Ary Juliyant: Kalau Terkenal, Berarti Saya Gagal

Gerilya yang dilakukan Ary Juliyant tidak memiliki konsep dasar yang pasti. Semuanya lentur mengikuti tempat, kondisi, dan zaman.


Malam itu terjadi enam tahun yang lalu. Kepala saya memaksa ingatan untuk menangkap kembali tiap detail yang terjadi. Disergap udara dingin Omah Petruk, Karang Klethak, Yogyakarta, saya menyaksikan Ary Juliyant menyajikan repertoarnya. Tampil setelah Sujud Kendang, Chick and Soup, dan Sisir Tanah, tak mengurangi antusiasme saya mendengar Ary Juliyant manggung. Sebagai seorang penampil tunggal, peralatan yang ia bawa cukup banyak. Selain gitar bolong, harmonika, dan tamborin kaki, ia masih menenteng sebuah banjo. Nahas, panggung malam itu adalah hamparan pasir tanpa stage. Tamborine kakinya nyaris tidak jadi bunyi jika tak diganjal selembar tripleks. 

Ary Juliyant duduk di tengah, di antara alat-alatnya. Harmonika yang bersandar di lehernya ia copot dan diletakkan di meja kecil. Setelah adegan-adegan kecil persiapan, saya tercenung menyaksikan penampilannya. Saya selalu mengagumi bagaimana ia menarik nada-nada tinggi. Improviasasinya tidak pernah meleset. Mungkin perasaan seperti ini yang menjadi awal dari celetukan, “Suaranya sopan banget masuk telinga, pake permisi dulu”.  

Dingin udara mulai terlupakan. Pada akhir setlist-nya, beberapa penonton mulai berjoget kecil di tepi panggung. Ary Juliyant merespons dengan bangkit dari kursi dan membawakan lagu Blues Kumaha Aing yang rancak. Penonton seperti bara yang disiram bensin. Mereka kemudian berjoget mengelilingi Ary Juliyant di atas pentas. Ia sedikit kewalahan karena harus bernyanyi sambil berputar juga. Suasana pecah, tawa berhamburan malam itu. Semua bersenang-senang seakan tak ada hari esok. Beberapa orang mungkin baru pertama menyaksikan penampilan Ary Juliyant, beberapa lainnya mungkin sudah lupa namanya setelah dipersilakan oleh MC tadi. Namun yang jelas, senyum dan tawa mengembang di wajah setiap orang malam itu.   

Ada perasaan kosong setelah keriuhan malam itu berakhir. Sebab saya sadar pengalaman menonton Ary Juliyant secara langsung sulit terulang. Pasalnya, ia tinggal di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Belum lagi pada tahun-tahun itu, lagunya tidak banyak di Youtube, apalagi layanan streaming musik. Sementara sepengetahuan saya, albumnya dicetak sangat terbatas. 

Seperti pepatah lama, selalu akan ada yang pertama untuk setiap hal. Bulan Oktober 2015 adalah kali pertama saya bertemu Ary Juliyant. Sedangkan beberapa minggu sebelumnya, pertama kali saya dengar namanya. Lalu, beberapa waktu lalu, saya beranikan diri mengirim pesan lewat Facebook. Tak dinyana Ary Juliyant masih ingat penampilan enam tahun lalu di Omah Petruk, Yogyakarta. Sejujurnya kalau ia lupa, saya belum menyiapkan rencana cadangan.

Hari itu, Kamis (24/6), saya membuat janji untuk berbincang melalui sambungan telepon pukul 17.00 WITA. Saya memasang alarm agar tidak lupa kalau Lombok memiliki zona waktu yang berbeda. Sehari sebelumnya, ia menanyakan provider seluler saya. Ia ingin menyamakan provider-nya. Barangkali ia memikirkan supaya saya tidak tekor pulsa. Dalam batin saya berkata, “Slamet-slamet”. 

Hampir dua jam kami ngobrol via udara. Tak terhitung berapa kali saya pindah telinga karena layar gawai panas seperti setrika. Berulang kali juga saya berterima kasih dan minta maaf karena mengganggu waktunya. Walhasil saya mendapatkan banyak sekali cerita. Dari sana saya memutuskan untuk membaginya dalam dua tulisan. Yang pertama adalah tulisan ini, dan kedua berisi pertanyaan-pertanyaan saya tentang album Ary Juliyant, Asa di India (2011).

