Mendengarkan “operasi;sen(sar)”, saya seperti sedang dipaksa menikmati indahnya caruk-maruk kota Denpasar hari ini. Bising, polusi, macet.
Saya sedikit kebingungan akan memulai dari mana ketika mencoba mencari titik terbaik untuk membuka tulisan. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Ada sedikit perasaan berhati-hati ketika ingin mengulas satu band ternama ini.
Rollfast adalah sebuah band yang dikenal melalui Rock Psycdhelic di mata pendengar setianya. Sepak terjangnya dalam dunia musik tidak lagi diragukan, mungkin terkesan naif atau klise membaca kalimat tersebut di awal tulisan. Tapi memang begitu adanya. Tak ada pretensi apapun selain pembacaan jernih-apa adanya terhadap objek.
Mendengar cerita sejarah panjang Rollfast tentu adalah hal yang mungkin tidak semua orang bisa dapatkan. Saya sedikit merasa beruntung bisa berbincang ngalor-ngidul dengan salah satu personilnya Bayu Krisna, yang lihai menceritakan sejarah panjang Rollfast.
Rollfast terbentuk atas dasar benang merah teman nongkrong dan teman kampus di salah satu universitas negeri di Denpasar. Ketiga personilnya adalah mahasiswa jebolan arsitektur yang kemudian iseng membentuk band dan akhirnya berjalan serius hingga saat ini. Meski sebagai mahasiswa jebolan arsitektur, membentuk sebuah band bukanlah hal menjanjikan untuk mengimplementasikan ilmu lintas disiplin yang dimiliki.
Rollfast bisa kita gunakan sebagai objek observasi sebagai salah satu band yang patut dijadikan laboratorium dalam melihat eksplorasi proses kreatif sebuah band. Tapi sebelumnya, perlu digarisbawahi bahwa saya bukanlah tim sukses atau sengaja menciptakan dramaturg ala penulis kondang yang mengglorifikasi Rollfast sebagai salah satu band sukses dalam kacamata saya.
Kesadaran menulis ini hadir atas dialektika yang saya bangun setelah beberapa pertemuan yang berulang dengan salah satu personilnya.
Mari kita mencoba menempatkan Rollfast sebagai pusat. Memandang dan membayangkan nama Rollfast sebagai sebuah ruang. Sebagai sesuatu yang dapat kita pegang, mengelusnya, bahkan mengetahui detailnya secara permukaan.
Ketika album pertama mereka keluar dengan judul Lanes Oil, Dream is Pry pada tahun 2015, apa yang teman-teman lakukan pada tahun itu? Kalau saya pada tahun itu sedang menjadi anak racing di kota kelahiran.
Rollfast telah mengeluarkan album perdananya dan langsung mempromosikan dengan tour beberapa kota di Jawa seperti: Semarang, Yogyakarta, Solo dan tentu di rumah mereka sendiri, Bali.
Rollfast beranggotakan Agha Praditya (vokal), Aan Triandana (Bass), dan Bayu Krisna (gitar). Pada awal terbentuk, band ini beranggotakan lima orang. Tapi hari ini hanya tersisa tiga.
Setelah album perdana mereka keluar, beberapa tahun kemudian mereka sempat juga mengeluarkan mini album berjudul Skets – Live at Puri Agung JRO Kuta. Teman-teman mungkin bisa mengaksesnya di Spotify atau platform musik lain.
Pada album “Skets” ini saya menemukan sebuah bentuk yang mungkin bisa dikatakan sebagai sebuah eksplorasi bagi Rollfast. Mau kemana mereka sebagai sebuah band yang dikenal bergenre Rock Psycdhelic? Itu justru tampak seperti mempertanyakan ulang makna yang mereka usung.
Sebagai sebuah band Rock Psychedelic, Rollfast menemukan makna yang begitu luas dalam mengartikannya. Saya sendiri juga bingung ketika mempertanyakan ulang perihal genre musik dalam sebuah band itu sendiri. Dengan derasnya arus media sosial hari ini, masihkah relevan mempertanyakan itu semua? Mungkin saya memang orang yang tidak tepat membicarakan itu, maka saya mencoba pindah posisi dan melihat Rollfast dari sudut pandang lain. Kehadiran album “Skets” yang berisikan lima judul pyur tanpa lirik tentu membuka ruang bebas interpretasi bagi pendengarnya. Kemudian ruang-ruang interpretasi itu menjadi begitu luas di mata pendengar mereka. Itu adalah hal organik yang terjadi. Karena di setiap judul memang memberi ruang yang luas. Memberi bebas pemaknaan yang semu, atau bahkan mungkin tidak bermakna.
