Fenomena bersepeda kini menjadi sorotan di tengah pandemi. Beberapa kota di Indonesia mulai dipadati oleh kawanan pesepeda. Salah satunya adalah kota Yogyakarta.
Anjuran untuk tetap work from home (WFH) dan imbauan “jangan keluar rumah jika tidak perlu” rasanya sudah tidak mampu menahan beberapa orang untuk beraktivitas di luar rumah, seperti yang dilakukan Surono yang mulai aktif bersepeda sejak sepekan ini.
Jenuh dengan aktivitas di rumah saja, Surono dan keluarga memilih untuk bersepeda di seputaran stadion Maguwoharjo setiap sore hari.
“Anak-anak lebih suka bersepeda. Kalau pergi keluar naik motor, badannya nggak gerak, jadi lebih suka naik sepeda,” tutur Surono.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Bagas Setiawan yang berprofesi sebagai pekerja pabrik. Bagas hanya memiliki waktu saat akhir pekan untuk bersepeda, sisanya ia habiskan untuk bekerja dan di rumah. Merasa jenuh hanya di rumah, Bagas memutuskan untuk bersepeda dari Maguwoharjo hingga Cangkringan di akhir pekan.
Berbeda hal yang dilakukan oleh Yogi Wina Aruna. Rutinitas bersepeda telah dilakukan Yogi sejak akhir tahun 2018. Selama pandemi, Yogi melakukan karantina diri dan puasa bersepeda dari April hingga bulan Mei. Seminggu setelah lebaran, Yogi mengaku akhirnya kembali bersepeda dengan kelompok kecil, hanya dua-tiga orang, dan terkadang solo ride.
Mahasiswa tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi swasta kota Jogja ini punya alasan lain terkait kembali bersepeda. Selain karena sudah menjadi rutinitas, Yogi memiliki alasan lain terkait kembali bersepeda di saat pandemi.
“Alasannya karena untuk stamina. Karena kalau saya kurang gerak, kurang olahraga, badan jadi kaku-kaku. Biasanya punggunglah yang sering sakit kalau nggak sepedaan,” pungkas Yogi yang gemar menempuh jarak jauh saat bersepeda.
Siklus Pesepeda Baru dan Lama
Pesepeda baru maupun pesepeda lama tentu sudah menjadi siklus yang terus berputar. Bukan berarti tidak ada yang bertahan melakukannya. Seperti yang dilakukan oleh Daniel Suharta yang telah membiasakan diri untuk bersepeda sejak tahun 2010.
Hiruk-pikuk dunia sepeda di Jogja sudah sering mengalami pasang-surut. Pada tahun 2008 kota Jogja pernah menggaungkan gerakan Sego Segawe (Sepeda Kanggo Sekolah Lan Nyambut Gawe). Beberapa tahun kemudian, kawanan pegiat sepeda membuat gerakan JLFR (Jogja Last Friday Ride) dan kembali memenuhi jalanan beserta ruang publik dengan bersepeda.
“Dulu ketika JLFR, saya juga tidak ikut dari awal. Saya tahu (JLFR) karena melihat anak-anak muda bersepeda rombongan. Nah saat itu saya mbatin, mungkin suatu saat di Jogja akan booming lagi bersepeda, dan terbukti sekarang,” ungkap Daniel.
Daniel sepakat bahwa meningkatnya aktivitas bersepeda di saat pandemi ini disebabkan oleh kejenuhan dan tren semata sehingga melahirkan beragam pesepeda. Namun, Daniel menolak jika harus mengeksklusifkan pesepeda tentang pesepeda baru dan pesepeda lama.
“Ini bukan saya mengkonotasikan pesepeda baru atau lama ya, semuanya sama: pesepeda. Namun kalau pesepeda yang lama karena hobi, mungkin sudah sejak JLFR atau beberapa tahun sebelumnya. Kalau pesepeda yang baru di masa pandemi ini, kelihatannya itu karena mungkin sudah terlalu lama stay at home, seperti dikurung, lalu pingin lepas,” pungkas Daniel ketika ditemui di rumahnya di kawasan Berbah.
Bijak Bersepeda saat Pandemi
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta telah memperpanjang status tanggap darurat Covid-19 hingga 30 Juni 2020. Imbauan untuk tetap menjaga kebersihan dan menerapkan pola hidup sehat terus digencarkan.
Salah satunya dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menganjurkan untuk mempertimbangkan bersepeda atau berjalan kaki. Aktivitas bersepeda di saat pandemi ini tetap bisa dilakukan dengan bijaksana dengan cara mempertimbangkan safety ride.
Hal yang sering dilupakan oleh pesepeda adalah penggunaan helm dan lampu sepeda. Beberapa pesepeda sering kali melakukan aktivitas bersepeda hingga larut malam sehingga penggunaan lampu belakang sepeda adalah kebutuhan yang perlu disiapkan guna memberi rambu pada pengendara yang lain.
Di sisi lain, pesepeda juga perlu menyiapkan perlengkapan praktis semacam kunci set sepeda (toolkit), lem, pompa portable, hingga ban dalam sepeda. Kebutuhan ini dapat disesuaikan dengan kondisi medan dan jarak tempuh bersepeda.
Bersepeda di saat pandemi dengan menggunakan masker menjadi pertimbangan selanjutnya. Penggunaan masker saat bersepeda harus digunakan sesuai kebutuhan asupan oksigen. Seperti yang dikatakan oleh Daniel Suharta, penggunaan masker harus tetap memperhatikan kondisi tubuh dan lingkungan sekitar.
“Memakai masker itu perlu, tapi sebisa mungkin juga jangan dipakai terus-menerus. Terutama ketika (medan) menanjak karena butuh oksigen. Terus terang saja, saya ketika di tempat yang sepi jarang memakai masker. Namun ketika di keramaian atau ada kendaraan yang lewat, saya pakai lagi,” tutur Daniel.
Sampai kapanpun tren bersepeda akan selalu hadir dengan berbagai fenomena. Setiap orang berhak bersepeda dengan berbagai macam alasan. Daniel selalu menekankan bahwa bersepeda tidak boleh dipaksa. Sebab bagi Daniel, bersepeda adalah untuk mencari kesenangan dan kesehatan.
“Saya terus terang bukan menganjurkan untuk bersepeda, tapi yang penting lihat saja, kalau anda masih ragu-ragu ya tidak apa. Nah nanti jika sudah pingin, silakan dicoba. Karena kita bukan atlit, ya bagi saya bersepeda mencari kesenangan dan kesehatan. Jadi happy saja, awal-awal mungkin keliling kampung. Jadi tidak perlu dipaksa, santai saja,” kata lelaki yang memiliki koleksi sepeda hingga 18 unit di rumahnya.
Editor: Endy Langobelen
Mantul kak
Terima kasih telah berkunjung ke portal sudutkantin.com.