Road Country | Cerita Pendek Aisyah Ajeng Katarin

Sudah dua jam berlalu, sejak Agus mengoglek motor bututnya untuk di ajak minggat. Hanya makan angin tak jelas yang dilakukannya sekarang. Jalanan yang dilaluinya pun sudah bosan dilindasnya setiap hari. Hanya begini-begini saja. Tidak ada tujuan.

Sesekali ia berteriak meluapkan kegelapannya, dan sukses menarik perhatian para pengendara lain di jalan. Sengaja berkendara sejauh mungkin dari kota demi mencari bersihnya oksigen. Sedikit dirasa pusing dan mual karena masuk angin. Dengan begini, semakin lengkap kesumpekan jiwanya. Kosong namun penuh. Bagaimana mendeskripsikan dirinya saat ini, Agus pun tidak tahu. Pandangan yang kosong, padahal isi kepalanya penuh.

***

Tiga jam. 

Agus masih betah menduduki joknya yang telah usang. Namun tidak lama. Di jalanan pinggir kota, kedamaian telah ditemui Agus. Akhirnya motor butut Agus mendapat jatah istirahat. Tentu bersama si tuan yang sangat sayang dan telaten merawatnya selama ini.

Sepi. Tidak ada satupun lalu lalang kendaraan. Walau jalanan pinggir kota, jalanan itu bukan jalan tikus yang sering dilalui untuk antardaerah. Kondisinya sudah berlubang, mungkin inilah yang membuat para pengendara menghindarinya. Namun, tidak untuk Agus. 

Agus menurunkan standar motornya, yang setidaknya masih kuat. Alih-alih duduk di atas motor sembari menikmati senja di tepi jalan menghadap sawah yang siap dengan masa panen sebentar lagi, Agus duduk bersila di samping motor. Tangannya merogoh saku jaket, di sana biasa ditemukannya kotak rokok dan korek. Kini ia membiasakan diri dengan beberapa bungkus permen mint yang sayangnya tinggal tersisa dua dengan bungkus yang bertuliskan kata-kata gombal —kata iklan— di baliknya. Mengurangi pencemaran udara dan paru-paru alibi Agus. 

Sebungkus permen telah raib ke dalam mulut Agus. Kini tangannya ganti merogoh saku jaket sebelah. Gawai yang sudah retak di beberapa sudut layarnya telah digenggam Agus. Di hidupkannya, lantas menarik bilah notifikasi atas ke bawah. 

“Ramai,” gumamnya tanpa secarik senyum tersungging di bibir hitamnya.

Banyak notifikasi group chat, beberapa panggilan suara tak terjawab, SMS tawaran kredit, pulsa penipuan, himbauan jaga kesehatan, dan sebagainya. Sempat ia membuka kotak surel memastikan balasan surel lamaran kerjanya. Sayang, masih tak terbalaskan lagi kali ini.

***

Atmosfer bersih di pinggiran kota dirasa suram seketika oleh Agus. Sebuah panggilan suara masuk dari nomor yang sama berulang kali di mana sebelumnya tidak terjawab. Agus masih tidak percaya nomor panggilan tersebut masih ingin mendengar suaranya. Padahal sudah ia hapus nomor tersebut dari daftar kontak. Namun sial, Agus masih mengingatnya dan itu cukup menyesakkan.

Agus menaruh gawainya, mengabaikan getaran panggilan hingga berhenti sendiri. Menyobek bungkus permen lagi, dinikmatinya rasa mint terakhir itu sambil berusaha bernafas dengan baik. Gawainya bergetar kembali. Nomor yang sama. 

Mood Agus perlahan kembali. Diraihnya kembali gawai retak itu. Menggeser tombol hijau seraya mendekatkan ke telinganya. Suara grasak-grusuk terdengar di seberang. Agus masih diam.

“Kemana kamu?” 

“Ada apa?” Agus kurang suka berbasa basi, sekalipun dengan orang yang telah dikenalnya. Orang di seberang berdeham.

“Pulang.” 

Jeda panjang terjadi.

“Mas enggak suka kamu main minggat gitu aja. Kamu laki, udah gede punya ak…”

“Saya memang sudah dewasa, mas. Saya juga punya hak didengar sebagai manusia. Bukan selama ini saya diam mengikuti keinginan mas, saya enggak punya mimpi. Saya punya tanggungan dan kadang sumpek juga, mas.”

“Mas terlebih!” Intonasi tinggi di seberang sempat mengejutkan jantung Agus, namun kemudinya tidak goyang.

“Saya paham, mas. Semua orang punya stresnya masing-masing, bukankah kita makhluk sosial, mas? Kalau toleransi enggak ada di antara kita yang sama-sama sumpek, gila sendiri kita, mas,” Agus langsung menyambar.

Nada Agus terkontrol baik. Walau bila ada stetoskop, dapat dipastikan jantungnya berdebar cepat. Adrenalinnya bagai dipacu hebat. 

Tidak ada jawaban di seberang. Lengang. Agus mulai merasa tidak nyaman. Ingin ia memanggil sosok di seberang, namun dibendung oleh gengsi. Agus hanya diam.

Seketika ia terperanjat. Ada suara memanggilnya, namun bukan dari seberang jaringan. Lembut nan dekat. Agus berdiri dengan gawai yang masih menempel di telinga. Meneliti sekitar dengan cepat. Namun, suasana masih sama. Ia masih sendirian di pinggir jalan itu. 

“Mas?” 

Agus memutuskan menjebol bendungannya. Diharapnya suara lelaki berusia 24-an tahun itu di seberang membalas. Bukan. Bukan suara itu yang didengar Agus. Namun, justru lagu Pesawat Tempurku milik Iwan Fals yang kerap didengarnya pada ringtone gawai masnya perlahan terngiang. Agus memutar badan untuk memastikan sekali lagi. Suaranya keras dan dekat.

Kepala Agus terasa pusing. Tidak seperti saat naik motor tadi. Terasa lebih berputar hingga membuat ia terduduk lemas. Matanya memejam menahan rasa sakit, tangannya menjambak rambutnya sendiri sampai gawainya jatuh entah kemana.

Agus membuka matanya perlahan. Aneh. Agus semakin ling-lung. Posisinya terbaring dengan lemas, sekujur tubuhnya terasa sangat sakit.

Kedua maniknya diputar meneliti. Telinganya menangkap percakapan seseorang. Tidak, bukan sendiri. Melainkan orang itu seperti tengah menelpon. Orang itu lekas menutup telepon usai melirik ke arah Agus.

“Gus?! Kamu udah sadar?!” 

Agus masih bingung melihat laki-laki yang lebih tua darinya itu berdiri di sampingnya sambil menekan-nekan tombol di atas ranjang ia terbaring. Ranjang? 

“Mas, a-aku kenapa?” 

“Kamu kecelakaan, Gus! Ditabrak mobil pick-up dari belakang. Akhirnya kamu buka mata. Hampir dua minggu, Gus! Jangan suka main minggat lagi kamu makanya!”

Cuma mimpi? Tapi, toh intonasinya juga sama saja.” 

Batin Agus sedikit menyesal, namun diiringi senyum tipis. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Tidak lama, pintu kamar inap Agus di terobos seorang dokter wanita dan perawat.

Tamat.

 

Penyelaras Aksara: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi: Amry Hidayat (Jogja Method)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Ary Juliyant: Kalau Terkenal, Berarti Saya Gagal

Next Article

The Glad: Single “Anti Nganggur” dan Etos Kerja Keras untuk Bersenang-senang