Tiga Puluh Album

Sekadar informasi, Ary Juliyant telah mengeluarkan lebih dari 30 album. Di luar dugaan, hitungan 30 album itu ternyata mandek di tahun 2000. Pasca tahun itu, dia tidak ingat lagi jumlah pastinya. Album pertamanya berjudul Overhang (1988). Dari sekian banyak albumnya, saya hanya punya satu, Asa di India (2011). Untuk yang satu ini, ia juga tidak tahu nomor berapa.

Ketika saya tanya apakah ia hafal semua judul albumnya, dengan mantap ia jawab “InsyaAllah”. Ia cerita masa-masa produktifnya membuat album ketika tahun 1996-1997. Saat itu ia masih berdomisili di Bandung, Jawa Barat. Baru pada tahun 1998, ia memutuskan pindah ke Lombok sampai sekarang.

Dengan begitu, mitos tentang musisi yang kandas atau bubar setelah tiga album tak pernah ia risaukan. Karenanya ia telah mematahkannya sepuluh kali dan masih akan bertambah lagi.

Ary Juliyant menganggap album-albumnya sebagai catatan perjalanan. Albumnya jarang dicetak banyak, hanya 10 sampai 20 keping saja. Sampul album biasanya hanya berupa kertas fotokopian. Sementara isinya adalah keping CD-R yang diberi cap Ary Juliyant & Folk, label Fotokopi Records, ditambah dengan nomor seri yang ditulis manual dengan spidol. Setidaknya itu juga yang ditemui pada album yang saya miliki.

“Album saya jarang cetak ulang. Setelah selesai rekam, saya dengarkan lalu simpan. Kalau ada yang minta saya kasih. Kalau ada yang butuh bisa jadi saya rekam lagi. Jadi tidak pernah rilis dan dicetak banyak,” ucapnya.

Sebelum tahun milenium kedua, ia sebut album-albumnya generik. Maksudnya, rekaman dilakukan dengan tape compo secara live alih-alih di dalam studio. Ia percaya dengan cara itu, muncul emosi yang kontras dibanding rekaman studio. Saat itu, CD belum populer. Albumnya masih berupa kaset pita dengan sampul yang lagi-lagi fotokopian. Sampai dua album terakhirnya, A Matter of Covidagrass dan Sevenium Pre Milenium saya masih melihat semangat yang sama.

Tahun-tahun itu, tidak sedikit orang yang mengernyitkan dahi dengan caranya memproduksi album. Mungkin saat itu, album musik masih dianggap sesuatu yang sakral dan harusnya lahir dari rahim studio. Meski begitu, ada juga yang memberikan apresiasi dan dapat memahami apa yang sedang ia kerjakan. “Padahal kalau di luar negeri, banyak juga yang melakukan hal itu,” katanya.

Ary Juliyant pernah membuat sebuah sistem plasma untuk penyebaran musiknya. Albumnya yang terbatas membuat beberapa orang pernah minta izin untuk mencetak ulang. Namun ada satu syarat yang musti dipenuhi. Siapapun harus memasukkan unsur kesenian lain dalam album tersebut, entah dalam gimmick pemasaran atau melalui kemasan dan sampul yang berbeda. Pokoknya, harus ada unsur kebaruan kreatifitas. 

Tur Gerilya

Perjalanan gerilya Ary Juliyant bermula di kota kelahirannya, Bandung. Ketika tidak mungkin memasuki industri (major), ia bergerak menyusuri jalur-jalur bermusik yang sunyi. Komitmen ini yang justru membuat ia menemukan kebebasan untuk mengeksplorasi laku musiknya. Orang lazim menyebutnya indie. Ia sendiri lebih senang dengan istilah gerilya. 

Baginya, gerilya tidak hanya soal musik, tetapi lebih jauh lagi. Inti dari gerilya ini adalah memaksimalkan keterbatasan. Coba kita lihat industri mainstream yang memiliki perangkat propaganda lengkap seperti studio rekam, relasi dengan stasiun TV atau radio, dan jaringan distribusi yang memadahi. Sementara, musisi yang bergerak di sidestream tidak punya itu semua. Karenanya, hal pertama yang perlu dilakukan adalah membangun jaringan dan infrastruktur pertemanan. Untuk itu sejak awal 2000, ia sudah menjalankan tur gerilya keliling Nusantara sampai luar negeri.

“Seseorang pernah bertanya, kalau sekarang musik saya sudah diterima kalangan mana saja, apakah proses gerilya selesai? Saya jawab, ya tidak. Gerilya ini tidak melulu tentang musik saya, tetapi juga orang di sekitar saya. Yang diperjuangkan adalah meyakinkan orang di manapun bahwa keterbatasan bisa dimaksimalkan,” tutur Ary Juliyant dengan yakin.

