Langkah-langkah kaki membawa kehidupan ke dunia yang tidak pernah kita ketahui. Semua berawal dari ketidaktahuan dan penuh keraguan. Ketakutan selalu saja menjadi beban melangkah menuju hal baru. Manusia selalu takut terhadap hal baru. Terlalu nyaman dengan dunia yang mereka sedang rasakan.
Aku melangkah dalam sendiri di tengah keramaian. Sebuah tempat yang asing bagiku. Orang-orang yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Bahkan aku takut mereka memandangku. Seolah aku manusia yang terlalu mencolok sehingga menarik perhatian mereka. Aku selalu berpikir ada yang salah dalam penampilanku jika ada orang lain memandang.
Orang-orang melangkah dan terus melangkah. Membuat sejarah dalam kehidupan mereka sendiri. Langkah awal yang belum tentu mereka inginkan. Namun, semua akan terus mereka hadapi. Ribuan orang membuat aku merasa sesak dan tak bisa bernapas. Terlalu lelah dalam kesendirian. Sampai aku melangkah menuju percakapan dua insan. Aku harus menjemputnya untuk menghilangkan kesendirian ini. Semua membutuhkan sebuah langkah awal.
Perkenalan yang selalu membuat aku lelah. Bertanya hal yang paling mendasar dalam sebuah perkenalan. Siapa namamu, kamu dari mana, mengambil jurusan apa, dan hal-hal lain paling mendasar dalam pertemanan. Sangat basi memang, namun itulah awal sebuah obrolan dalam pertemanan. Keberharapanku tidak berarti lagi setelah aku berpisah dengannya. Pertemanan hanya ada dalam sebuah angan belaka.
Kini, aku harus melangkah kembali ke awal. Bagaimana sebuah lingkungan baru yang tidak pernah aku bayangkan akan sejauh ini. Orang-orang itu baru lagi. Aku harus memulainya kembali. Baiklah, aku memang harus melakukan itu semua. Sebuah permulaan dalam hubungan. Aku tidak akan berharap lebih untuk satu ini. Biarkan semua mengalir apa adanya.
Sebuah ruangan yang di dalamnya terdapat banyak orang dengan latar belakang dan tujuan yang berbeda. Hubungan yang sangat sulit untuk aku mulai. Perkenalan dengan orang baru. Aku sangat malu, sungguh aku benci itu semua. Muka-muka mereka yang membuat aku tidak ingin memulainya. Memang sangat subjektif.
“Perkenalkan nama kamu, biar semua kenal,” dosen itu menyuruh hal yang sangat sulit aku lakukan. Aku berdiri, tidak berani menatap mereka. Kini aku menjadi pusat perhatian. “Saya Junia Chaesar, dari Bandung.” Sungguh aku tidak suka menjadi pusat perhatian dan berbicara di hadapan orang banyak.
“Wah lumayan juga. Kenapa namanya Chaesar? Apa terinspirasi bangsa Romawi?” Pertanyaan yang selalu aku dapatkan. Aku tidak berhak memberi jawaban. Hanya sebuah senyuman yang aku tunjukan. Perkenalan terus berlanjut sampai aku mengantuk.
“Gue Indi dari Semarang,” perempuan yang duduk di sebelahku memberanikan diri memulai sebuah perkenalan. “Ya, lu udah tahu kan siapa nama gue?” Dia hanya menganggukkan kepalanya. Aku tidak akan berharap lebih dengan perkenalan ini. Semua akan aku biarkan mengalir dan mengikuti bentuk wadahnya.
Hening, aku tidak dapat masuk ke dalam mata kuliah ini. Semuanya serba asing. Namun semua akan biasa saja. Orang-orang sibuk dengan pikirannya. Banyak yang memulai sebuah hubungan. Menunjukkan dasar dari makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Aku tidak anti sosial, hanya saja terlalu sulit untuk memulai hal baru.
Kini langkah kaki menuju sebuah pintu gerbang yang lebih baru lagi bagi hidupku. Aku membiarkan jiwa ini mencoba berbagai hal yang tidak pernah dialami. Kegiatan yang bahkan hanya ada dalam angan-angan belaka. Kini benar-benar nyata di depan mata. Sebuah tempat yang membuat aku menemukan kehidupan berbeda dan orang-orang yang berbeda pula dengan yang sebelumnya.
“Selamat datang dunia baru,” masih aku ingat dengan jelas. Bagaimana takutnya aku dulu untuk memasuki dunia ini. Dunia yang ternyata di luar dari aku pikirkan. “Ya, memang tidak sesuaikan dengan apa yang kamu inginkan?” Aku hanya mengangguk saja. “Namun, coba kamu cari hal-hal yang sudah kamu dapat dan bermanfaat untuk dunia kamu yang lain.”
“Dunia tidak melulu menyediakan sebuah tempat sesuai apa yang kamu inginkan. Dunia itu harus kamu ciptakan sendiri.”
