HARI-HARI selalu merundungku dalam kecemasan. Bagaimana tidak cemas bila biaya untuk melamar calon istri saja belum berhasil aku kumpulkan. Begitulah kata sahabatku saban hari setalah kami meneguk beberapa gelas arak.
“Jadi, minggu depan kau melamar kekasihmu?”
Sahabatku tersenyum. Tatapannya buyar. “Aku sudah berjanji akan datang minggu depan untuk melamarnya.” Ia merangkulku lalu memberi segalas arak dari genggamannya. “Tidaklah baik bukan, bila seorang lelaki mengingkari janjinya.”
Ini bukan kali pertama sahabatku bercerita tentang kecemasannya akan biaya melamar kekasihnya itu. Pernah suatu hari saat kami sedang bekerja, ia bercerita tentang pekerjaan yang sangat berat dan tidak menentunya pekerjaan kami dalam sehari akan memperoleh hasil. Terlihat itu menjadi beban pikirnya beberapa waktu ini.
“Kapan hari pernikahanmu?”
“Mungkin sehabis melamar, baru kami berbicara tentang tanggal pernikahan,” sahut sahabatku sembari jari-jemarinya meraih dahinya.
“Andai saja pemerintah bisa membantu kita.”
“Membantu apanya! Pemerintahlah yang mengutus para aparat itu untuk menangkap kita. Setelah ditangkap, kita pasti beralasan bahwa kita hanya mencari makan. Bukan begitu?”
“Mestinya manusia lumpur seperti kita ini diberi pekerjaan lain, seperti kerja di kebun, mungkin. Sehingga kita tidak menggantungkan hidup dengan menggali seperti ini. Risikonya nyawa kita yang harus dipertaruhkan.”
Sayup-sayup suara angin malam yang syahdu, kalah syahdunya dengan suara dentuman sound system musik dangdut yang menyalak-nyalak telinga. Beberapa orang rekan kerja kami telah berdiri, melenggak-lenggokan badannya sembari terus meneguk beberapa gelas arak untuk menghilangkan rasa lelah sehabis bekerja.
Di kampung ini sesaat matahari mulai mengintip dari celah jendela para lelaki sudah harus pergi bekerja. Beberapa orang pergi dengan bertelanjang dada. Wajah mereka penuh dengan harapan. Suara arus sungai yang menemani hari-hari, beriringan dengan suara deru mesin dompeng yang menyalak-nyalak telinga seperti suara musik metal yang mampu menenangkan para pendengarnya. Suara deru mesin dompeng yang terus menghentak memberi harapan semoga hari ini mendapatkan hasil lebih baik dari hari kemarin.
“Kemarin malam aku mendengar kabar, beberapa orang pemuda kampung di hulu sungai mati tertimbun tanah longsor. Apakah kau sudah mendengar kabar itu?”
“Sudah. Aku sudah mendengarnya dari bibiku.”
“Pekerjaan kita ini sangat beresiko, mungkin aku mulai besok akan berhenti bekerja. Kau juga harus berhenti bekerja, aku mendengar kabar bahwa aparat akan datang beberapa hari ke depan.”
“Baiklah. Baik.” Ia merangkulku sekali lagi lalu memberi segalas arak dari genggamannya untuk yang kedua kalinya.
***
Matahari mulai mengintip dari celah jendela. Cahayanya lebih cerah dari hari kemarin. Kulihat para lelaki bergegas pergi bekerja. Beberapa orang pergi dengan bertelanjang dada. Wajah mereka penuh dengan harapan termasuk sahabatku itu.
“Ingat. Minggu depan kau harus ikut bersama rombonganku melamar calon istriku,” ucap sahabatku sambil mulutnya mengembuskan asap rokok yang mengepul keluar dari hidung serta celah bibirnya. Aku hanya mengangguk mengiyakan perkataannya tanda menyetujui.
Lokasi di mana aku dan sahabatku berkerja ada di pinggir sungai, sehingga limbah lumpur dari tambang kami mengalir ke sungai. Masyarakat yang ada di hilir sungai sangat merasakan dampak dari kami, para pekerja tambang yang menggantungkan hidup dari hasil tambang. Masyarakat harus merelakan sumber air mereka direngut oleh segelintir orang seperti kami ini.
Pada saat bekerja tubuh serta wajah kami berlumur lumpur. Tangan kami berusaha keras menggenggam selang air yang harus diarahkan ke tebing-tebing tanah. Setibanya di tempat kerja biasanya kami disambut suara deru sungai, serta angin yang menjatuhkan beberapa lembar daun yang dicampakan tangkai yang terluka. Lalu kami pun bersiap mengenakan pakaian yang biasa kami kenakan untuk bekerja.
Tampak sekali baju serta celana yang biasa kami gunakan berhiaskan minyak solar serta oli yang menempel. Tubuhku menggigil tatkala angin pagi menjamah. Perlahan-lahan aku pun tersentak dari kemelut pikirku sembari beberapa kali menghela nafas.
***
Hari pun petang cahaya kemerah-merahan rebah di ufuk barat. Aku sedang duduk di atas sebuah kursi bambu, menyenderkan batang leherku yang terasa pegal. Sembari menanti kepulangan sahabatku dari tempat kerja untuk mentraktirku beberapa gelas arak malam ini. Seseorang menggenggam senter dari kejauhan berjalan menghampiriku dengan nafas yang tersengal-sengal.
“Ada apa. Ada apa, kenapa tergesa-gega seperti itu?”
Seseorang itu berdiri di hadapanku dengan badan serta wajah yang berlumur lumpur. Gemetar seluruh badannya karena baju dan celananya yang basah oleh air mata, juga air sungai. Aku pun tak bergidik setelah ku pandangi kedua bola matanya. Sontak, bulu-bulu di sekujur tubuhku berdiri.
Masyarakat di kampung saling bahu-membahu untuk mencari bala bantuan. Ada yang diutus untuk memangil bala bantuan ke kampung di hilir sungai. Sesampainya di tempat bekerja orang-orang kampung telah berkerumun. Beberapa orang terlihat membawa pacul dan beberapa orang lagi sedang memegangi linggis.
Tepat di atas kerumunan itu terdapat pohon karet tua di mana aku dan sahabatku biasa berbagi kisah. Tempat di mana kami berteduh kala terik matahari menghantam tubuh kami. Kalau diukur dengan depa tangan pohon karet itu sebesar dua depa tangan kami berdua. Pohon karet itu menjulang tinggi ke atas. Ku lihat di bawah pohon karet itu, duduklah seorang wanita yang merupakan bibi dari sahabatku. Ia menatap kosong ke bawah sambil berdoa dan berharap agar keponakannya masih hidup.
Yogyakarta, 2020
Editor: Agustinus Rangga Respati