“Contohnya saya, tidak punya uang bisa bikin album. Jadi ya yang digerilyakan masih banyak. Kalau saya terkenal saya malah merasa gagal sebagai gerilyawan,” jelasnya.

Gerilya yang dilakukan Ary Juliyant tidak memiliki konsep dasar yang pasti. Semuanya lentur mengikuti tempat, kondisi, dan zaman. Gerilya yang ia yakini memang dilakukan secara mandiri. Meski begitu tidak berarti semua hal ia dilakukan seorang diri. Terdapat pola-pola kolaborasi yang ia percayai. Salah satunya, ia tak pernah menghalangi orang lain membantu proses kekaryaannya.

Ia persisten di jalur ini. Belum ada kata penat dalam catatannya. Pola-pola ini sudah ia lakukan bahkan sebelum milenium kedua. Sampai sekarang ia tetap menjadi penghibur, menulis lagu, dan berkesenian. Seterusnya, ia akan memikirkan kemungkinan baru yang bisa ia lakukan dalam gerilya. 

“Saya sudah tidak peduli dengan karya saya. Tugas saya itu meracuni orang supaya lebih semangat. Proses kekaryaan saya sudah selesai. Saya tidak punya ambisi apapun. Yang utama sekarang ya gerakan meracuni itu,” ucapnya sambil tertawa.

Gerilya ini sudah dianggapnya seperti ibadah. Tak pernah ada ekspektasi apa yang ia peroleh atau temui ketika datang ke suatu tempat. “Saya pengennya tidak terkenal, yang penting sudah melakukan sesuatu, lalu pergi saja. Sudah.” Saya menimpali, “Tapi saya kira banyak sekali orang yang mengenal Ary Juliyant, kalau saya bilang Mas Ary itu terkenal dalam kesunyian.” “Ya, biarlah begitu saja,” balasnya diiringi tawa kami yang meledak bersamaan.

Obrolan yang lumayan serius sore itu diselingi banyak tawa yang lepas. Saya tidak menyangka sore itu terasa sangat cair sekaligus hangat. Bahkan setelah satu jam berlalu, saya merasa obrolan ini masih akan berjalan panjang. Padahal, saya hanya pernah bertemu dengannya sekali, dan itu enam tahun lalu. Apalagi, saya hanya penonton.

Cita-cita Perupa

Saya selalu penasaran dengan nama panggung Ary Juliyant. Sebab saya tahu, ia terlahir dengan nama Ary Darjanto. Dengan sedikit sungkan, sore itu saya beranikan diri menyinggung soal nama panggungnya.

“Itu sebenarnya karena adik-adik saya punya unsur bulan lahir di dalam namanya. Saya tidak. Ya sudah saya ganti-ganti saja sendiri. Tadinya Juliyanto, tapi supaya lebih nasional saya ganti Juliyant,” paparnya.

Ary Juliyant tidak pernah membayangkan dirinya menjadi seorang musisi. Cita-citanya menjadi perupa. Tentu saja keduanya adalah cita-cita yang tidak ramah restu orang tua. Ia kemudian mengambil fakultas hukum. Di sana, tak hanya tercecah, dia tenggelam dalam kegiatan pecinta alam. Momen itu menjadi titik awal ia menemukan musik, kalau tidak ditemukan musik. Sebuah laku hidup yang ia tekuni hingga sekarang. 

Meski demikian, di kemudian hari cita-citanya menjadi perupa tenyata kesampaian juga. Semenjak menginjakkan kaki di Lombok, gairah menekuni seni rupa meletup lagi. Ia bahkan sempat mengadakan pameran juga, salah satunya di India.

“Sekarang gerakan saya tidak ingin mengkotak-kotakan kesenian, seni musik, seni rupa, sastra atau seni apa. Kita jalan sama-sama saja lah,” pungkasnya.

Musikalisasi Puisi

Dalam bermusik Ary Juliyant banyak menjadikan puisi teman-temannya jadi lagu. Beberapa yang saya ketahui adalah Wanita Hijau karya Kiki Sulistyo, Aku Tidak Tidur Manis karya Kartawi, dan Beribu Kepada Televisi karya Ki Jun. Inspirasinya datang dari musik baul di India.

“Itu adalah musik berabad lalu, zaman kerajaan. Itu musiknya para pujangga yang perkataannya didengarkan oleh raja. Setiap tampil mereka mengeritik raja dengan nyanyian. Di India juga pernah ditemukan naskah nyanyian yang liriknya adalah ramuan obat-obatan. Kalau di nusantara ada macapat. Jadi sebenarnya musik itu sangat dekat dengan sastra,” terangnya.

