Kumpulan puisi ini; Aku, Pesan Sang Sepatu, Suaraku, dan Tikungan, ditulis oleh Benny Pradipta. Seorang penulis buku puisi Membunuh Sokrates (2019) dan buku grundelan Euforia Cinta Platonik (2019). Seorang alumni sastra Indonesia, Sanata Dharma Yogyakarta.
Aku
(kepada ‘sang oportunis’)
Kalau sampai waktuku
Aku mau tak seorangpun merayuku
Biarkan aku minggat ke negri seberang situ
Toh masih sama-sama tanah Melayu
Tak perlu nangis sedu-sedan itu
Aku ini bukan binatang jalang
Tetapi ada orang bilang
Aku ini oportunis petualang
Tak usah takut peluru menembus kulitku
Paling-paling orang dan media ribut dahulu
Aku tetap meradang menerjang
Tetapi orang bilang lari tunggang-langgang
Uang dan visa kubawa berlari
Sampai hilang pedih perih
Dan aku lebih tidak perduli
dengan uang barangkali
aku mau hidup seribu tahun lagi.
Pesan Sang Sepatu
Sepasang sepatu kubeli dari penjualnya
Di toko baru dekat kampung batu
Sepakat menemaniku
Kuinjak-injak sepanjang hari
Kuseret-seret, kubawa berlari
Kupakai menendang pengendara motor yang nekad nyerobot jalur dari kiri
Sepatu kiri robek di bagian mata kaki.
Habislah masa bakti
Kutawarkan pada Kang Ujang
Tukang loak yang lewat tiap pagi
Dengan takzim ia masukkan ke keranjang
Bersama sepatu lain dibawanya pergi
Sobekan itu seperti tersenyum gamang
Lain kali kalau punya yang baru
Tidak usah dipakai menendang orang.
Suaraku
Bukankah suaraku sudah kuperinci
Sesuai dengan kata hati
dari suara rendah sampai suara tinggi
Bukankah lengkingku menyayat hati
Sejuta permohonan penuh arti
Dari mereka yang dilanda sepi:
Para piatu rindukan janji
Para teruna mau kerja dan gaji
Para ibu dengan belai doa yang suci
Memohon anak-anak jangan celaka dan gagal lagi
Bukankah suaraku telah bergema
Di relung-relung hatimu berada
Di mana saja:
Di pasar ketika tawar menawar
Di jalan ketika ada kemacetan
Di depan jaksa ketika berperkara
Di hadapan konsultan ketika berdebat
Di seberang emplasemen ketika ngamen
Bukankah suaraku telah mengganggu
Para petinggi yang culas berlagu
Para politisi yang tak bermutu
Para aparat yang lambat lesu
Para agamawan yang peragu
Bukannya suaraku tak habis-habis
Sampai zaman tinggal terkikis.
Tikungan
Di tikungan kau tak bisa pongah
Harus kau kurangi kecepatan
Jangan-jangan gaya sentrifugal
Membuat keretamu tak seimbang
Melemparmu ke dalam jurang
Atau kendaraan dari depan,
mencuri jalurmu,
membuat engkau kelabakan
Kecepatan adalah pertaruhan
tetapi jalur menjadi pertimbangan
Di jalan lurus tanpa keluh
Engkau bisa mengumbar kecepatan
Di tikungan maut mengintai
Diam, licik tanpa peringatan
Tanpa kabutpun pandangan telah terhalang
Antara dua cadas keras menantang.
Sebab melewatinya dengan selamat adalah pengakuan
Atas jalur yang kau lalui
Bukankah engkau tak mau di sini?
Foto: Agustinus Seco Kus Demas Putra