Rollfast tidak memberi teks yang kuat di dalamnya, atau bahkan semestinya pendengar sendiri yang memberi teks dan maknanya. Begitu luas, bahkan saya sendiri tidak begitu fasih dalam membahasakannya. Tapi saya meyakini bahwa tidak ada karya yang lahir dari kehampaan, sekalipun ada toh pada akhirnya ditempeli juga oleh intrepretasi yang diamplifikasi. Mungkin Rollfast memiliki pembacaan pencapaian lain dalam album mereka ini.
Kemudian tahun 2020 mungkin adalah tahun yang sangat fenomenal bagi Rollfast dan pendengar setianya. Di saat masa pandemi kian akrab terdengar dan terasa begitu dekat, Rollfast hadir dengan masalah-masalah baru yang mereka lempar ke publik. Mencoba melempar ruang interpretasi kembali, kali ini dengan ditempel bersama teks berupa lirik. Bukannya memberi solusi, Rollfast malah hadir dengan teks yang simbolis namun abu-abu.
Garatuba adalah album yang lahir di bawah naungan La Munai Records. Ketika saya mendengarkan setiap materi itu secara berulang, terasa seperti menemukan pondasi besar yang sedang dibangun oleh Rollfast. Tampak jelas kelompok ini sedang membangun sebuah karakter yang mereka ciptakan dengan membaca identitas dan tubuh mereka sendiri. Mereka melihat realitas sosial, budaya, politik bahkan lebih jauh lagi hingga dunia percintaan hari ini. Rollfast seperti melempar hal remeh-temeh dalam kehidupan kesehariannya dengan mencoba menempelkan beberapa isu dan etnik yang begitu dekat dengan tubuh-tubuh mereka.
Tapi saya tertarik untuk mempertanyakan bagaimana proses kreatif di balik layar mereka. Obrolan dan observasi apa saja yang selama ini mereka tidak tahu dari pendengar setia. Ketika saya sering bertemu dan mengobrol seputar proses kreatif Rollfast bersama salah satu gitaris mereka Bayu Krisna, ternyata cukup menarik, lucu, sekaligus satir.
Bagaimana mereka berusaha mengumpulkan narasi yang sederhana dan receh untuk kemudian menjadi kesepakatan bersama dilempar sebagai sebuah masalah tanpa solusi. Sebagai sebuah narasi tanpa kesimpulan. Rollfast mungkin memang membentuk dirinya sebagai sebuah kelompok band yang memang tidak memberi solusi sama sekali. Rollfast merasa nyaman ketika apa yang dilemparnya ke publik menjadi perdebatan atau bahkan hal yang didiskusikan pada ruang-ruang kecil yang tidak terjamah. Menjadi hal yang memiliki interpretasi luas tanpa adanya sebuah kesimpulan. Kesimpulan dianggap milik tiap pribadi si pendengar, pendengar mencoba diberikan hak penuh dalam mengartikan apa yang didengarnya. Tidak ada tuntutan harus begini-begitu bagi Rollfast. Apa yang mendasari Rollfast mengambil sikap seperti itu?
Dalam pembacaan saya hari ini, band-band kebanyakan memilih sebagai kelompok yang ekslusif yang harus didengarkan sepenuhnya. Bahkan bila perlu harus ditiru dari segi sikap dan/atau fashion. Seolah band-band yang muncul hari ini mengidentikan diri mereka sebagai sebuah produk yang diciptakan bukan sebagai ruang dialektika, melainkan sebagai sebuah produk yang tidak mau tahu ketika terjadi sebuah keresahan di lingkungannya hari ini. Masih menganggap berbeda ruang serta ada jarak antara nge-band dan apa yang terjadi di lingkungan dan tubuhnya sendiri.
Rollfast mencoba melempar keresahan itu dengan bentuk yang sebenarnya tidak nyaman jika didengarkan. Menempelkan isu dan narasi yang sangat dekat dengan tubuh dari tiap anggotanya. Bagaimana mereka merajut teks-teks yang begitu dekat kemudian dikemas menjadi sebuah bentuk baru. Menggabungkan banyak unsur yang tumpang tindih. Semisal pada beberapa lagu dalam album “Garatuba” pendengar akan akrab dengan suara musik tradisional seperti gendang dan gamelan Bali. Bahkan mereka juga menempelkan voice “Google translate”.
