Dan, Peluru Terus Menghujam Lebih Dari Satu Kali: Kumpulan Puisi Mirna Layli Dewi

Kumpulan puisi ini: Runyam, Peluru menancap lebih dari satu kali, dan Dan, tak apa ditulis oleh Mirna Layli Dewi. Seorang perempuan yang lahir dan dibesarkan di Aceh. Saat ini sebagai Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang. 


Runyam

Mundur perlahan saat kau melintas dalam mimpi. Seperti nyata. Berusaha mendekap dan merangsak masuk rumah. Setauku belum pernah ada sosok yang senyata itu. Setidaknya hingga dewasa tiba. Aku harus berlari secepatnya. Tapi, ini berbeda. Tersungkur. Napas tersenggal-senggal. Jantung kian berdebar. Adalah hal biasa. Yang tak biasa justru kemunculan secara mendadak dan terlihat samar dari layar jendela kamar. Kusebut sekali lagi bahwa kau tidak nyata. Sebab bahkan aku tak punya nomor telfonmu. Namun, kau hampir sampai. Dan aku berpikir apakah ini waktu untuk selesai?  Aku menutup mulut. Sementara, wajahmu mendekat, tersenyum, dan ingin segera meraih teralis jendela kamarku. Jendela dan diri kubanting. Bagai bertaruh. Lebih dulu mana yang akan terkunci: jendela, pintu, atau diri. 

Lalu, aku berlari mencari jalan menuju ibu
Kuketuk pula sadar agar aku segera terbangun
Sebuah usaha membatasi rindu
Tersadar dan berpeluk peluh di tubuh ibu 
Barangkali adalah obat paling manjur untuk mimpi buruk
Syukurnya ada ibu yang menampung mimpi buruk itu
Dan sejak itu, mimpi buruk bagai kertas yang kugenggam dan kurunyam
Karena tak kunjung jadikanku mimpi indah

Samar-samar kudengar ibu bicara, katanya “mimpi buruk tak perlu dipikirkan” mungkin kau salah satunya. Dan dalam wujud cipta cinta apapun, meski hanya sepintas. Sembari mengusap keningku dengan mantranya. Setelah itu, seolah aku tersadar bahwa aku bahagia. Sejujurnya sangat bahagia. 

Peluru menancap lebih dari satu kali

Saat berada di bangunan
Berdesain kolonial
Sebutir peluru 
Tertancap
Di punggungku
Dan hingga kini
Tak dapat kuentaskan
Sejak itu pula
Butiran peluru lain 
Menancap silih berganti
Mulai dari punggung
Menuju betis kanan
Hingga yang terakhir
Menancap duniaku
Seolah diri 
Tak diberi teduh
Dari satu senapan
Dan, peluru terus menghujam ebih dari satu kali

Dan, tak apa

1/ pagi hari
Jam tangan bewarna merah muda remuk di lantai rumah
Sejak itu kuanggap jam tak lagi berdenting
Darah mengucur dari jari manis
Menanggalkan tanda lahir
Yang timbul karena kepingan kaca

2/ dan saat kue ku tak pernah lagi tersuguhkan
Atau sapamu untuk patung kucing tak lagi menarik 
Karena tak lagi kutemui saat membeli kue ku
Dan, tak apa 
Kau tahu, keberuntungan setiap hari merasuki diri
Termasuk dalam bait puisi yang kutulis saat ini

3/ menjelang malam lonceng berdenting dari klenteng sebelah
Itu artinya, makan malam telah tiba di meja makan
Tapi, sayangnya kau tak pernah tiba 
Dan, tak apa
Kadang puisi mencoba mengambil alih dirimu
Meski senapan berkali-kali berusaha membunuh
Tak pernah kusesali 
Karena aku hanya takut puisiku lenyap dilahap api


Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Ilustrasi sampul: Mirna Layli Dewi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Etnografi Biografi Soerjopranoto: Telur Busuk untuk Habib Gadungan, Hardik Gebuk untuk Belanda Peranakan

Next Article

chinatown | Cerita Pendek Sofiana Martha