Egosentris Apatisria; Kumpulan Puisi Zeiliana Ardifta

Kumpulan puisi ini; Egosentris Apatisria, 482 KM, dan Winardinata, ditulis oleh Zeiliana Ardifta (Jeje). Suka menulis racauan isi kepala, apalagi pada jam-jam rawan. Mahasiswi fakultas hukum UNSOED dan aktif di Teater Timbang.


Egosentris Apatisria

4 Agustus 2021

nona dan tuan-tuan semuanya,
hari ini kami akan berdeklarasi tentang berikatnya sepasang muda dan mudi.
yang bergaun klasik, sepatu kulit, memetik gitar tua,
menggadai diri jadi john lennon dan yoko ono pada sepetak ruang penuh romansa;
dengan anggur merah di tangan,
senandungkan lagu-lagu lama,
dan berdansa di tengah kacaunya dunia
—di antara orang-orang yang kelaparan dan sisanya yang haus kekuasaan.

kusandarkan tubuh,
larut dan tenggelam ke dalam pelukannya.
terdengar hembus napas nan menderu
beradu dengan detak jantungnya.

“bung, mengapa mereka sibuk dengan nuklir, perang dan negara?
bukankah bercinta lebih nikmat dibanding harus saling membenci?”

ia tatap mataku lekat-lekat,
hidungnya yang mancung berjarak tak lebih dari satuan mili;
“mereka hanya kelewat angkuh dan serakah, non.
juga dengan kita yang terlalu egois dan tak mau lagi peduli kepada dunia.”

 

482 KM

17 September 2021

pukul dua puluh satu lewat lima puluh lima
di tepinya sungai serayu mengalun mendayu,
menyambut sebuah kedatangan.

dua pasang kaki beranjak susuri jalan yang sepi
lewati pinggiran kota, 
ditemani gelak tawa
 — juga perasaan yang campur aduk di dalamnya.

purwokerto mendadak terasa begitu romantis;
udaranya yang dingin mulai menyeruak
dan obrolan empat mata yang kian menghangat.

ku suguhkan secangkir teh hangat dengan sedikit gula,
juga lintingan tembakau yang ku buat
langsung di hadapannya.

senyum tuan terus mengembang,
dan juga tetesan air mata
“seandainya masih ada mama, semua ini akan ku ceritakan kepadanya.”

hari-hari yang berjalan nianlah cepat,
seolah ingin segera merenggut bahagia yang baru saja ku dapat.
sampai pada akhirnya dendang serayu kembali mengalun mendayu,
‘tuk menghantar sebuah kepergian.

 

Winardinata

27 Juli 2021

aku menjatuhkan hati kepada ia
yang menundukkan kepalanya di hadapan seorang perempuan.
bukan karena ia malu-malu,
jemarinya lebih lihai membelai lembaran demi lembaran yang berisikan tulisan
dibanding tubuh molek bervagina.

rasa yang pernah mati suri seolah dihidupkannya kembali;
mirip seperti mesiah yang sedang memamerkan mukjizatnya.
ditatanya ulang isi kepalaku yang semula berantakan
menjadi ruang baca yang paling nyaman.

terduduklah ia di sudut sana,
menyekat pusara kenangan dan harapan kepada masa depan.
 — di pekarangan tempat beberapa jasad telah disemayamkan;
dan terkubur dalam.

kabut hitam yang perahan memudar ditembusi cahaya,
kelam pun turut menghilang,
berganti dengan kabar suka-cita;
langit membiru dihiasi mega,
pelangi yang kembali menampakkan jatidirinya,
dan burung-burung gereja yang perlahan mulai mengeluarkan diri dari cangkang dan coba mengepakkan sayapnya sembari meracau mesra.

dadaku yang semakin membusung tak lagi sanggup membendung
semerbak harum bunga yang meluap ,
yang bermekaran liar di antara rongga-rongganya.

maka hiduplah engkau abadi di dalam aku,
di dalam bait-bait sajak dan juga rima-rima puisiku.

 

Foto: Keystone/Hulton Archive—Getty Images 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Ruang Abu-Abu pada Album "Operasi;sen(sar)"

Next Article

Merayakan Perpisahan untuk Kedua Kalinya bersama Arcoiris | Siaran Pers