Bagaimana pendengar membaca hal di atas sebagai sebuah peristiwa yang sengaja dibangun? Apa tujuan dan maknanya kemudian? Sebagai pendengar pasti bebunyian itu sangat memberi efek berkelanjutan ketika didengar, setidaknya memberi keresahan kecil. Belum lagi jika misal bebunyian itu dikuatkan oleh teks lirik yang ditulis. Pun teks-teks yang mereka tulis juga bukan sebuah teks yang mengerucut dan memiliki makna tunggal. Perlu elaborasi untuk membantu pendengar mencoba mengerti teks tersebut.
Hal lain yang kemudian lagi-lagi membuat saya curiga adalah apakah memang itu yang ingin dicapai oleh Rollfast? Menghasilkan banyak interpretasi dari tiap pendengarnya, jika iya untuk apa kemudian itu? Apakah akan ada dialektika panjang antara pendengar dan penciptanya? Atau dibiarkan menjadi blur begitu saja? Ini menjadi perkara yang menarik ketika ternyata Rollfast, katakanlah jika berbicara agak berat sedikit, menganggap dirinya adalah bagian dari perkembangan budaya di tanahnya sendiri. Bahwa hal yang kaku dan adiluhung itu mungkin sepantasnya harus diakrabi oleh realitas hari ini.
Sekali lagi, itu jika dibaca sebagai soal yang agak berat dan serius. Padahal nyatanya jangan-jangan mereka hanya sekedar melempar hal-hal sederhana nan receh (?) Pada akhirnya interpretasi adalah milik pendengar mereka.
Beberapa waktu lalu Rollfast kembali merilis album berbentuk fisik kaset, berjudul operasi;sen(sar) yang berisi rekaman live perform mereka pada tahun 2018 di Cush-Cush Gallery, Denpasar. Rollfast memberi kutipan tentang perform-nya ini dengan narasi “Interpretasi suasana Denpasar selama 24 jam”. Album yang diterbikan oleh “La Munai Records” berisi 10 rekaman track yang isinya hanya bebunyian noise tanpa arti. Dibanding album “Skets”, “operasi;sen(sar)” jauh lebih tidak bermakna.
Album “Skets“ masih bisa didengar dengan nyaman sebab masih ada nuansa musik yang harmoni untuk didengar, namun dalam “operasi;sen(sar)” jangan pernah teman-teman berharap ada nada yang harmoni yang dapat didengarkan.
Pertama kali saya mendengar dan memutar kaset itu, saya tidak bisa berkata apa-apa. Sebagai sebuah band yang sudah memiliki power sekelas Rollfast kenapa merilis materi yang seperti ini untuk dijadikan rilisan fisik? Saya tidak berhenti bertanya-tanya, saya buka kover kasetnya dan melihat artworknya yang sangat sederhana dengan potongan foto yang di-crop berbentuk seperti karet yang ditarik dari 6 sisi. Dengan warna yang identik berwarna orange, hitam dan putih.
Mendengarkan “operasi;sen(sar)” membuat saya tidak bisa meyakini bahwa apa yang saya dengarkan sudah sampai mana dan bagian apa? Sebab jika dilihat juga judul tracknya hanya berisi bilangan waktu, bilangan waktu yang penting dalam jam kehidupan masyrakat Bali. Sepuluh track tersebut, secara berurutan, terbaca dengan judul 06:00, Lemah, 02:46, 05:30, 12:00PEAK, 03:29, 05:39, SANDIKALA, 01:01, 05:59.
Saya tidak tahu pasti bagaimana Rollfast membaca waktu yang dijadikan judul tersebut. Judul dalam trek tersebut mendukung wacana perform live yang saya katakan tadi, “Interpretasi suasana Denpasar 24 jam”. Tapi ketika saya mendengarkannya bahkan kali ini sudah lebih dari 7X, saya masih belum menemukan titik pijak kuat sebagai penanda bahwa saya sudah sampai pada titik tertentu pada bagian track. Karena ini pyur hanya eksplorasi Rollfast terhadap apa yang mereka geluti.
Menurut cerita dari salah satu personilnya bahwa dalam performnya kali itu, mereka tidak ada saling bertemu sebelumnya. Jangankan untuk saling latihan, bertemu saja mereka satu sama lain hanya di acara. Hal tersebut terjadi karena ada beberapa kepentingan tiap anggotanya.
