Kumpulan puisi ini: Mencintai Kamar Mandi Tak Pernah Ada Habisnya, Repertoar Jelaga, dan Memberontaklah! ditulis oleh Widad Hafiyan Ustman.
Mencintai Kamar Mandi Tak Pernah Ada Habisnya
semasa hidup kuhabiskan di kamar mandi
aku juga melebur bersama tai
di mana lagi cari selamat selain di kamar mandi
di mana lagi cari merdeka selain di kamar mandi
kamar mandi tak pernah kering
ia gemar berpikir
bekerja semestinya
bahkan melampaui batasan manusia
tidak seperti di tempat selain kamar mandi
aku bisa saja kehilangan diri
dan aku bisa saja bunuh diri
di kamar mandi aku bisa menciptakan apa saja yang ada di dalam kepala maupun hatiku
di sini aku menjadi diriku sendiri
dan merasa sanggup melampaui setiap kemungkinan yang terjadi
(Sleman, 2023)
Repertoar Jelaga
kita jelaga diakhir pekan
memainkan peran jiwa-jiwa kesepian
di setiap malam tanpa hidangan
meramu kepulan-kepulan kehilangan
yang tak tergantikan
aku dan kau menjadi kumpulan repertoar
yang tak pernah terelakkan sepanjang masa
dalam belenggu kesadaran setiap kita
yang mati menghirup karbon monoksida
kekasihku, begitu panjang
jalan ramai siang hari
juga jalan sunyi tengah malam
tanpa kompromi meski rendah hati
kita bermimpi tentang utopia
terjaga di pagi hari tanpa kesedihan
atau kebahagiaan
jelaga-jelaga itu abadi menjadi gejala
bagi mereka para angkara
dan kita merengkuh setiap kemungkinan
dengan kesadaran paling alami yang kita punya
sebagai hambanya yang menjemput kebebasannya
pada taman surga tak bermuara
(Sleman, 2023)
Memberontaklah!
(1)
seolah kamu berpikir bahwa rahim ibumulah yang melahirkan seorang hamba messiah; tanpa sedikitpun berpikir burung kenari tak lagi menangis.
namun kita sama-sama berpijak pada ranting pohon mahoni dan kita sama-sama berbeda pada mata balita
“oh, usia begitu singkat dan hidup biasa saja”
kita kedinginan, kelaparan dan menggigil
lihat purnama menyambut kemarau
tanpa ragu, meski manager hanya menyambut siapa saja yang good looking
sialannya, aku tertipu dengan short video
di media sosial langganan kaum papa
mereka memukul dadaku hingga menggema
dan aku membalasnya dengan air liur
lalu tangisan parau bersahutan seperti lomba kicau
bahkan dari dalam gang, Tuhan tak pernah absen nongkrong
dan setiap hari Uroborus menyelinap keluar dari dalam tanah, menggeliat, dan memeluk kita diam-diam
demikian, meski setara dan berbeda
aku mengajakmu melampaui sunyi, memberakki pikiranmu, dan menelanjangi tubuhmu
demikian pula, tetaplah begitu singkat dan biasa saja; namun kita begitu mencintainya!
(2)
“unjuk gigi tak pernah mengenal keadaan
ia menjangkit dua buah jangkar kecil yang mengait di sepanjang sabana tanpa tepian”
ada bapak seorang guru honorer
gajinya lebih rendah dari tukang parkir
dan ada ibu yang bekerja di rumah
gajinya lebih rendah dari bapak
mereka memiliki anak
lahir dan tumbuh menjadi spektakel mutakhir
rela digembala demi rumput dan ilalang
bahkan anaknya tak pernah takut sendiri dan tak pernah mengenal sepi
hidup riang berkerumun
menghamba
patuh
dan angkuh!
malang oh malang
begitu dingin
keangkuhan menghancurkan dirinya
keping demi puing
bahkan pualam melebur; sampai bubuk!
(3)
seakan kita berada di dada senja berdiri di dada jalan. kiri kanan hamparan sawah; tandus dan retak
meski maghrib tiba terbata-bata
dan syafak berkamuflase mengurai makna
kemudian nyaring klakson menyentak kita
tak bergegas pergi
justru menghadang mati
saat-saat seperti itu, keletihan dalam hidup bekerja sangat cepat seperti tumor
yang merangsek buas menikam tubuh kita, perlahan. lambat laun harapan menguap begitu saja—ambisi hidup tinggallah setipis tisu.
“andai saja lingkaran waktu mengutuk kita
meski membelai, merangkul, dan memeluk begitu hangat”
memberontaklah!
dengan selemah-lemahnya
sesedih-sedihnya
sesepi-sepinya
seorang diri
(Sleman, 2023)
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Widad HU
Harmoni di setiap kata puisi yang menusuk kejiwa ❤️