“Tidak, kurasa. Mayatnya membengkak karena tenggelam, gadis itu harus benar-benar mulai belajar melawan rasa mualnya. Teruskan masalah ini dengannya, aku tidak akan benar-benar pergi kecuali mendapat pesan bahwa dia akan melampirkan berkasnya padaku, setidaknya malam ini. Dia sudah belajar BPA1. Seharusnya dia malu bekerja di forensik dengan tingkah ini.”
Aku menghela napas. Sirene polisi sepertinya tidak akan benar-benar mati hanya karena New York berubah menjadi sunyi. Blackout. Hal yang sangat jarang terjadi. Mungkin hanya sekali dalam setahun dan tidak pernah memakan waktu yang lama. Dalam hitungan detik sejak cahaya menghilang, kota yang penuh dengan urin dan para junkie ini berubah seperti the purge. Orang-orang segera mengeluarkan pistol dan pisau, kemudian saling bunuh.
“Kau bawa motormu sendiri?”
Orang yang sejak tadi berbicara sendiri. Seseorang dengan mata elang yang menggelap ketika berada di TKP. Aku rasa tidak pernah ada waktu di mana dia tidak benar-benar menyelesaikan beberapa kasus yang dia pegang. Tugas kami tidaklah mudah dan dia seharusnya pergi ke psikolog, bukannya terus-terusan menulis buku tentang orang-orang gila. “You really need a shrink. Tidak seharusnya kita bepergian di saat seperti ini? Kau bodoh atau apa?”
“Ada yang harus aku cek. Just blocks from here. Aku akan membawamu ke sana sekarang kalau kau tidak keberatan.”
Waktu itu rasanya aneh sekali karena kami berjalan-jalan di daerah Chinatown yang juga padam. Kami mengobrolkan bagaimana rasanya bekerja berdampingan dengan para pembunuh. Orang-orang tidak ada yang peduli, mungkin juga ada yang mati di sana, di tempat dia membelikan secangkir cokelat panas yang dia tiup dengan hati-hati untukku. “Semacam dia memang sudah seharusnya mati, maksudmu begitu? Kau merasa terganggu karena sering berpikir seperti orang-orang aneh yang kita temui tiap hari?”
Bahkan eufimismenya untuk mengatakan para pembunuh atau para pemerkosa atau bajingan gila itu benar-benar mengganggu di telinga. Aku harus sering menemui psikiater tiap aku merasa telah menjustifikasi tindakan para orang aneh ini. “Iya, kurasa. Maksudku, kau tidak mendaftar pekerjaan ini untuk benar-benar merasa nyaman dengan hari-harimu. Kau bertemu dengan para manipulator gila, pemerkosa anak, pecandu narkoba; tidakkah semua orang ini mengganggumu? Pekerjaan ini menuntutmu untuk mencurigai semua orang.
![](https://sudutkantin.com/wp-content/uploads/2024/12/gambar-ilustrasi-from-pinterest_httpspin.it2MW3r6URC.jpg)
Di awal-awal tahunku bertemu denganmu, kau salah satunya. Kau terlalu ulung untuk menjadi seorang profiler. Dan sekarang, ketika semua orang saling bunuh, kau malah membawaku keliling kota? Kau jelas tidak mudah dibaca dan itu membuatku takut.” Akhirnya kukatakan kepadanya sembari merokok, menatap ke samping, ke matanya yang tajam seperti rubah. Aku takluk, dia menakutkan.
“Kau mau menghabiskan waktu berkelana sendiri? Kita bukan polisi. Kenapa kau memilih bersamaku di tengah gelap gulita dengan kemungkinan dibunuh oleh para kriminal yang pernah berurusan dengan kita? Kau tidak menerima ajakan Alex. Dia punya pistol, aku tidak,” ia nyengir, memamerkan rangkaian giginya yang rapi dengan rokok yang diapit di tengahnya. Dia lemparkan koreknya kepadaku, lalu bersiul seolah kami sedang vakansi.
Orang-orang menyapanya, sepertinya dia memang familier dengan tempat ini. Tempat yang tidak benar-benar asing. Di tengah Amerika yang besar, mungkin karena kami sama-sama dari Asia maka aku menginginkan kedekatan dengannya. Mendapatinya sebagai seorang profiler di Feds (FBI) yang kebanyakan adalah laki-laki kulit putih, tentunya membuatku merasa lega. Ada rasa ingin selalu di sampingnya karena hangat dan aman. Mungkinkah karena perasaan saudara sedarah semata? Atau memang mata rubahnya, kilatan tajamnya ketika melihat darah, dan percakapan aneh dengannya — yang justru membuatku ingin selalu dengannya?
“Dulu ketika aku kecil, orang tuaku hanya imigran miskin. Aku tidak langsung bisa berkuliah di Pennsylvania sepertimu dengan membayar banyak. Aku harus melalui banyak hal. Ini bukan berarti aku lebih baik darimu. Aku hanya mengatakan bahwa orang tuaku miskin dan aku menyaksikan banyak darah di daerahku, daerah seperti ini. Penuh dengan orang gila yang saling bunuh. Hanya dari situ saja, kurasa aku harus belajar bagaimana bercak darah bisa mengatakan padamu bagaimana seorang laki-laki menusuk kekasihnya di kamar mereka. Bagaimana luminol dapat mengatakan padamu bagaimana seorang laki-laki tua dibunuh oleh istrinya di toko tempat mereka berjualan perhiasan. Bagaimana bercak darah yang mengental dan tebal mengatakan padamu bahwa mayat seorang gadis kecil ini sebelumnya digantung di ketinggian, di atas lemari, sebelum akhirnya diturunkan oleh pemerkosanya. Semua itu terjadi di gang ini. Di tempat masa kecilku.”
Aku tidak bisa mengatakan apa pun ketika rambutnya tersibak ke belakang dengan sinar rembulan yang meneranginya sebagai satu-satunya cahaya. Semua orang yang berisik di sekitar kami seolah menguap, menjadi satu dengan asap-asap yang mengepul. Mungkin aku mulai merasa selangkah lebih dekat dengannya. Ia hanya tertawa, kembali menyesap rokok. Kami duduk di pinggir jalan dan hanya berharap tidak ada siapa pun yang menusuk dari belakang.
“Sekarang, katakan padaku, kenapa kau memilih bersamaku? Berkeliling Chinatown yang gelap gulita dengan kemungkinan mati ditembak orang gila yang bosan dengan hidupnya. Alasanku mengajakmu mungkin klise. Aku tidak pernah menyampaikannya kepada orang lain. Tapi aku ingin bersamamu sampai esok hari. Sampai kota kembali menyala dan mendapatimu baik-baik saja.”
***
- BPA: Blood Pattern Analysis. Disiplin ilmu forensik yang mempelajari pola/bercak darah di Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk menganalisis kejadian kriminal. ↩︎
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Bima Chrisanto
![](https://sudutkantin.com/wp-content/uploads/2021/04/nyawer-banner-744x200.jpg)