Panjul dalam Lakon: Migor

Jalanan becek. Vario 110 cc keluaran tahun 2008 menebas miring kubangan di jalan raya.

Jajaran helm di spion kanan, dan celana jins yang baru keluar dari lemari tak sempat menghindar dari cipratan air keruhnya. Setelah satu dua makian, suasana kembali seperti semula.

Setiap orang rasanya selalu membawa kemarahan ke mana-mana, tinggal menunggu alasan untuk memuntahkannya ke tangah jalan.

Panjul baru saja bangun. Hari ini dia turun jaga setelah semalam sibuk menempel kertas teh celup yang berkarton-karton jumlahnya.

Masuk ke angkringan Kang Ramto, rambutnya acak-acakan tidak karuan. Kaos tanpa lengan yang ia kenakan, tak cukup membohongi Kang Ramto kalau dia baru bangun tidur.

“Baru melek Njul, yang bener aja, tendaku aja udah berdiri kokoh dari tadi,” Kang Ramto ngeledek.

“Sedang mendukung program pemerintah Kang, mengurangi mobilitas,” Panjul njawab ngasal.

Karepmu Njul,” Kang Ramto melempar kacu ke pundaknya.

Panjul termangu, nyawanya masih nancep di kasur. Berulang kali ia seka hidungnya. Bau teh melati seperti enggan pergi dari semalam.

Bowie yang nama aslinya Prabowo Wijanarko masuk setor dagangan. Kain buff yang sudah longgar menutupi separuh wajahnya. Sementara, bau matahari menyeruak dari jaketnya, celananya, sarung tangannya, dan mungkin badannya sendiri.

“Kang Ramto, nunut duduk ya. Badanku jemek, habis kegerimisan, terus di-sentor panas dari langit,” Bowie menggerutu.

“Kok ndak ngiyup to Wie?” Panjul membuka obrolan.

“Tak kira di depan terang,” Bowie mulai membuka tas dagangannya.

“Apa wae yang depannya pake ‘tak kira’ tu dah pasti remuk redam gaes,” ejek kang Ramto.

Bowie mulai mengeluarkan keranjang dagangannya. Ia menata kacang rebus, pisang rebus, ubi rebus, dan kedelai rebus di meja Kang Ramto.

“Sama ini kerupuk Kang, ini nggak direbus tapi disangrai pake pasir,” ucap Bowie.

“Kamu kira aku bakul seblak apa Bow,” Kang Ramto menangkis.

Panjul tercenung, ia mengamati benar-benar. Ia merasa ada yang tidak beres dengan pandangan matanya siang itu. Sedang Bowie, tetap asyik saja mengeluarkan dagangannya. Kang Ramto kutat-kutet dengan catatan menghitung setoran ke Bowie hari ini.

“Kok nggak ada kacang bawang Bow? Biasanya bukannya bawa usus goreng juga?” Panjul tersadar.

“Nggak nutup Njul, harga minyak goreng lagi mendidih,” kata Bowie.

Kang Ramto tersenyum, ia menyingkap serbet yang digunakan untuk menutup makanan di meja. Tampak di sana tempe, tahu, segala macam jerohan ayam, termasuk potongan sayap dan kepala ayam semuanya juga direbus.

Taraaa, hari ini menunya rebus semua,” Kang Ramto menyeringai pedih.

“Kang aku kan nggak habis sunat, masak suruh makan rebusan gini semua? Nggak sekalian daun singkong sama jipang?” Panjul mengrenyitkan dahi.

“Ada tuh di belakang, mau?” Kang Ramto menanggapi.

“Ini menu darurat namanya Njul, yang penting dapur ngepul terus, ya kan Kang?” Bowie berkilah.

“Itu ngebul juga ngrebus doang, nggak pake nggoreng-nggoreng kan,” kata Panjul sambil tangannya mencomot tempe baceman yang tidak digoreng.

