Menatap Anak-Anak, Seni Rupa, dan Masa Depan: 20 Tahun Art for Children Bermain dan Belajar di Selasar

Proses dua dekade Art for Children dari selasar Taman Budaya Yogyakarta menjadi ruang bermain sekaligus belajar yang hadir sebagai ajang empati dan simpati.

Hajatan seni di Yogyakarta makin aktif dan kian masif hiruk-pikuk di sana sini. Tak terelakkan dan tak terhitung lagi seperti apa saja bentuk-bentuk gerak geliatnya. Hingga menjelang tutup tahun 2024 ini, tensi acara berupa pameran yang sifatnya climen hingga skala festival, yang diselenggarakan secara personal hingga lembaga, merebak beriring maraknya para pelancong berbondong-bondong pelesir ke Yogyakarta.

Keberadaan gelaran-gelaran seni pada galeri-galeri di Yogyakarta itu terus terang mengusik kepala saya. Banyak tawaran dan paparan berkumpul dalam tatapan. Situasi itu menyajikan bertumpuk wacana dari ruang dan konten yang penuh daya kreatif dengan watak dan bentuk presentasi yang subtil menandai adanya praktik kolaborasi juga perbedaan semangat lintas generasi.

Di antara yang semarak itu, ada suatu gejala yang menarik untuk dicermati, yakni agenda-agenda seni yang memberi ruang perhatian dan melibatkan anak-anak. Bentuknya beragam. Mulai dari lomba menggambar dan mewarnai, kunjungan pameran, workshop, dongeng, pertunjukan boneka, pedalangan, hingga pameran seni rupa anak-anak. Ihwal tersebut memantik asumsi bahwa setiap ruang memiliki andil lahirnya cita-cita dan harapan masa depan anak lewat kesenian, tak terkecuali seni rupa―seni visual.

Di antara banyaknya agenda seni-senian itu, secara khusus dalam catatan ini akan dibahas salah satu program di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), yakni bimbingan anak Art for Children (AFC). Program ini sudah berlangsung sejak 2004. Artinya, pada 2024 ini usianya genap 20 tahun!

Namun, setelah dua dekade, apakah AFC masih relevan? Apakah keberlangsungan bimbingan anak ini terus-menerus hanya karena tumbuh di bawah instansi negara sebagai pengayom? Atau sesungguhnya AFC malah telah melampaui itu?

Karya papier mache anak-anak AFC (dok. Karen Hardini)

Perjalanan yang Tak Sebentar

Jika Anda ke TBY pada hari Minggu sekitar pukul 10.00―12.00 WIB dan mendapati kerumunan ratusan anak-anak berusia kisaran 5―15 tahun beserta orang tuanya berada di sudut-sudut ruang, selasar, halaman, hingga panggung, bisa dipastikan Anda sedang menyaksikan pemandangan dari kelas-kelas AFC. Bimbingan ini hadir pada masa kepemimpinan Dyan Anggraini saat menjadi kepala TBY pada 2004 hingga 2011. Dyan Anggraini yang juga seorang perupa, dengan kedudukan dan modal sosial jejaring yang dimiliki berhasil merintis program untuk anak-anak ini dengan perencanaan yang matang dan jangka panjang.

TBY selaku pelaksanaan operasional di bawah kewenangan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY tidak bekerja sendiri. Ada keterlibatan seniman di sini, sebut saja Yuswantoro Adi, Dwi Winarsih, Arif Kriying, Nowo Ksvara, Pardiman, Broto Wijayanto, R. Sigit Eko Riyanto, dan beberapa nama awal di balik hadirnya program ini dua puluh tahun silam. Beberapa di antara nama-nama tersebut kemudian menjadi pengampu AFC hingga hari ini. 

AFC menjadi salah satu program kerja berkala unggulan TBY berupa pembinaan seni, seperti seni rupa, musik, tari, teater, pantomim, vokal, dan kemudian berkembang dengan adanya sastra, komedi anak, karawitan, dan batik hingga hari ini. AFC bertujuan untuk mewadahi, mendidik, mendorong, serta melatih anak-anak sesuai minat dan bakatnya. Sehingga dari situ muncul kreativitas pada diri anak yang bermanfaat bagi perkembangan otak dan daya kreativitas anak sejak usia dini.

Aktivitas kelas senirupa AFC membuat topi dari beragam jenis kertas (dok. Karen
Hardini)

Pembinaan tersebut hadir dan diinisiasi dengan suatu harapan atas nilai, sekaligus keresahan terhadap masa depan anak-anak di Yogyakarta. Hal tersebut saya rasakan setidaknya sejak pertama kali saya berhadap-hadapan melihat ruang anak yang satu ini pada 2018, khususnya di bidang seni rupa.

Trajektori yang panjang dan besarnya antusias anak-anak mengikuti AFC memungkinkan untuk rotasi berkala dan penambahan pengajar dengan latar belakang seniman, pekerja seni, dan guru dengan nalar seniman. Keberadaan guru dengan nalar seniman menjadi penting untuk dicermati mengingat metode di dalam kelas ini dibangun dengan semangat sanggar, dengan watak ruang dan metode non-formal untuk anak-anak “bermain dan belajar seni dengan bahagia” sesuai jargon AFC. Dengan begitu, diharapkan menjadi ruang belajar alternatif yang menjadikan anak-anak memiliki ruang merdeka untuk berkarya seni–bertemu kawan-kawan sejawat dari beragam latar, di luar sekolah formal yang ketat dengan angka-angka nilai. Nah, AFC berperan mengisi bolong itu!

Sebagai ruang eksplorasi bakat seni anak-anak, bimbingan ini dapat bertahan dan menyesuaikan dengan karakter anak-anak sesuai perkembangan zamannya dan senantiasa memberikan pengajaran berdasarkan tumbuh kembang usia anak. Dengan kata lain, ruang yang menyesuaikan isi. 

Di sini, saya coba menatapnya dalam dua sudut pandang; dari dekat selaku pendidik AFC dan dengan sekat sebagai penikmat sekaligus pengamat karya seni rupa anak.

Kolaborasi Demi Masa Depan Anak

Sebab kodrat kanak-kanak adalah bergerak dan berfantasi untuk meraih masa depan,” demikian Ki Hadjar Dewantara berujar.

Anak adalah cermin sakti. Sebagai cermin sakti, apa pun yang memantul padanya perlu diperhitungkan. Ini PR orang tua dan guru juga lingkungan sekitar.

Sehingga AFC menimbang dengan saksama metode dan materi ajar sesuai psikologi anak dari berbagai usia dan beragam latar sosial keluarga itu. 

“Ketika kita bertindak praktis maka pendekatannya adalah kolaboratif,” begitu Dwi Winarsih menyampaikan. Dalam waktu kurang dari satu hari di sebuah Minggu, anak-anak dilatih untuk belajar dari apa yang mereka kerjakan, menemukan masalah, memecahkannya tanpa takut, melewatinya dengan bahagia. Sehingga AFC dapat menjadi ruang yang (meng)hangat(kan) bagi hubungan antara orang tua dan anak. 

Dwi Winarsih yang menaruh perhatian betul pada proses kolaborasi orang tua-anak-guru, “Keterlibatan orang tua terhadap proses kegiatan sengaja diciptakan karena pengalaman tersebut adalah sebuah hal yang baru bagi para orang tua melihat dan mengenal anak berproses berkarya, sekaligus merupakan kesempatan menambah ikatan emosional antara anak dan orang tua yang mana waktu bersama telah tersita selama enam hari aktivitas bekerja, atau barangkali para ibu zaman sekarang yang lebih banyak mempercayakan gadget sebagai media belajar anak, untuk kembali mengenal dan terlibat langsung pada proses anak belajar berkarya.”

Pameran karya anak-anak AFC seni rupa di Anjungan Taman Mini Indonesia Indah tahun
2023 (dok. Karen Hardini)

Anak Bermain dan Belajar Seni Rupa

Pengampu AFC bidang seni rupa sejak awal adalah Yuswantoro Adi dan Dwi Winarsih, sejak 2017 dibantu oleh Imam Nasrulloh, dan saya sendiri sejak 2018. Sesuai rancangan pembelajaran, aktivitas kelas seni rupa dibagi menjadi dua bidang seni pengkaryaan, yakni dua dimensi (2D) dan tiga dimensi (3D). Pesertanya anak-anak pada rentang usia 5―15 tahun dan dari berbagai latar. Generasi kiwari yang disebut sebagai warga digital native, julukan bagi mereka yang tumbuh bersamaan dengan reformasi digital bahkan sejak mereka lahir di muka bumi. Selain itu, kelas yang inklusif juga menjadi ruang bagi anak-anak penyandang disabilitas. Ihwal tersebut disadari dan menumbuhkan kesadaran para pengampu. 

Jargon “berkarya seni dengan bahagia” dijadikan patokan untuk menciptakan suasana kelas yang menyenangkan dalam proses bimbingan sehingga menghasilkan karya yang bagus.

“Secara sederhana kelas seni rupa, mengajak anak bahagia dan menikmati kegiatan berseni rupa,” Yuswantoro Adi menegaskan.

Kebahagiaan yang dimaksud bukan saja diupayakan hadir dari para pengajar kepada anak, anak yang satu dengan yang lain, juga antar orang tua dan anak. Kebersamaan orang tua dan anak memperlihatkan interaksi orang tua yang juga turut berkarya. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk inklusivitas dalam ekosistem pembelajaran AFC bidang seni rupa.

