Panjul dalam Lakon: Pamer

Belum tuntas matahari nongol dari arah timur, Panjul sudah nangkring di angkringan Kang Ramto. Rolling door konter pulsa satu persatu mulai menganga disusul ceriwis ibu-ibu penjual lotek dari dalam warung seberangnya.

Di radio merek National punya Kang Ramto lamat-lamat terdengar berita soal pejabat-pejabat yang tidak seberapa pangkatnya dicopot dari kedudukannya.

Gara-garanya, yang punya jabatan atawa istrinya, sampai anak-anaknya pada pamer harta benda di media sosial. Jadilah yang punya pangkat itu dicopot-copotin, kadang belum jelas juga duitnya dari mana, informasinya baru tiris.

“Mobil begituan sama moge-moge gitu berapa si Njul harganya? Kalau dibeli dari untung duit angkringan kira-kira butuh berapa tahun?” kang Ramto nyeletuk.

Tak biasanya, Panjul diam saja. Sejak masuk tadi, ia memantas-mantaskan kacamata sambil terus ngaca pakai kamera depan gawainya.

“Dapat loakan di mana lagi Njul?” Kang Ramto sinis.

“Eitss, sembarangan. Ini sejarah Kang, kata yang jual ini pernah dipakai Bung Karno waktu berkunjung ke Jogja,” Panjul bangga.

“Dipakai waktu nandur beringin di situ itu kali ya Njul. Mahal dong itu Njul? Wong bersejarah,” Kang Ramto menyelidik.

“Ya harga itu biar jadi urusanku saja sama yang jual, Kang,” kata Panjul sambil melepas kacamatanya.

“Bisa masuk barang mewah dong itu Njul?” Kang Ramto menggoda.

Panjul tercenung. Yunita yang mahasiswa keperawatan masuk angkringan Kang Ramto bawa map tebal cap kuda lumping 3 biji.

“Pamer itu kan kalau kita nunjukin ke orang lain apa yang orang lain tidak punya, Kang. Rasa-rasanya kalau kacamata saja kok lainnya juga banyak yang punya,” Panjul pasang pertahanan.

“Lagipula Kang, pamer itu harus ada intensinya untuk nontonin kelebihan dan ada niatan sombong dulu. Lha ini kan aku hanya sekadar punya. Tidak tak cantoli tulisan ‘Punya Bung Karno’ juga,” ujar Panjul sampil ngemplok tempe goreng.

“Berarti kalau ada orang yang keluar dari gang di sana naik moge war-wer-wor itu belum tentu pamer ya Njul?” tutur Kang Ramto.

“Itu namanya lewat Kang,” Panjul menyeringai.

“Kalau deretan pejabat sampe yang nggak pejabat amat itu gimana Njul? Katanya dibilang pamer barang mewah di media sosial,” sergap Kang Ramto.

“Kalo pengusaha yang punya barang segala mentereng kok nggak disebut pamer ya Njul. Lha padahal duitnya aja diadu banyak-banyaknya sama yang lain,” Kang Ramto baru kepikiran. 

Panjul mengusap dagunya, menyeka keringat sebiji jagung di sana. Yunita yang ikut dengar jadi ikutan gatel.

“Kalo orang di rumah sakit pada pamer penyakit itu apa iya ada niatan buat sombong juga Njul,” celetuk Yunita, sambil milih lombok ceplusan.

“Sek to sek to,” Panjul merangkai kata-kata.

“Ya masalahnya yang pada dirujak netizen, warganet, atau opolah itu namanya ya pejabat publik to Kang, termasuk pemerintah,” ujar Panjul dalam satu tarikan nafas.

“Yang katanya Pak Presiden wajib punya kepekaan terhadap krisis to ya?” Yunita menimpali.

“Kenapa orang pada gatel bener ya Njul motrat-motret barang begituan, dipajang. Mending juga diumpetin aja di rumah,” sahut Kang Ramto.

“Atau ya dipake pas sama temen-temennya aja yang sekiranya punya harta benda yang sama,” imbuh Yunita.

“Yang kira-kira cara dapetin barang mewahnya juga sama caranya. Jadi kan, nggak ada yang saling tanya gimana cara belinya, orang semuanya caranya sama,” timpal Kang Ramto.

Panjul mengerenyit, ada simpul senyum kecil di bibirnya, sengaja bertanya tapi tidak benar-benar berharap jawaban.

“Emang gimana Kang cara dapet duitnya?”

“Ya kan warisan kan katanya,” Kang Ramto ragu-ragu.

“Yang diwarisin ilmunya kali ya Kang, biar duitnya nggak berseri?” goda Panjul.

Yunita menghitung semua yang sudah dibungkusnya ke kantong plastik. Tak perlu bantuan Kang Ramto ia separuh hafal harga semua menu di angkringan ini.

Mengeluarkan dompet kecil dari tasnya, ia merogoh uang pas di sana.

“Udah bener mah pamer itu penyakit ya Yun. Paling banter pada suruh minum jus timun sama seledri,” ujar Kang Ramto.

“Cocok buat kolesterol sama darah tinggi itu Kang,” kata Yunita sambil jalan pelan keluar dari sana.

“Kalo yang buat darah tinggi apa Yun?” tanya Panjul separuh berteriak karena Yunita sudah di luar tenda angkringan.

“Masyarakat kita yang rongseng, kayanya butuh yang buat darah tinggi. Bakal persiapan aja nanti kalau lebih banyak pejabat yang ketahuan hartanya nggak wajar,” timpal Panjul.

“Kalau ngomong harta nggak wajar mah banyak Njul, ini aku lho jualan setiap hari, itu Bandot ngojek siang malem, Bowie tiap hari bungkusing kacang bawang, kita nggak kaya-kaya, apa ini bukan namanya harta yang tidak wajar juga Njul,” Kang Ramto njenggirat sambil ngelap piring.

Melihat map punya Yunita tertinggal di atas kaleng rokok, Panjul lompat meraih map itu dan menyusul Yunita menyeberang jalan. 

Dari tikungan, sebuah motor besar menebas tikungan tanpa menurunkan kecepatan. Suaranya saja membuat tenda Kang Ramto bergetar.

Melompat mundur, Panjul yang kaget sudah menyiapkan serangkaian umpatan untuk dilontarkan. Petilan ungkapan Kasino di film Warkop DKI Gengsi Dong sudah di ujung bibir. 

Mengelus dada, ia urungkan niatan itu. Ia menyeberang jalan, seperti orang kebanyakan.


Editor dan desain sampul: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Sepak Terjang Ali Sadikin, Bangun Jakarta Kecam Soeharto

Next Article

Dead Pigs (2018): Kematian Babi Menguliti Modernisasi