Diakuinya ketika memusikalisasikan puisi, ia menemukan sensasi kedekatan antara tulisan dengan musiknya. Selain puisi, Ary Juliyant pernah juga memusikalisasi beberapa alinea cerpen. Tahun 2018 kemarin, ia juga baru membuat lagu dengan bahasa yang diciptakannya sendiri, yang dia sendiri juga tidak tahu apa artinya.

“Meskipun saya juga terlibat kalau ada yang buat acara sastra. Saya tidak pede kalau disebut sastrawan. Saya juga sering menulis catatan harian, tapi tidak menyebutnya puisi. Ya saya bilangnya tutur kata hati saja. Suatu saat saya ingin memunculkannya sebagai buku juga,” cerita dia.

Selain bergesekan dengan sastra, banyak juga lirik lagu Ary Juliyant yang bercorak sosial dan deskriptif. Beberapa lagu misalnya Koboi Kampungan dan Plecing Kangkung. Lagu berisi kritik lainnya ia akui juga dibuat untuk kota kelahirannya, Bandung. Ia dengan lebih keras mengkritik justru setelah pindah ke Lombok. Kepekaan sosial ini ternyata tumbuh jauh sebelum itu. Tragedi kelaparan di Ethiopia tahun 80-an telah menggugahnya untuk menuliskan lagu dengan tema sosial.

“Tapi selain itu juga, beberapa lirik lagu saya juga sengaja dibuat multitafsir. Misalnya lagu Salam Kepada Ikan-ikan, itu inspirasinya dari SMS teman. Dia bilang salam ya buat ikan-ikan. Liriknya bisa dimaknai kesedihan terhadap eksploitasi laut, tapi bisa juga bersifat sangat personal. Misalnya, kecintaan terhadap orang lain,” jelasnya sambil mendendangkan lagu itu.

Awalnya ia memang berangkat dari musik balada, musik folk. Perkenalannya dengan Mukti-Mukti dan Sawung Jabo membuatnya berkesempatan memperlebar referensinya. Sekarang ia masih menekuni musik yang disebut bluegrass

Sampai di sini, saya terpegun sebentar. Saya bisa saja sok tahu dan melanjutkan obrolan dengan pura-pura paham. Namun, saya merasa perlu tahu langsung apa itu bluegrass dan bagaimana Ary Juliyant memaknainya. 

Bluegrass adalah sebuah musik sempalan country. Pada tahun 1930-an di Kentucky, Kecamatan Bluegrass ada seorang tokoh bernama Bill Monroe. Dia mengembangkan teknik dari country sebelumnya. Country sendiri awalnya kan dipengaruhi musik imigran Irlandia, celtic, irish. Nah, dia mengembangkan alatnya dengan yang sangat tradisional, misalnya banjo, mandolin, biola, kontrabass, dan dobro. Itu khas bluegrass. Musiknya sangat sederhana, hanya tiga chord. Ya musik kampung seperti country. Yang ditonjolkan itu kelihaian memainkan alat musiknya,” ceritanya dengan semangat.

Selain kecintaannya pada bluegrass, beberapa kali saya melihat Ary Juliyant memainkan lagu John Denver di media sosialnya. Saat saya tanya tentang John Denver, ia tertawa lepas. John Denver adalah orang yang pertama menginspirasi Ary Juliyant memainkan musiknya sekarang. Sejak pertama dengar di bangku SMP, ia terus menggali siapa itu John Denver. Saat menjadi penyanyi kafe, lagu John Denver tidak luput dari daftar lagunya. Bahkan, tahun lalu ia membuat sebuah pentas bertajuk “Remember John Denver”. Di sela penampilan, ia fasih bercerita sejarah John Denver, dan kaitannya dengan lagu yang akan ia bawakan. Ada satu lagu di album Pasca Fatamorgana (2019) yang dibuat untuk John Denver.

“Saya pikir dia menginspirasi banyak orang. Sebenarnya saya tidak terlalu fanatik juga. Saya mengikuti karyanya di era 60 sampai 80-an. Kalau yang 90-an kemari tidak begitu ngikutin. Pada masa-masa itu, saya merasa dia sangat dapat soul-nya ketika bicara tentang kedekatan dia dengan alam. Denver itu ada juga beberapa yang bluegrass. Dia sendiri sebenarnya tidak terlalu country. Dia lebih ke folk lah. Kalau saya berangkat dari bluegrass”.