Setengah jalan aku lalui di sini. Aku banyak memulai hal baru. Mencoba dan terus mencoba meskipun terkadang kecewa. Kerikil-kerikil dalam hidup tidak pernah akan hilang. Semua bumbu yang tidak sedap menemani langkah kakiku. Memberikan warna tersendiri dalam perjalananku.
Sebuah awal yang aku lakukan dan aku mulai. Kaki berjalan menapaki sebuah daratan tertinggi di Bumi manusia ini. Jauh dari laut. Menyusuri sebuah lembah kehidupan. Terjalnya hati untuk dilalui kaki. Semua harus aku lewati. Aku sudah memulainya dan bagaimana aku juga harus menjalaninya.
Kini, aku memulai hal yang lebih dari yang dulu aku lakukan. Aku berdiri di depan kelas. Menatap mata mereka satu persatu.
Masih aku ingat kata-kata teman SMA satu tahun lalu. Aku ingat saat kali pertama mempresentasikan di depan kelas sendiri. Saat kelas dua SMA.
Aku harus memulai untuk menjadi manusia yang memiliki mental yang kuat. Sesuatu yang membuat aku harus membuang rasa malu dan takut jauh-jauh. Sebuah racun yang tidak perlu aku simpan lama. Sudah sampai di sini, aku harus memulai bukan hanya dalam organisasi saja. Aku harus berani keluar dari zona nyaman.
Semua menjadi awal dalam setiap jalan yang aku pilih. Perubahan dalam hidup memang tidak bisa dihindari.
“Hanya saja aku harus mampu berdiri di atas kaki sendiri.”
Indi menatapku, “Iyalah masa kaki orang lain, kocak.”
“Bukan itu anjir yang gua maksud.”
Dia hanya menunjukan deretan gigi putihnya, “Ya, biasa aja dong. Ga usah ngegas juga bos.”
“Sama lu ga pernah bener, males gua.”
“Sok denial banget si, sebenarnya lu ngefans gue kan? Ngaku ajalah.”
“Apaan si anjir kaga jelas. Udahlah gua mau pergi dulu.”
“Ati-ati nanti kesandung, kasihan batunya nyentuh kaki lu.”
Aku hanya mengacungkan jari tengah kepadanya.
Kini aku mulai dengannya. Sebuah pertemanan yang tidak aku harapkan sebelumnya. Dia mengawalinya dan tiada akhir dalam hidup kami. Berjalan dan terus berjalan menikmati setiap perubahan masing-masing dari diri kami.
Aku benar-benar keluar dari zona nyaman. Sebuah karakter yang dulu aku bangun kini harus aku hancurkan. Semua hancur dan hanya menjadi catatan dalam buku. Nantinya aku baca sebagai sejarah dalam hidup. Memulai semua karena kesadaran, semua tidak bisa dipertahankan. Berbeda rasa dari pertama aku mulai dulu. Kini aku harus memulai kembali.
“Heh, bucin saya.”
“Njir, mana ada gua ngebucinin elu Far.”
Fara, seseorang yang menjadi awal dalam hubungan pertemanan lain.
“Gabut banget lu, jam segini udah di sini.”
“Hidup-hidup gua lah.”
Ya, semua melebur menjadi cairan yang larut dalam garam. Asin dan terkadang membuat luka itu menganga. Memaksa menahan perih yang tidak diharapkan kehadirannya. Semakin lama sudah terbiasa tidak berasa lagi. Bagaimana jalan, lama-lama akan berlubang, rusak. Rusak dan ditambal kembali namun tidak seperti semula. Kecuali dimulai dari awal kembali. Berbeda rasa dan bentuk. Bergeser beberapa senti dari sebelumnya.
Semakin aku berjalan, semakin jauh aku melangkah semua di tempat yang sama. Rasa semangat semakin hilang. Semuanya berubah. Bagaimana aku harus memulai kembali? Sesuatu yang aku bangun dan kini semua hancur. Seperti hilang tanpa jejak. Sebuah sejarah yang hilang.
“Gila, lu mau pergi ga ngomong ke gua.”
“Sar…”
“Apaan si njir sar sar.”
“Chaesar, dengerin gue dulu dong. Kita memang teman atau mungkin saja sahabat. Tapi, rasa cinta sahabat tidak bisa diukur dari seberapa kita intens ketemu.”
Aku harus memulai kembali sebuah kenyataan hidup. Kebiasaan yang biasa aku dan dia lakukan, kini hanya sebuah ingatan semata. Kebersamaan tidak akan terus kami jalani. Kenyataan bahwa sebuah pertemuan akan diikuti perpisahan. Hanya untuk sementara waktu. Perputaran dalam hidup selalu terjadi dalam setiap langkah yang akan aku ambil. Bukan perpisahan yang harus diingat. Bagaimana aku sangat menghargai sebuah proses. Semua tidak ada akhirnya, akan menjadi sebuah awal terus menerus. Kematian bukanlah sebuah akhir, melainkan awal kamu hidup di dunia yang diyakini beberapa orang ada. Langkah kaki ini akan aku bebaskan melangkah menuju hal baru.
19-05-2019
-VEDA-
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Fransisco Edwardo Kamisopa