Sebagai suatu ruang belajar, kelas seni rupa memiliki semacam rancangan pembelajaran sederhana selama satu tahun, isinya adalah keterangan tema, jenis material, teknik, serta alat yang digunakan anak selama berkarya. Kedisiplinan dan kerja sama antara pendidik, peserta didik, dan orang tua anak diutamakan. Kendati gratis, para peserta diwajibkan membawa alat-alat dasar seperti pewarna krayon, spidol, car air, cat akrilik, palet, kuas, tempat cuci kuas, dan kain untuk kelas 2D. Sedangkan untuk kelas 3D diwajibkan membawa gunting, kain lap, lem putih, dan isolasi.

Bermain dan belajar seni dengan merdeka tentu saja bukan berarti anak dibebaskan sebebas-bebasnya tanpa arahan. Anak-anak dilatih untuk merdeka menentukan dan meluapkan kreativitasnya. Anak-anak diajak menjelajahi berbagai tema mulai dari “diri sendiri”, “angka dan huruf”, “lingkungan sekitar”, “kekayaan alam”, “sesuatu yang bergerak”, “alat transportasi”, “dunia bawah laut”, hingga “dunia masa depan”.

Tema-tema tersebut pada dasarnya adalah pantikan supaya anak-anak dapat lebih jelas melihat, membayangkan, dan mengimajinasikan bentuk yang ada di dalam angan mereka. Maka, keberagamanlah yang tercipta, bukan keseragaman! 

Hasil karya gambar bersama dengan media kertas (dok. Karen Hardini)

Pada kelas 2D, tema-tema itu memunculkan garis, warna, corak, dan teknik yang beragam. Semua itu diimajinasikan anak-anak melalui medan kertas dan kanvas. Sedang pada prakarya 3D, hasilnya aneka bentuk menggunakan bahan sederhana dan teknik yang bermacam-ragam. 

Hasilnya tentu saja mengejutkan. Semua berbeda. Bentuk yang tak klise dan tak seragam jadi salah satu proyeksi hasil yang diharapkan. Artinya, maksud dari kreativitas sampai pada anak-anak dan terpahami.

Respons terhadap benda temuan di sekitar menjadi materi yang penting dicermati. Lebih-lebih terkait isu lingkungan di Yogyakarta dewasa ini. Penggunaan barang-barang bekas seperti botol plastik dan kardus menjadi karya-karya yang lucu dan menarik rasa-rasanya bukan saja dapat dilihat dari bagaimana anak dilatih merespons benda tak terpakai menjadi karya, tetapi juga menajamkan kepekaan kepedulian anak untuk sadar dan empati pada lingkungan sekitar.

Dari material yang diolah oleh anak, terdapat kemungkinan untuk dihubungkaitkan dengan materi lainnya; seperti sejarah, ilmu alam, dan rasa peduli dengan lingkungan lewat bentuk-bentuk yang hendak mereka ciptakan. Ya, mereka mereka-reka kardus bekas itu menjadi “mainan” sesuai keinginan dan angan-angan manasuka masing-masing.

Karya-karya peserta dalam bimbingan ini dikumpulkan di suatu ruang, tilas tempat Museum Anak Kolong Tangga, yang kini disebut Ruang Art. Di situ, ratusan bahkan ribuan karya seni rupa anak-anak dengan beragam kisah, emosi, harapan, dan cita-cita disimpan dengan baik. Ruang itu seperti kembali menjadi museum, sebagaimana sediakala.  

Bermain di Alam Semesta

Bidang seni rupa AFC agaknya menjadi yang paling banyak diminati. Pada 2024 jumlah pendaftar bidang ini mencapai 200-an anak, dan yang diterima sejumlah 80 peserta saja. Dari 80 peserta itu, terkumpul 600 karya seni rupa hasil bimbingan selama satu tahun yang terpajang di ruang galeri utama TBY dalam Pameran dan Pentas Akhir Tahun Bimbingan Seni Anak Art for Children pada 21–23 November 2024 lalu.   

Secara rutin AFC menggelar Pameran dan Pentas Akhir Tahun Bimbingan Seni Anak Art for Children secara kolaboratif. Suatu apresiasi terhadap karya anak, sekaligus sebagai media sosialisasi kepada khalayak ramai. Di dalam pameran itu kita dapat melihat bagaimana mimpi dan ledakan-ledakkan imajinasi anak-anak yang terus menyala. Hal itu terimplementasi dari banyaknya bentuk dan rupa karya yang organik, murni kreativitas anak-anak. Imajinasi yang jujur tanpa keterikatan aturan atau logika sebagaimana nalar orang dewasa. Ibarat seekor gajah terbang di taman berbunga, apa pun menjadi ajaib dalam imajinasi anak-anak.