Di panggung, ia kerap berseloroh kalau jarang latihan dengan band-nya Badjigur Bluegrass. Ternyata ini sudah jadi kebiasaan ketika ia bermain dalam kelompok. Baginya, yang paling penting itu bukan menghafal lagu. Bagaimana setiap orang peka membaca pikiran personil lain dan menyiasati keadaan justru yang harus jadi kunci. Tentu saja untuk sampai ke sana, setiap musisi harus sudah melengkapi dirinya dengan latihan yang memadahi.

“Jadi biasanya kami saling merespons saja, kalau saya menyanyi dan main gitar sebagai lead, yang lain akan memberi respons. Kalau terbiasa dengan cara ini, orang tidak takut bermain dengan siapa saja. Main di mana ayo saja. Meskipun tidak terlepas sering ada salah, itu wajar. Paling tidak buahnya itu,” ungkapnya.

Satu hal lain yang saya amati dari penampilan Ary Juliyant adalah absennya daftar lagu. Ia mengaku baru menyiapkan daftarnya beberapa saat sebelum naik panggung. Ia punya resep sendiri. Ia cermat mengidentifikasi jenis penonoton. Dengan lentur, ia akan menyesuaikan daftar lagu dengan demografi penontonnya. Seperti cerita saya di awal tulisan ini, ia juga selalu sigap merespons kondisi kerumunan. Rancangan daftar lagu yang dipikirkan juga bisa berubah tergantung situasi penonton.

Rumah Kucing Montong

Saat ini, Ary Juliyant aktif berkegiatan dalam komunitas Erkaem alias Rumah Kucing Montong. Pertama kali tahu, saya kira montong itu artinya besar. Mungkin maksudnya kucing di rumah ini besar-besar. Ternyata, Montong adalah nama daerahnya.

Rumah itu awalnya adalah tempat tinggal. Setelah pada 2007 memutuskan untuk pindah tidak jauh dari sana, bangunan itu menjadi tempatnya berkesenian. Mula-mula, banyak temannya yang berkumpul dan mengadakan acara musik, bedah buku, screening film, seni rupa, atau diskusi sastra di sana.

Sejak tahun 2016, beberapa teman ingin bergerak lebih serius. Setelah terbentuk komunitas, kemudian ada ide untuk membentuknya menjadi sebuah lembaga. Di dalamnya ada banyak lembaga-lembaga lain. Lembaga ini kemudian disebut komunitas geriliya kesenian Erkaem.

“Kami punya kesepakatan di sini. Kalau rumah ini namanya Rumah Kucing Montong, tidak disingkat. Tempat ini sebagai shelter, kantor, atau tempat pertunjukkan. Nah, di dalamnya ada komunitas Erkaem, Ari Juliyant & Folk, dan saya juga punya perpustakaan,” jelasnya.

Tempat ini sering jadi jujukan siapa saja yang sedang mampir ke Lombok. Musisi yang tur sampai ke Lombok sering mampir ke Rumah Kucing Montong, salah duanya adalah Jason Ranti dan Iksan Skuter. 

Selain kegiatan kesenian, Rumah Kucing Montong juga menjadi wadah usaha-usaha kreatif misalnya tukang cukur, pembuat kacamata, sampai bakso cuanki ada di sana. Semua itu ia jalankan bersama teman-temannya.

“Tempat ini saya buat karena gelisah. Saya miris melihat seniman muda tidak punya tempat untuk diakses. Dulu pernah ada satu warung yang kami gunakan untuk pentas segala macam, tapi kemudian ditutup. Maka saya buat saja sendiri di sini. Selama pandemi ini saya maksimalkan Rumah Kucing Montong ini sebagai shelter dan tempat kesenian” terangnya.

Sembari mencopot satu earpiece karena telinga terasa panas, saya lihat matahari sudah rebah. Saya yakin di Lombok sudah lebih larut. Saya tidak menyangka obrolan panjang malam ini bertumpu pada satu malam enam tahun lalu. Melihat daftar pertanyaan yang sudah kosong, saya izin pamit dan berterima kasih.

Wabakdu, saya terduduk lama sambil meresapi peristiwa yang baru saja terjadi. Berulang kali saya mbatin, Ary Juliyant sebenarnya sosok yang sangat terkenal, tetapi ia terkenal dalam kesunyian. Ia tak terpampang dalam baliho-baliho besar, atau sorot lampu-lampu televisi. Dalam lamunan itu, sayup-sayup suara Ary Juliyant menggema di telinga saya yang masih panas, “Ya, biarlah begitu saja,” jawabnya diiringi tawa yang lepas.

 

Editor: Andreas Pramono

 

2 comments
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts