Dead Pigs (2018): Kematian Babi Menguliti Modernisasi

Dead Pigs (2018) seolah ingin menyuarakan bahwa modernisasi menghadirkan berbagai permasalahan baru bagi individu juga dunia sosial.

Layaknya seorang capo tifoso atau pemimpin suporter dalam sebuah pertandingan bola, Candy Wang selalu melempar kalimat magis,“There are no ugly women!” yang spontan disusul “Only lazy ones!” oleh para pelanggannya dengan sangat kompak. Sementara “From hometown to China, then the world!” adalah kalimat magis yang dirapal setiap pagi oleh Candy Wang bersama para pegawai salonnya.

Dead Pigs (2018) merupakan feature film pertama sutradara perempuan, Chaty Yan. Film nyentrik berdurasi 121 menit ini berusaha memotret modernisasi di China melalui sudut pandang kematian ribuan babi milik peternak di wilayah pinggiran kota. 

Pembuka film Dead Pigs (2018) menyuguhkan ruang bagi penonton untuk berkenalan dengan para karakter dan aneka permasalahan yang dialami tiap karakter. Pada bagian pembuka, penonton langsung diperkenalkan dengan sosok Old Wang dan permasalahan babi ternaknya yang mati secara misterius. Perhatian penonton lantas digeser kepada Candy Wang, seorang perempuan nyentrik pemilik salon di pinggiran kota. Pada film ini, Candy Wang menemui masalah penggusuran lahan dengan pengembang properti yang akan menggusur rumah masa kecilnya untuk merealisasikan proyek apartemen bergaya arsitektur Spanish-cathedral.

Tak hanya mengisahkan kehidupan kakak beradik Old Wang dan Candy Wang yang hidup di pinggiran kota, Film ini juga memotret kehidupan Shanghai sebagai pusat modernisasi di China. Potret Shanghai diceritakan melalui kehidupan urban anak Old Wang, Wang Zhen, yang bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran. Kemudian, dikisahkan bahwa Wang Zhen bertemu Xia Xia, seorang perempuan metropolitan yang akhirnya diketahui bahwa dia adalah putri dari CEO Golden Happines, induk perusahaan pengembang apartemen yang akan menggusur rumah Candy Wang, bibi Wang Zhen.

Cuplikan dalam film Dead Pigs (2018)

Alur cerita film ini menarik untuk diikuti. Pada bagian awal, setiap karakter dikisahkan secara terpisah dan tidak saling bertautan dengan karakter lainnya. Kemudian cerita mengalir sampai setiap karakter saling menemukan kaitannya satu sama lain. Meskipun film ini memiliki lapisan permasalahan sosial yang kompleks, namun Cathy Yan mengemas film ini dengan sangat apik melalui balutan komedi absurd, dan visual yang nyentrik serta menarik mata untuk terus melihat setiap sudut Shanghai dan kehidupan pinggiran kotanya. Kehadiran babi, rumah bewarna hijau tosca milik Candy Wang di tengah reruntuhan bangunan, kendaraan pengangkut babi, dan artisitik yang khas di setiap tempat mendukung keindahan visual dalam film ini. Tak hanya secara visual, sound pendukung film ini juga perlu diapreasiasi karena pemilihan latar musiknya turut menghidupkan absurditas film keluarga ini. 

Salah satu adegan paling berkesan dalam film ini adalah scene ketika Old Wang berusaha menjual babinya yang telah mati kepada para pedagang daging babi di pasar. Citra visual yang sangat absurd nan eye catchy dengan pemandangan seekor babi mati yang digendong oleh Old Wang dan dijajakannya dari kios ke kios sudah cukup menarik empati penonton. Pada bagian ini, empati penonton dibangun melalui sosok Old Wang yang sebelumnya digambarkan besar kepala, hobi foya-foya, dan gemar berhutang. Scene ini adalah kunci dari meledaknya kasus kematian misterius babi di China dan merepresentasikan penderitaan para peternak yang babinya mati dan tidak laku dijual. 

Kritik Modernisasi

Lingkar kemiskinan yang dialami Old Wang dan permasalahan penggusuran lahan yang dihadapi Candy Wang adalah sisi lain dari indahnya modernisasi. Old Wang yang selalu membanggakan anaknya sebagai seorang investor apartemen di ibu kota harus menerima kenyataan pahit bahwa anaknya hanyalah seorang pramusaji biasa di Shanghai. Secara tidak langsung kondisi ini menyadarkan bahwa kemapanan hanyalah bunga tidur bagi kelas menengah ke bawah. Keluar dari lingkar kemiskinan hanyalah angan-angan yang pada kenyataannya sangat sulit ditembus. Pendidikan yang digadang sebagai salah satu jalan untuk keluar dari lingkaran kemiskinan pun pada prakteknya tidak semudah itu diakses dan tidak benar-benar menjanjikan kemapanan. 

Ada sebuah kalimat yang sangat familiar di telinga kita, begini bunyinya, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China!” Kita memang perlu menuntut ilmu sejauh mungkin, namun tidak perlu pergi jauh sampai ke China hanya untuk menemukan fakta bahwa masalah penggusuran lahan atas nama pembangunan benar-benar terjadi. Candy Wang adalah orang-orang di Kulon Progo beberapa tahun silam yang rumahnya digusur untuk proyek pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA). Bahkan hingga hari ini banyak orang di Indonesia yang mengalami nasib serupa Candy Wang atau orang-orang di Kulon Progo yang tergusur ruang hidupnya. Candy Wang adalah representasi mereka yang berani melawan untuk mempertahankan kehidupannya. 

Mengutip pernyataan Marco Kusumawijaya dalam acara “Kongkow Buku Jakarta Keras: Ruang Rawan Metropolitan” yang diselenggarakan oleh Komunitas Bambu pada 31 Maret 2023 silam bahwa, “Apabila kita membaca sejarah kota-kota, sejarah negara juga. Semua pembangunan, semua perubahan memang membawa kekerasan.” Pernyataan itu menegaskan berbagai penggusuran sebagai suatu bentuk kekerasan yang terjadi akibat modernisasi. Modernisasi yang menuntut pembangunan dan kecepatan seringkali merampas kehidupan mahkluk lain dan menimbulkan permasalahan baru. Orang-orang yang termarjinalkan dari modernisasi semakin terpinggirkan karena adanya pembangunan yang merampas rumah mereka. Keterpinggiran ini, lantas membuat mereka semakin kesulitan untuk keluar dari lingkar permasalahan sosial yang timbul akibat modernisasi.

Cuplikan dalam film Dead Pigs (2018)

Dead Pigs (2018) tidak hanya mengeksplorasi permasalahan kelas menengah bawah di wilayah suburban, tetapi juga menghadirkan permasalahan masyarakat menengah ke atas di kota metropolitan, yang dapat dilihat melalui kehidupan Xia Xia yang erat dengan gaya hidup modern nan konsumtif. Film ini menyindir masyarkat modern yang mengagungkan benda-benda mati dan melupakan nilai guna benda. Bahkan ketika Xia Xia mengalami musibah teman-temannya hanya mengirimkan benda-benda mati sebagai subtitusi kehadiran mereka. Paradigma pengagungan benda-benda mati itu seolah didobrak oleh kehadiran Wang Zhen yang selalu ada di samping Xia Xia dan sebuah kalung pinguin tak bermerek yang diberikannya kepada Xia Xia.

Bagian paling menyakitkan dalam film ini adalah ketika investigasi berhasil menguak fakta bahwa penyebab kematian misterius ribuan babi para peternak di area suburban itu diakibatkan pakan yang diproduksi oleh perusahaan Golden Happiness milik Liu Jun, ayah Xia Xia. Ketika hidup para peternak berada di ujung tanduk karena hewan ternaknya mati, Liu Jun hanya ditangkap oleh polisi dan Xia Xia masih bisa bergi ke luar negeri melanjutkan mimpinya sebagai dancer. Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan kelas sosial. Ketika masyarakat kelas menengah ke bawah mendapat masalah, seolah langit hampir runtuh dan kiamat, tetapi ketika masyarakat kelas atas yang mendapat masalah, dunia hanya bergetar sedikit dan semua dapat berjalan dengan baik-baik saja setelahnya. Keberuntungan dalam dunia modern seolah ditentukan oleh seberapa banyak kekayaan yang kita miliki.

Keberpihakan Filmmaker

Dead Pigs (2018) seolah ingin menyuarakan bahwa modernisasi menghadirkan berbagai permasalahan baru bagi individu juga dunia sosial. Orang-orang yang hidup pada sisi baik modernisasi memiliki permasalahan dengan dirinya masing-masing, sementara mereka yang berada dalam kutub lain juga memiliki permasalahan individu atau sosialnya sendiri.  Pada akhirnya permasalahan kedua kelas sosial ini berakar pada permasalahan yang sama yaitu, bagaimana modernisasi mendekatkan manusia pada keterasingan. Sayangnya akhir film ini tidak seperti apa yang telah dibangun sepanjang cerita. Cathy Yan mengakhiri filmnya dengan amat terburu membuat Candy Wang kalah dalam perjuangannya melawan penggusuran oleh pengembang properti, padahal di momen itu Candy Wang yang superior sedang mendapat empati dari berbagai media dan orang-orang di sekelilingnya. 

Akhir Dead Pigs (2018) sangat menunjukkan betapa pentingnya keberpihakan seorang filmmaker pada film yang dibuat. Dead Pigs (2018) yang sepanjang cerita telah dibangun sebagai film antikapitalisme modern dengan Candy Wang sebagai simbol perlawanan, runtuh begitu saja ketika film ini diakhiri dengan kekalahan Candy Wang yang dibangun dengan tidak tepat. Akhir film ini menjadi pertanyaan besar perihal keberpihakan Cathy Yan sebagai sutradara dalam Dead Pigs (2018), “Apakah film ini ditujukan untuk mendukung kapitalisme modern? Ataukah kekalahan Candy Wang adalah kita yang selalu kalah ketika berhadapan dengan kapitalisme modern?”

Judul Film: Dead Pigs
Tanggal Rilis: 19 Januari 2018 (Festival Film Sundance 2018)
Sutradara : Cathy Yan
Produser: Clarissa Zhang dan Jane Zheng
Penulis: Cathy Yan
Pemeran: Vivian Wu, Haoyu Yang, Mason Lee, Meng Li, and David Rysdahl.
Penata Musik: Andrew Orkin
Sinematografer: Federico Cesca
Distributor: Mubi
Durasi: 121 menit

Editor: Michael Pandu Patria
Foto sampul: MUBI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Panjul dalam Lakon: Pamer

Next Article

Taman Budaya Yogyakarta Gelar Workshop Penulisan Artikel Seni dan Budaya bersama 50 Penulis Muda