Paguyuban Piyayi Sompilan: Nyanyian Masyarakat di Balik Dinding Kraton Yogyakarta 

Berbeda dengan skena musik lainnya, Paguyuban Piyayi Sompilan hadir dengan format karaoke satu keyboardist di tengah kota Yogyakarta.

Panggung musik di era 2000-an identik dengan kafe. Banyak musisi dan band besar lahir dari aksi manggung keliling kafe. Sebut saja musisi sekaliber Ariel Noah, Ryan D’Masiv, dan duo maut Endah N Rhesa pernah menjajakan suaranya di kafe-kafe kecil. Namun, skena musik itu saat ini cenderung ditinggalkan, menyisakan para paruh-baya yang ingin hiburan malam. Sedangkan muda-mudinya, lebih memilih panggung festival.

Skena musik di era saat ini sangat beragam jumlahnya. Mulai konser besar dengan guest star musisi kenamaan, gigs pop-punk, underground, folk, hingga helatan panggung jazz di kampung. Semuanya menimbulkan animo yang luar biasa hebat. Berbayar ataupun tidak gas-gas aja.

Berbeda dengan jenis skena musik di atas, di kawasan Karaton Ngayogyakarta, terdapat sebuah kolektif musikan bernama Paguyuban Piyayi Sompilan. Bertempat di food court Sompilan di Jalan Magangan Kulon No.2, Patehan, Kecamatan Kraton, atau tepat di balik dinding Kraton bagian belakang.

Paguyuban Piyayi Sompilan merupakan grup karaoke dengan formasi satu keyboardist sebagai pengiring lagu yang dihelat setiap hari Rabu dan Sabtu. Siapapun boleh menyanyi dengan membayar 5 ribu rupiah per lagu kepada panitia. Jika ingin menyanyi lebih dari itu, ya tinggal dikalikan saja.

Setiap penyanyi yang sudah mendaftar, nantinya akan diberi nomor antrian oleh paguyuban. Sembari menunggu giliran, mereka (para piyayi sebutannya) menghabiskan waktu dengan bermain catur, mengobrol dengan kawan, dan tentu saja makan.

Keseruan tanding catur sembari menunggu giliran berkaraoke di Paguyuban Piyayi Sombilan (dok. Muhamad Fahrizal Leo)

Arena pertandingan catur memang menjadi salah satu visual utama di Sompilan. Selain hari Rabu dan Sabtu pun, warga sekitar tetap memadati lokasi untuk mencari lawan tandingan. Mereka pun memiliki paguyuban sendiri yang berbeda kepengurusan dari skena musik Sompilan.

Grup karaoke yang didominasi bapak-bapak dan ibu-ibu paruh baya ini, ternyata tidak hanya warga sekitar yang tinggal di daerah Magangan, Rotowijayan, Ngadisuryan, ataupun Ngasem. “Banyak yang dari jauh mas, itu yang bapak-bapak yang pakai topi kolonel dari Ngemplak, ibu berkacamata rayben dari Parangtritis,” ujar seorang bapak di samping saya yang sedang menunggu giliran bernyanyi.

“Pokoknya semua orang yang datang ke sini adalah keluarga, mas. Selama tidak berbuat rusuh, mabuk, dan sing ala-ala kita semua welcome pokokke mas,” imbuhnya dengan antusias.

Lagu-lagu yang dibawakan tentu saja tembang lawasan dan dangdut seperti Pance Pondaag, Nike Ardila, Jamal Mirdad, Didi Kempot hingga Nella Kharisma. Paguyuban karaoke ini didirikan sudah sejak lama, bahkan hingga ganti generasi. Sebab saking lamanya paguyuban ini, diketahui pengurus-pengurus sebelumnya banyak yang sudah swargi (wafat).

Sayangnya sempat terhenti ketika pandemi melanda. Masyarakat dirumahkan, artinya tak ada musik berdendang dan Sompilan tidak bergoyang. Selain pandemi, salah satu hal yang membuat Sompilan libur menyanyi adalah ketika ada lelayu atau orang meninggal di kawasan Kemagangan sebagai bentuk simpati dan turut berbela sungkawa.

Suasana Paguyuban Piyayi Sombilan di Yogyakarta (dok. Muhamad Fahrizal Leo)

Pada awalnya, Sompilan merupakan kebun yang tak terpakai dan berdiri di atas tanah milik Kasultanan Ngayogyakarta. Sedangkan para pedagang yang saat ini melapak di sana, dahulu berjualan di sepanjang Jalan Kemagangan Wetan. “Pasca gempa bumi 2006 silam, para pedagang mulai diarahkan untuk melapak di kebun Sompilan,” ujar Meniez, seorang pedagang ramesan yang sudah berjualan sejak tahun 2002.

Skena karaoke Sompilan jelas sangat menjadi wahana hiburan yang murah-meriah di tengah banyaknya konser musik panggung besar. Hari Rabu dan Sabtu, seakan menjadi hari besar warga sekitar yang menggembirakan.

Setelah penat bekerja, menarik becak, ataupun nariki tagihan kredit, memulung sampah, warga yang kebanyakan bekerja di sektor non-formal ini, tahu harus kemana untuk melepas lelah.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Muhamad Fahrizal Leo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts