“Ya ampun! Kayaknya masih lama deh ini. Langit masih mendung begitu,” kata Enti—seekor monyet betina—kepada Suhar, pacarnya. Tentu, Suhar juga adalah seekor monyet.
“Sudahlah. Nikmati saja.”
“Nikmati, matamu! Pisang dua biji semalem udah abis digilas dingin, nih.”
Hujan masih deras mengguyur kawasan hutan itu. Sepasang monyet yang sedang terjebak di salah satu batang pohon itu sudah hampir dua hari menderita kedinginan. Di bawah mereka adalah rawa-rawa dengan batas air yang kian naik dari sebelumnya. Mereka tak hanya menahan dingin, juga lapar, kantuk, dan rasa takut jika sewaktu-waktu air sungai yang tak jauh dari tempat mereka terjebak akan meluap. Pun perasaan khawatir sebab selepas pulang nanti pasti bakal kena marah orang tua mereka.
“Selepas pulang dari sini, pokoknya nanti kalau mama marah kamu harus ikut tanggung jawab.”
“Waduh.”
“Kenapa?”
“Mama kamu kan galak.”
“Pokoknya begitu!”
Ada senyum meneduhkan di wajah Suhar. Giginya yang besar dan kuning itu tampak. Ekornya melambai-lambai. Meski bulu di seluruh tubuhnya sudah basah kuyup. “Iya. Aku yang tanggung jawab.”
“Har, apa kita coba pulang sekarang?”
“Tapi, kan kamu tahu sendiri, kita tidak mungkin menembus hujan ini. Batang pohon di sepanjang jalan kita pulang pasti licin. Toh kemarin juga sudah kita coba, kan?” Keluh Suhar.
Enti tak menjawab. Gigil di tubuhnya membuatnya semakin erat meringkuk. Duduk lama di ketinggian pohon dengan angin yang menggila tentu bukan tamasya yang mereka idam-idamkan.
“Kalau saja waktu itu kamu tidak termakan omongan temanmu, pasti aku tidak sedang menderita begini. Haiiish…!”
Suhar tertawa dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Kenapa kamu ketawa? Ada yang lucu?”
“Entah mengapa, ya Ti, aku selalu suka caramu mengumpat.”
Duaaar….! Petir menyambar. Kilat cahayanya membuat seisi hutan itu terang sebentar. Itu juga menjadi pertanda bahwa hujan tampaknya belum akan mereda. Sedang angin malah bertambah kencang saja.
“Dingin?”
Enti mengangguk. Dengan segenap kasih yang ia punya, Suhar lalu mengubah posisi duduknya. Ia mendekap Enti. Dekapan itu pun disambut dengan kepala Enti yang kemudian bersandar di dada Suhar.
Suhar lirih berucap, “Maafkan aku ya, Ti. Jauh kubawa kamu dari pedalaman ke rawa ini, demi melihat buaya yang kakinya buntung satu itu. Buaya buntung tak kita temukan, malah terjebak dalam hujan macam begini.”
Dekapan semakin erat. Sebanding dengan hujan yang kian deras. Di kejauhan, tampak beberapa pohon mulai rubuh. Suaranya membuat sejoli itu semakin takut.
“Ti, ayo kita panjat sedikit lagi ke atas.”
“Kenapa Har?”
“Sepertinya air sungai akan segera meluap.”
Dalam usaha untuk memanjat batang pohon itu, Enti melihat seekor ikan yang sepertinya susah payah melawan arus sungai yang tak karuan.
“Tunggu!” Sergap Enti.
“Ayo, Ti. Tunggu apa lagi?!”
Enti menunjuk area rawa. Ingin menunjukkan kepada Suhar perihal ikan yang ia lihat. “Kita selamatkan dia dulu.”
“Sudahlah. Tak usah pikirkan yang lain. Jika dia mati terseret arus, itu pasti sudah ada yang atur.”
“Selamatkan dia dulu, bodoh!” Sembari berkata begitu, mata Enti melotot.
“Bagaimana caranya? Sedang air semakin naik. Arusnya juga kencang, Sayang.”
“Kalau begitu, aku yang akan turun.”
“Jangan sembrono. Apa kamu pernah melihat ikan memanjat pohon?”
“Makanya kita bantu dia, dong, Suhar.”
Arus air sungai semakin kencang. Banjir yang datang juga membawa batang-batang pohon yang tumbang, baik oleh sambaran petir ataupun angin kencang.
“Baik, aku akan bantu ikan itu. Tapi berjanjilah satu hal padaku, kamu jangan pernah meninggalkanku. Janji, ya?”
Perlahan Suhar turun. Ekornya dililitkan pada ranting pohon begitu juga dengan kedua kakinya yang mencengkram ranting pohon yang rapuh. Suhar mencondongkan badannya ke bawah. Tangannya direntangkan sejauh mungkin ke arah arus sungai. Sebelum ikut terseret arus, Suhar dengan cekatan memegang badan ikan yang sedikit licin. Berbekal kelincahan yang ia miliki, dengan cepat ia memanjat kembali ke tempat Enti berada.
“Taruh di sini,” Enti menunjuk batang pohon tempat ia berpijak. Batang yang cukup besar sebagai tempat mereka mengamankan diri, “Amankan dengan kakimu.”
“Sudah,” Suhar sedikit kelelahan.
“Bagus. Kita tunggu sampai air sedikit surut.”
Ikan meronta dalam cengkeraman kaki Suhar. Kemudian terus meronta meminta untuk dilepaskan. Namun semakin kuat ia melawan, semakin kuat pula cengkeraman Suhar.
“Ti… Apa kamu pernah melihat ikan selain di dalam air?”
“Entahlah. Kenapa kamu tanya begitu?”
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja, dia sepertinya kelelahan. Lihatlah, dia tertidur.”
“Ya. Jangan ganggu. Kasian dia. Setelah bangun nanti, dia mesti berucap terima kasih padamu.”
“Pada kita, Sayang.”
“Ya. Tentu. Pada kita.”
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Stockvault.net/Janis Urtans