Tergopoh-gopoh, Ahong datang dari belakang. Tengah hari begini biasanya konternya tutup sebentar karena karyaawannya pada ngaso.

“Kang, pesen susu mangga, ekstra es,” Ahong memesan.

Ahong membuka serbet penutup makanan. Ia melihat sebentar lalu menutupnya kembali. Sementara, Panjul belum juga menggigit tempenya. Ia hanya memandang dan membayangkan rasa apa yang dimiliki tempe semacam ini.

“Kok menggeh-menggeh to Hong?” tanya Kang Ramto.

“Iya Kang, kabur dari konter, males disuruh bos ngantri minyak goreng. Katanya, istrinya mau bikin bakwan tapi minyak di rumah habis,” Ahong curhat.

“Wah setengah mati itu Hong, kalaupun antriannya ada barangnya belum tentu cukup,” cerita Bowie.

“Lha iya, mentang-mentang konter lagi sepi terus mau ditambah jobdesk-ku sama ngantri minyak, ya gamau lah yau,” Ahong melengos.

“Kalo diselipin duit mau nggak Hong,” kata kang Ramto sambil nyobek Nutrisari Mangga.

“Ya itu bisa dibicarakan, tergantung nominalnya,” Ahong nyengir kambing.

Panjul yang dari tadi cuma ngeliatin tempe baceman itu menunda rencana ciak-nya. Akhirnya, ia menaruh tempe itu di piring. Ia ambil lap dan menyeka jarinya yang telanjur kena cemceman bacam.

“Kok bisa ya?” Panjul menegadahkan kepalanya ke atas.

“Kok bisa ya?” katanya lagi.

“Kok bisa apa Njul? Kamu kesurupan? Maneh teh saha?” ucap Bowie sambil mengguncang badan Panjul.

“Lha kok bisa, itu bukannya yang di tanah seberang laut sana isinya udah kelapa sawit semua ya? Minyak goreng pake sawit sawit juga kan ya,” Panjul menggaruk kepalanya.

“Ya meneketehe, Njul” kata Bowie.

Kang Ramto menaruh es susu mangga pesanan Ahong. Bowie sendang menghitung dan menata uang yang ia terima dari Kang Ramto. Panjul mengambil HP-nya dan skrall-skroll entah chat dengan gadis MiChat, atau notifikasi lamaran pekerjaan yang berderet.

“Lha ini katanya pemerintah minta semua minyak goreng harganya Rp14.000,-?” Panjul tiba-tiba teriak.

Nah, justru itu musababnya to Njul. Yang kemaren sudah kulakan harga mahal apa tidak malah nyimpen-nyimpen itu,” Kang Ramto menganalisis.

“Denger-denger, pemerintah memang udah nyiapin yang harganya segitu, tapi ya mana, barangnya mahal jadi gaib,” Bowie nimpali.

“Ya namanya janji mah manisnya di mulut doang ya kan,” Kang Ramto asal jawab.

“Nah, ini katanya malah yang murah-murah itu nggak sampe di masyarakat, ada yang ke pabrik, malah ada yang keluar negeri juga,” ucap Panjul sambil baca berita.

Bowie melempar pantatnya ke kursi. Kang Ramto mulai asah-asah. Ahong sibuk memilih sedotan untuk es susu mangganya. Panjul masih skrall-skroll tidak ada juntrungannya.

“Berarti maksudnya gimana si?” Panjul bingung.

“Ya berarti, kita ini masyarakat apes bin nahas. Intinya itu,” Kang Ramto kesal.

“Lha kan memang peran masyarakat itu to Kang,” Ahong menggoda.

Woalah biangane, nek jare wong dulu itu ya semacam pepatah, dalamnya laut bisa diukur, tapi jahatnya manusia tak terikira, wes ambrol morale, merosot ke dasar bumi,” Bowie mencak-mencak.

“Hu’um, aku pernah denger tapi kok bukan gitu ya kayanya pepatahnya,” Panjul tambah bingung.

Sekonyong-konyong Yunita yang mahasiswa keperawatan datang. Ia menggembol seplastik minyak goreng di lengannya dengan ogak agik. Warna keemasan minyak yang terkena sinar benar-benar seperti harta karun yang keluar dari petinya. Kang Ramto, Bowie, Ahong, dan Panjul tak sudah-sudah menatap minyak goreng digendongan Yunita itu.

“Hei sadar semuanya sadar. Pada liat apa sih?” Yunita risih.

“Dapet di mana itu Yun?” Kang Ramto menyergah.

“Ya di tempat mart-mart biasa itu, di mana lagi?” Yunita heran.

“Lha di sana itu udah dua minggu kosong kok, nggak jual minyak goreng, adanya minyak rambut sama minyak telon,” kata Bowie.

“Sama minyak kayu putih,” Ahong melempar.

“Sama minyak gan,” Panjul sok asik.

“Nyimak gan, nais try,” Ahong respect.

Yunita asyik saja memilih segala lauk di meja Kang Ramto untuk dimasukkan ke plastik. Ia comot sana sini seperti tanpa perhitungan.

“Daganganku juga itu dong Yun,” Bowie promosi.

“Kamu jadi rebusvora Yun?” Panjul menggoda.

Ya ga lah yau, kan udah punya minyak goreng. Sampe kost tinggal goreng lagi, terus jual ke temen-temen,” katanya becanda.

“Berapa duit itu minyak?” Kang Ramto ancang-ancang beli.

“Nah ya itu masalahnya, ini harganya dua kali lipat yang kemaren, mana masih ngantri juga sekarang karena semua lagi cari juga. Pusing kan, makannya harus dijadiin cuan,” kata Yunita.

Alamak, sudah kerampokan sekarang rumah terbakar pula kalau begini ini,” Kang Ramto menepuk jidat.

“Kan tadi pagi di berita katanya bilang minyak goreng udah nggak pakai harga pemerintah lagi,” Yunita menjelaskan.

“Iya ni Kang, malah menterinya sampai minta maaf segala katanya tidak bisa menangani mafia minyak goreng,” Panjul konsen ke HP-nya.

“Halah kebanyakan lengseng. Lebaran emang tinggal sedikit lagi sih,” kata Bowie sambil mengemasi tasnya siap-siap ke tempat lain.

“Kok jadi licin banget yak perkara minyak goreng. Ya kalo misalnya minta maaf si pasti dimaafin ya, tapi gimana terus ini harganya, kok ya gini banget jualan gorengan aja susah,” muka Kang Ramto sudah pucat.

Panjul, Ahong, Yunita, dan Bowie yang sudah di pinggir tenda terpatung. Jarang sekali Kang Ramto keliatan marah sekaligus sedih seperti itu. Suasana hening, tidak ada yang berani menegur atau ngajak bicara lagi.

Yunita menyelipkan uang yang sudah pas di bawah capitan tahu. Ia berpaling berharap tidak ada yang sadar kalau dia sudah pergi dari angkringan.

Tiba-tiba, ringtone dari HP Ahong bunyi.

“Hong, tolong antrikan minyak goreng, nanti kamu saya kasih seliter sama uang capek,” kata Ahong membaca pesan bosnya.

Mendengar itu, Panjul ambil langkah seribu. Dengan agahan, dia tinggalkan angkringan ke konter Ahong. Sambil berlari, dia teriak.

“Bos saya saja bos, Ahong masih ngaso, saya saja Bos,” katanya lintang pukang.

Ahong menyedot es susu mangganya dan segera menyusul. Bowie sudah menyelah motornya. Yunita benar-benar pergi tanpa diketahui siapapun. Sedang, Kang Ramto tunggal beleng di angkringan dengan segala macam rebusan di meja dan es susu mangga yang belum dibayar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Apologi Rasa: Kumpulan Puisi oleh Aly Reza

Next Article

Rilis Mini Album, Primitive Monkey Noose Sajikan Punk Rock Rasa Banjar