, dan ikan termasuk aksesoris untuk seni Aquascape yang akhir-akhir ini sedang naik daun.


“Seni itu tidak akan ada habisnya, tapi saking banyaknya (seni), harus lebih selektif untuk memilih konsen,” begitulah kata Mas Nanang, seorang pengrajin patung resin.

Kata-kata di atas terucap oleh seorang pengrajin patung, Nanang Supriono (32) dari Sungapan, Dukuh, RT 69, Argodadi, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Ia adalah orang ternama di balik tirai yang sekarang berada dalam lingkungan bonsai, patung, dan kerajinan dari bahan dasar resin.

Mas Nanang adalah seorang pemain bonsai (seni mengkerdilkan pohon dari Jepang), khusus pohon serut (Streblus Asper). Karena rasa cintanya pada bonsai, ia ingin membuat minatur-miniatur layaknya pembonsai dari negara Matahari Terbit; di mana ada sebuah pohon kecil yang dapat dibuat layaknya memiliki pemukiman yang terlihat asri.

Mengingat harga miniatur-miniatur yang asli dari Jepang mencapai jutaan rupiah, ia memutuskan untuk memulai membuat sebuah miniatur untuk koleksi bonsainya. Kebiasaan mengunggah foto bonsai dengan miniatur di media sosial justru banyak khalayak kolektor atau pemain bonsai ingin memiliki miniatur-miniatur itu.

Dari sinilah pada tahun 2010, bersama dengan tujuh rekan dalam tim, muncul motivasi untuk membuat sebuah industri seni rupa patung yang diberi nama Megantara Craft. Fokus pada dunia bonsai ternyata tidak menutup kemungkinan untuk menambah seni lagi. Kata Mas Nanang, gelombang pasar miniatur-miniatur bonsai ini sangat tinggi. Tidak hanya itu, order secara personal juga ada. “Mas Huda dari Galeri Bonsai Yogya turut berperan besar terhadap penjualan miniatur-miniatur untuk bonsai itu karena dia adalah pemain dan supplier peralatan dan aksesoris bonsai besar di Yogya,” kata Mas Nanang.

Seko bonsai, aku pengen patung. Patung nggo bonsai kok apik, aku pengen gawe nggo aquarium. Bar kui, ono sing pesen. Jebul aku sadar, seni ki ora mung mandeg nang sakbentuk, ora nang bonsai tok, Mas Nanang lanjut menjelaskan, “tapi jebul akeh banget. Ora ono enteke. Dadi kudu iso selektif milih seni. Ora kabeh seni kudu dipelajari, sithik tapi iso jeru.

Kerja Penuh Filosofi

Ada hal yang sangat filosofis dari logo Megantara Craft. Logo ini digambarkan dengan keris yang menembus awan, lalu dibingkai dengan segitiga.  Mas Nanang sebagai founder, menjelaskan bahwa ia secara pribadi ingin menjadi orang yang berguna bagi orang banyak di sekitarnya karena selama hidup perlu untuk mencari pahala. Layaknya keris, keris jika jatuh di tangan yang tepat, ia akan menjadi gaman (senjata pertahanan diri). Namun jika jatuh di tangan yang tidak tepat, ia akan menjadi gaman yang membabi buta. 

Mas Nanang menjelaskan, menembus awan artinya adalah setiap manusia akan mati pada waktunya. Keris itu adalah diri; walaupun berkelok-kelok ke kanan dan ke kiri, keris itu akan tetap menjulang ke atas, menembus awan untuk bertemu Sang Maha Kuasa berbekal pahala yang sudah dikumpulkan semasa hidup.

Lha uripku we ora lurus-lurus banget. Masio uripku ngiwo-nengen, aku tetep kudu sumarak kagem Sing Nang Dhuwur,” tambah Mas Nanang.

Tempatnya yang sangat pelosok membuat nama Mas Nanang sebagai pendiri Megantara Craft menjadi ternama di kalangan dunia bonsai atau tanaman hias, burung, dan ikan termasuk aksesoris untuk seni Aquascape yang akhir-akhir ini sedang naik daun. Megantara Craft juga menjadi satu-satunya pembuat piala untuk pemenang pada event-event tersebut.

“Selama iki sing pesen piala nang kene ki ono seko Piala Raja, iki acara lomba burung nasional, mbien 2018 nang Prambanan. Terus sing nggo loma manuk latber-latber daerah Bantul ro Sleman. Iki sesok Lomba Bonsai sing nang Jalan Kaliurang. Pialane seko kene. Iki lho pialane,”  Mas Nanang menunjukkan sebuah piala, “terus iki sing nggo sesok lomba iwak nang Jogja. Iseh dadi cithakane. Opo maneh mongso Covid iki, pesenan wes ra umum jaluke, ono sing jaluk patung nogo nggo bonsai, biksu-biksu tuo, ro jembatan sing dingo nang aquascape,” ungkap Mas Nanang.

Perjalanan berbagi ilmu yang dilakukan Mas Nanang ternyata pernah membawanya untuk memberikan pelatihan sampai di Belitung (Bangka Belitung) pada tahun 2016, di Moyudan (Yogyakarta) pada tahun 2017, dan pada tahun 2018 berbagi ilmu dalam pelatihan di Bimomartani dan Prambanan (Yogyakarta).

Hidup itu harus pelan-pelan, cari tanda-tandanya. Rasakan hidup itu harus memakai roso, percuma kalau tidak masuk ke dalam hati. Maka, roso dan pikiran itu harus jalan bersama. Misal hati sudah mendapat tanda, tanda itu jadikanlah sarana untuk Gusti. Ibaratnya bulan, bulan menjadi sarana sinar matahari untuk bumi, agar bumi tidak gelap. Aku juga begitu, aku bisa punya pekerjaan seperti ini agar aku bisa menghidupkan tujuh orang ini. Walaupun harus memakai uang harianku sendiri, aku saja bahagia melihat muka mereka bahagia saat pulang,” imbuh Mas Nanang.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts