Cerita Sekar Primandari & Mohammad Agung Kurniawan saat berkunjung ke Buntari Studio; sebuah ruang industri kreatif yang berfokus pada seni keramik di Yogyakarta.
Apa yang terpikirkan olehmu saat mendengar kata “tanah liat”, “gerabah”, “keramik”? Pasti langsung terbayang proses pembuatan tanah liat dengan teknik putar yang healing banget itu kan? Hingga saat ini, keberadaan seni kriya keramik semakin menarik untuk dibahas, apalagi berjalan seiringan dengan kesadaran anak muda masa kini yang suka mengisi waktu dengan hobi berkebun hingga menghasilkan sebuah karya seni rupa.
Selain karena bentuknya yang menarik dan unik, seni kriya keramik punya nilai tersendiri dari proses yang cukup panjang penuh kesabaran. Untuk menghasilkan sebuah rupa dari tanah liat, tak sekadar dibutuhkan alat dan bahan penunjang yang jadi modal, tetapi juga butuh hadirnya rasa dan karsa dari penciptanya.
Menurut Sidik Purnomo selaku founder Buntari Studio, melalui teknik keramik seseorang bisa mendapatkan sarana meditasi berupa emotional healing. “Karena harus sangat fokus, walaupun kita sudah mengeluarkan effort yang penuh, teknik yang telaten itu pun tidak menjamin akan berhasil,” ungkap Sidik. Hingga akhirnya terbentuklah wujud yang tak sekadar dapat dinikmati, tetapi juga dirasa dan dirawat oleh tangan-tangan pembeli, penikmat, dan pengoleksi.
Buntari Studio adalah sebuah ruang industri kreatif yang berfokus pada seni keramik. Dibentuk sejak tahun 2014 oleh Sidik Purnomo yang menjalankan keberlangsungan Buntari Studio sampai hari ini. Sidik sudah mulai menekuni seni keramik sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 2009 di Klaten. Lalu pada tahun 2014 ia melanjutkan pendidikannya di ISI Yogyakarta pada jurusan Seni Kriya.
Selain itu, ia juga sempat hidup bersama keluarga pengrajin keramik di Jepang sekaligus mengikuti program cultural activities selama satu tahun menjadi murid dari Sensei Chitaru Kawasaki. Chitaru Kawasaki merupakan seorang profesor asal Jepang yang sempat mengajar di Bayat, Klaten, dan menjadi konsultan untuk mengembangkan potensi suatu daerah salah satunya adalah gerabah. Momen itulah yang kemudian menjadi motivasinya untuk membentuk industri seni keramik di daerahnya.
Sebelumnya, Buntari Studio pernah berada di fase vakum dalam beberapa bulan dikarenakan kurangnya SDM, sedangkan pekerjaan semakin menumpuk. Akhirnya Sidik berinisiatif untuk mengajak teman-teman terdekatnya yang bersedia untuk diajarkan berkarya dengan keramik hingga menjadi mentor dan tim inti. Istilah Buntari sendiri dalam bahasa Jawa berarti semangat muda yang dipilih sebagai nama dan jati diri seni kriya keramik.
Seiring berjalannya waktu, Buntari Studio semakin bervariasi dalam mengolah keramik menjadi beragam bentuk, mulai dari cangkir, asbak, pot bunga hingga melakukan kolaborasi bersama Papermoon Puppet Theatre untuk membuat sebuah puppets berbahan dasar keramik. Ada pula kolaborasi bersama beberapa seniman lokal lainnya.
Buntari terdapat di dua tempat yaitu di Karangjati, Gedongan, Bantul untuk bagian produksi dan Buntari Studio & Store di coworking space Ruang Buat, Kasongan Raya, Bantul untuk workshop. Workshop dibuka untuk umum setiap harinya. Siapapun dapat mendaftar dalam kegiatan ini mulai dari anak-anak hingga dewasa. Peserta dapat memilih teknik pengkaryaan seperti teknik putar yang diadakan selama dua kali pertemuan dan teknik pinching untuk satu kali pertemuan. Bagi Buntari, tujuan diadakannya workshop ini adalah untuk menciptakan ruang kreatif bagi siapapun dengan merasakan experience dalam proses pembuatan karya keramik.
Dalam proses tersebut setiap peserta dibebaskan untuk membuat berbagai bentuk tanpa adanya batasan-batasan karya. Para mentor hanya mendampingi dan memberikan instruksi berkaitan dengan teknik dasar dalam berproses.
Demi lestarinya cabang seni rupa ini, khususnya peran generasi muda, Sidik Purnomo berkeinginan melibatkan lebih banyak orang untuk menjadi penikmat hingga pencipta karya dari keramik. Ia ingin menciptakan sebuah ekosistem seni (art, craft, dan kriya) pada suatu tempat yang dapat menjamah hingga lingkup internasional guna terciptanya regenerasi budaya berkemarik dengan inovasi yang estetik.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto: Mohammad Agung Kurniawan