Kumpulan Puisi Antonius Wendy: Yang Layak Masuk Surga

dok. Akwila Chris Santya Elisandri

Kumpulan puisi Antonius Wendy ini memiliki pandangan soal religiusitas, kehidupan, kematian. Kumpulan puisi ini berjudul Yang Layak Masuk Surga, Tangis Tanpa Rupa, Di Depan Altar, Kenapa Aku Dibunuh, Pada Suatu Hari, dan Menjadi Hantu.

Yang Layak Masuk Surga

Karena yang layak masuk surga hanya umat agama yang ini
Tuhan pun membuang sebagian besar manusia ke neraka
Sehingga jumlah yang hanya sebesar sebongkah bumi
Tercatat di mata-Nya sebagai benih-benih yang berkualitas

Tapi kemudian Tuhan berkata, “Tidak! Banyak yang sesat!”
Karena yang layak masuk surga hanya umat aliran yang ini
Tuhan kembali membuang sejumlah penghuni bumi ke neraka
Sehingga semakin sempit jalan berkelok menuju keabadian

Tapi lagi, “Tidak! Masih banyak yang tidak sesuai Saya!”
Karena yang layak masuk surga hanya umat kelompok ini
Maka dengan murka Tuhan menendang para umat-Nya
Sehingga yang bertahan di surga hanya beberapa saja

Tapi pun setelah diperiksa oleh para malaikat, dan ternyata
Beberapa orang tersebut memiliki sifat buruk semasa hidup
Maka dengan mata merah Tuhan mengusir mereka semua
Hingga surga sepi karena tak ada yang layak menghuninya

Tangis Tanpa Rupa

Pada onggokan daging yang tak lagi bisa dikenali
Ada bekas dan jejak-jejak ciuman lembut dari surga
Ketika Tuhan menggenggam hati yang hilang bentuk
Di antara luka yang telah menorehkan doa-doa jiwa

Pada kubangan darah yang menguarkan wangi sunyi
Ada malaikat yang bercermin wajah mereka di sana
Kemudian menyeka noda kematian dengan airmata
Membersihkan jiwa yang kotor dijilat oleh maut

Pada tulang-belulang yang diikat oleh rantai rindu
Ada sentuhan hangat yang meraba sisa-sisa harapan
Untuk pulang menuju cinta yang datang menjemput
Bersama pelukan bumi yang melapangkan keabadian

Dari kejauhan terdengar suara nyanyian senjata
Diiringi lagu ketakutan yang kelam oleh sengsara
Secara perlahan cahaya meredup berganti malam
Tapi terdengar suara tangis yang entah dari mana

Di Depan Altar

Aku berjalan terseok-seok ke depan altar yang terang lilin
Dengan kaki pincang yang mendentumkan gema sunyi
Keheningan bergetar di antara sela-sela bangku yang tidur
Dan altar di depanku seolah semakin jauh saja menyambutku

Kudengar bisik malam dari jendela yang mengukir penderitaan
Seperti mengajakku mengikuti kesengsaraan iman yang tenggelam
Kurasakan lilin-lilin api mengikuti jejak airmataku yang jatuh
Seolah setiap tetesnya memantulkan gemerlap cahaya yang kabur

“Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Aku berjongkok
Mulutku terbuka tapi banyak lipan merangkak keluar dari sana
Aku bersujud memohon dan cacing-cacing keluar dari anusku
Dan kuku jariku patah di lantai yang membanting bunyi dingin

Seketika aku tersungkur dan mendengar nada suaraku remuk
Tapi aku terus memohon dengan bunyi yang sudah tak dikenali
Kuangkat wajah ketika airmataku berubah jadi ulat-ulat di muka
Dan pakaianku koyak di saat tulang-belulang mencuat bak sayap

Kenapa Aku Dibunuh

Seorang malaikat datang menjemputku dengan penasaran
“Saudara, hidupmu sudah selesai. Mengapa kau dibunuh?”
Aku tersenyum padanya dengan mata yang menyala terang
Dan terang itu juga yang menyalakan seluruh bentuk jiwaku

“Ada yang tidak senang dengan keyakinan saya,” ucapku
Muncul seseorang yang sedang khusyuk berdoa di altar
Dalam keheningan yang tiba-tiba pecah oleh teriak ngeri
Para umat berlarian ketakutan di bawah atap naungan suci

“Ada yang tidak senang dengan seksualitas saya,” ucapku
Muncul sepasang kekasih yang sedang mesra di ranjang
Tiba-tiba pintu dibanting terbuka hingga membentur dinding
Keduanya berakhir dalam kolam api diiringi ayat-ayat suci

“Ada yang tidak senang dengan kejujuran saya,” ucapku
Ketika aku mengutarakan lebih lanjut, ia menutup mulutku
“Yang itu tidak perlu dijelaskan,” kata sang malaikat
Dan aku balas tersenyum padanya dengan degup harapan

Pada Suatu Hari

Dengan kepala mata terlihat ada kebencian dan ketakutan
Ketika pagi tumbuh dengan matahari yang hitam oleh pitam
Embun pun berubah jadi keringat asam dan masam di daun jiwa
Dan kicau api membakar doa hingga kata-kata memerah darah

Di bawah matahari ada bayang-bayang senjata seperti penis tegak
Dan para pahlawan menggunakannya seperti sedang masturbasi
Sementara para wanita bersembunyi dari nada musik kematian
Tapi anak-anak menyanyikan lagu perang dengan mulut berliuran

Dengan kepala penis terasa ada kebodohan dan kebohongan
Ketika malam layu di bawah bulan yang pucat dengan cacat
Dingin pun menyelimuti sperma dan darah di tubuh tanpa jiwa
Dan serak serangga menyayat hati yang tak lagi bisa menangis

Di bawah bulan ada mayat-mayat yang dipancung tanpa identitas
Dan para bajingan berlomba memburu maut hingga ujung napas
Sementara noda tetes darah terakhir jatuh di tengah kegelapan
Yang akan menjadi corak kebangkitan ketika hari pasti berganti

Menjadi Hantu

Aku telah menjadi hantu. Aku diceritakan dengan seram
Dan sosokku dijadikan kisah jerit malam di siang buta
Dengan cara yang mengerikan aku perlahan menguasai mereka
Dalam mimpi ketika tidur atau pun imajinasi ketika melamun

Aku memang pernah nyata. Aku dimulai api liar dan biji peluru
Lahir dari rahim mayat seorang wanita yang dirobek vaginanya
Kemudian aku tumbuh besar di jalanan sambil makan belatung
Hingga mati dan dikubur dengan timbunan tinja penuh cacing

Aku pun menjadi hantu. Aku membayangi di setiap penjuru
Bergentayangan dan bersembunyi dalam bayang dan remang
Tapi orang tua mencekoki kisahku pada anak-anak yang lugu
Dan tanpa sadar menanamku ke lubuk hati yang masih murni

Tapi aku hanyalah hantu. Mereka mengencingi kuburku
Sambil menginjak makam para tetua mereka yang terdahulu
Karena telah dibutakan oleh amarah pada orang-orang mati
Hingga mereka tak sadar bahwa aku telah menguasai mereka

(2021 – 2022)

 

Editor: Tim Editor Sudutkantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Festival Musik Wild Ground Fest, Wadah Ekspresi Anak Muda Kreatif Yogyakarta

Next Article

Rahim Ibu Kota