Mendengarkan “operasi;sen(sar)”, saya seperti sedang dipaksa menikmati indahnya caruk-maruk kota Denpasar hari ini. Bising, polusi, macet. Saya seperti sedang berada pada sebuah perjalanan menuju suatu tempat sunyi ditemani bebunyian musik gendang yang ditepak barang sekali dua kali. Kemudian semakin lama ketika saya sudah semakin jauh, muncul suara-suara aneh dalam track tersebut.
Rollfast menempel potongan suara berita, sirene ambulans, kemacetan kota, bunyi klakson, suara warga, dan knalpot brong menjadi satu kesatuan yang tumpang tindih. Kemudian ada beberapa bunyi gitar yang harmoni tetapi tidak dimainkan begitu lama. Bahkan jika boleh saya menyarankan untuk teman-teman yang ingin mendengarkan “operasi:sen(sar)”, jangan pernah teman-teman berpikir bahwa kaset ini adalah kawan yang baik untuk menemani perjalanan panjang teman-teman dalam perjalanan. Sungguh muskil, itu bukan ide yang brilian dan bagus.
Awal pertama saya mendengarkan album “operasi:sen(sar)”, waktu itu saya sedang dalam perjalanan dan kebingungan, mana audio yang dihasilkan kaset dan suara yang organik dari apa yang saya dengarkan. Dalam hati bahkan saya sedikit menyesal dan berkata, “Sial, apa yang dibuat sama Rollfast ni, padahal berharap mendapat ketenangan di jalan.”
Kemudian untuk kedua kalinya saya mendengarkan di rumah secara intim. Berdua hanya bersama “operasi;sen(sar)”, memang efek yang ditimbulkan ketika mendengarnya hanya merasakan seolah-olah kebisingan kota itu begitu dekat hari ini pada kehidupan orang-orang Bali. Bahkan tanpa disadari kesibukan itu kini berdampingan dengan hal yang spiritual dalam kehidupan orang-orang Bali. Misal, jika di desa terpencil di waktu sandikala atau waktu maghrib, masyarakat hampir semuanya memilih untuk berdiam diri di rumah tanpa saya tahu alasannya, dan saya sangat setuju bahwa itu adalah waktu yang sakral.
Tapi di Denpasar hari ini, hal itu seolah sublim. Mana sakral mana realitas itu sudah menjadi satu hari ini. Apalagi setelah beberapa pertemuan, saya menemukan kenyataan pula bahwa album “Garatuba” itu termasuk sangat dipengaruhi oleh “operasi;sen(sar)”. Bahwa bagi Rollfast, kelahiran “Garatuba” termasuk hasil dari usaha eksplorasi mereka ketika menggelar “operasi;sen(sar)”.
“operasi;sen(sar)” seperti menjadi sebuah laboraturium besar yang di-breakdown panjang oleh Rollfast. Memilah bagian mana yang kemudian bisa dikembangkan, ketika mengetahui hal itu memang ada korelasi antara “operasi;sen(sar)” dan “Garatuba”. Ada hal yang dicomot-comot oleh Rollfast, menjelma puzzle yang kemudian mereka susun ulang menjadi “Garatuba”. Maka mendengar “operasi;sen(sar)” bagi saya adalah alat bantu untuk memperjelas kerasahan apa yang sedang Rollfast bangun. Apa yang kemudian ingin menjadi fokus pembicaraan bagi Rollfast. Meski tetap, lagi-lagi interpretasi itu dikembalikan sebagai hak penuh si pendengar untuk menginterpretasi.
Membaca ulang Rollfast seperti membentuk sebuah puzzle yang berbeda-beda, meski sama bahan yang didengarkan tapi hasilnya berbeda. Tapi yang kemudian menjadi hal penting untuk dibaca kembali adalah jika terus menerus ruang interpretasi itu dibiarkan lepas tanpa ada dialektika, itu mungkin akan seterusnya menjadi ruang yang abu-abu (meski sangat menegangkan).
Sebagai penutup saya tidak memberi kesimpulan bahwa harus seperti apa dan kesiapan apa yang mesti disiapkan untuk mendengar Rollfast. Itu tidak ada. Saya rasa itu kembali ke teman-teman sendiri. Menarik untuk dinantikan, hal keseharian apa lagi yang diresahkan dan akan diangkat oleh Rollfast.
Salam.
Editor: Andreas Pramono
Foto: Rollfast/Lamunai Records