Play the Universe: Bermain di Alam Semesta menjadi tajuk pameran seni rupa AFC 2024. Karya-karya yang ditampilkan memiliki beragam tema, material, dan teknik. Dinding galeri diisi dengan karya-karya 2D, sedangkan karya 3D diletakkan pada pustek. Ada pula satu instalasi besar berupa piring terbang dilengkapi papier mache yang memiliki bentuk tak lazim diibaratkan sebagai alien. Objek asing yang identik dengan luar angkasa ini menjadi satu simbol yang mengasosiasikan masa depan dan semesta yang serba mungkin. Spirit masa depan berupa harapan dan cita-cita anak dengan segudang imajinasi terpancar dan memapar.

Boleh jadi ada utopis dunia rekaan di situ, tetapi ada yang jauh lebih berarti, yakni ekspresi optimis dunia ideal bagi anak-anak.

Dalam karya mereka, anak-anak bisa mencerminkan pandangan kolektif dari lingkungan atau budaya tempat mereka tinggal, tetapi juga menampilkan aspirasi pribadi, seperti cita-cita atau mimpi mereka. Anak-anak biasanya mengekspresikan gagasan mereka dengan cara yang sederhana dan intuitif, tetapi penuh dengan makna mendalam jika ditafsirkan lebih lanjut. Seperti karya-karya diorama kota masa depan yang dihasilkan anak misalnya.

Anak memikirkan betul bagaimana imajinasinya tentang lingkungan yang futuristik, kota dengan gedung pencakar langit yang unik, becak terbang, atau situasi ruang yang menggambarkan kehidupan yang berdampingan dengan teknologi dan alam. Belum lagi bahasa-bahasa rupa seperti visualisasi mesin kuda yang canggih, robot penolong, atau alat yang mempermudah kehidupan manusia juga kerap muncul sebagai ide yang natural dari dalam diri anak.

Pada saat yang sama kecenderungan karya anak seperti memiliki kehendak untuk bercerita tentang dunia yang damai dan harmonis, seperti simbol-simbol persatuan, keluarga, dan kebahagiaan universal. Juga kepedulian pada alam seperti menggambarkan pohon purba yang besar, sungai yang bersih, atau binatang yang hidup bebas tanpa ancaman, seolah-olah ingin menatap keadaan alam yang dipulihkan. Nah, dari sana terang bahwa anak-anak juga mampu menunjukkan bagaimana mereka memandang pentingnya menjaga dunia untuk generasi mendatang. Gambaran tentang masa depan yang tidak terbatas pada realitas saat ini saja, atau terkadang juga bermakna reflektif, selain juga futuristik imajinatif.

Saya melihat kalau pada dasarnya karya seni anak-anak memiliki jangkauan ide yang sangat komprehensif, liar, naif, dan kerap memunculkan simbol-simbol asing dalam tatapan orang dewasa. Karya seni anak dapat mencerminkan apa yang mereka pelajari dari dunia mereka dan bagaimana mereka ingin dunia berubah, jauh dari bayangan yang ajek dan stereotip.

Instalasi karya anak-anak pada pameran akhir tahun “Play the Universe: Bermain di
Alam Semesta” (dok. Karen Hardini)

Nah, melalui AFC potensi-potensi anak semacam itu diolah dan dikelola dengan kesadaran bersama antara pembimbing dan orang tua anak. Sebab, jika tak direspons secara positif, bisa jadi hal itu akan berdampak pada lesunya perkembangan kreativitas diri anak, yang kadang tak mendapat ruang di rumah maupun di sekolah formal. Demikianlah, AFC menjadi ruang bermain sekaligus belajar yang hadir sebagai ajang empati dan simpati. 

Dua puluh tahun AFC, rasanya penting untuk diingat dan dicatat sebagai satu trajektori, sebagai satu peristiwa dari suatu ruang, wadah, dan kanal bagi luasnya kreativitas anak-anak di Yogyakarta. Spektrumnya luas. 

Belajar seni rupa bukan sekadar soal menjadi seniman. Lebih dari itu adalah menjadi fondasi yang melandasi kreativitas, empati, komunikasi, dan pola pikir yang dapat diterapkan dalam berbagai profesi kelak di kemudian hari. Seni rupa memungkinkan anak-anak untuk memahami dunia dengan cara yang lebih berwarna. Tidak hanya soal menggambar/melukis atau membentuk, tetapi mengasah kepekaan dan kecerdasan hingga tajam.

Dari selasar sayap utara Taman Budaya Yogyakarta, semua dirangkai menjadi mungkin, untuk setiap anak-anak yang menjadi jiwa dari bidang seni rupa Art for Children. Sudah dua puluh tahun, dan sampai jumpa pada pertemuan-pertemuan berikutnya.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Karen Hardini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

chinatown | Cerita Pendek Sofiana Martha

Next Article

Meretas Ruang dan Waktu, Menuliskan Ulang Peristiwa Sejarah