Meretas Ruang dan Waktu, Menuliskan Ulang Peristiwa Sejarah 

Pertunjukan “Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia)” adalah interpretasi atas peristiwa sejarah di masa lampau sekaligus rekontekstualisasi ‘sejarah’ di masa kini.

17-24 Juni 1916. Selama sepekan, Alun-Alun Bandung berubah menjadi pasar. Ribuan orang datang, siang dan malam. Gubuk penjaja makanan dan barang kerajinan berjajar di sekeliling lapangan. Tamu-tamu undangan berlalu lalang. Masyarakat berkerumun menonton perlombaan olahraga di siang hari, sementara di malam hari mereka melihat pertunjukan wayang dan bioskop.

Halaman Taman Budaya Yogyakarta (TBY) seketika penuh sesak. Iring-iringan massa berbaju putih dengan ikat kepala hijau bertuliskan Sarekat Islam berarak membentuk barisan membawa panji-panji yang berkibaran. Tak ada gubuk penjaja makanan. Tak ada perlombaan ataupun pertunjukan wayang. Hanya ada barisan kendaraan yang terparkir dan tembok-tembok tinggi menjulang.

Utusan Sarekat Islam (SI) berdatangan dari berbagai afdeling di Jawa, Madura, Sumatera, Borneo, dan Celebes. Mereka rata-rata berusia 20-40 tahunan yang datang dengan iring-iringan dan disambut bak raja. 

Mogok mogok mogok.. 

Massa berseru-seru. Riuh rendah suara mereka ditingkahi bunyi rebana dan syair Thola’al Badru. Iring-iringan mulai masuk lokasi kongres yang dikelilingi bendera bertuliskan Sarekat Islam dengan simbol bulan sabit dan bintang. Di panggung, enam meja kayu berjajar di depan papan hijau bertuliskan Vergadering Sarekat Islam. 

Itulah pembukaan pertunjukan teater bertajuk Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia), awal Desember lalu. Sebuah pertunjukan spekulatif berdasarkan pada notulensi kongres SI di Surabaya pada 1918 dan biografi para tokoh yang terlibat, karya sutradara Shohifur Rido’i. Ini merupakan hari kelima dari rangkaian pertunjukan Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok produksi Komunitas Sakatoya, didukung oleh Kementerian Kebudayaan lewat Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan. 

Meretas Jarak: Sarekat Buruh dan Zaman Mogok

Sebagai sebuah pertunjukan spekulatif, ada dua dimensi penting yang menarik dalam pentas ini: spasial dan temporal. Keduanya memiliki tantangan masing-masing. Pada dimensi spasial, ada tantangan jarak penerjemahan Surabaya – Jogja. Sedangkan pada dimensi temporal, ada waktu seabad yang harus diretas. Kedua dimensi tersebut mula-mula diretas secara simbolik dengan kehadiran Kelompok Hadroh Bibis Bangunjiwo. 

Bangunjiwo berjarak sekitar dua kilometer dari Pabrik Gula Padokan (kini dikenal sebagai Pabrik Gula Madukismo) yang merupakan lokus pemogokan buruh pimpinan Soerjopranoto medio 1920. 

Periode pemogokan buruh pabrik gula yang dimulai dari Padokan hingga meluas di seluruh Jawa itu kemudian dicatat oleh Takashi Shiraishi (1997) sebagai Zaman Mogok. Terminologi ini merekam perlawanan berskala besar pertama dari para buruh pabrik gula yang tergabung dalam Personeel Fabrieks-Bond (PFB).

PFB didirikan oleh Soerjopranoto pada 1918 di Yogyakarta untuk menuntut kenaikan upah, pemenuhan tunjangan, dan perbaikan kondisi kerja. Serangkaian pemogokan tersebut langsung dipimpin oleh Soerjopranoto sehingga ia mendapat julukan Stakings-koning (Raja Mogok) dari pers Belanda. 

Dalam konteks itulah, Kelompok Hadroh Bibis Bangunjiwo menjadi teks penghubung antara yang lampau dan yang kini. Interpretasi atas peristiwa sejarah pemogokan buruh di masa lampau sekaligus rekontekstualisasi ‘sejarah’ di masa kini. Mengarahkan lampu sorot kepada Soerjopranoto. Bukan melulu pada Semaoen ataupun Abdul Muis yang seringkali disebut-sebut dalam catatan sejarah mengenai kongres nasional SI ketiga di Surabaya pada 29 September – 6 Oktober 1918.

Pergeseran fokus ini mengantarkan pada rentetan adegan kunci pada pertunjukan Vergadering SI: pidato Soerjopranoto, aksinya menyobek gelar Raden Mas pada kertas nama (kemungkinan mengacu pada teks penggergajian gelar RM di papan namanya) dan pertentangan ideologis di internal organisasi SI. 

Jamaludin Latif sebagai Soerjopranoto menyampaikan pidato di atas mimbar (dok. Komunitas Sakatoya)

Siang itu di amphitheater TBY, Jamaludin Latif menghidupkan Soerjopranoto di mimbar Vergadering SI. Menghadirkan persona seorang bangsawan Pakualaman yang menolak status quo, peduli pada wong cilik, dan percaya pentingnya pendidikan untuk perjuangan kaum buruh.

Sosok itu menyampaikan pidato yang berapi-api menyoal perlawanan terhadap feodalisme, kapitalisme, dan kolonialisme. Pidato yang kemudian memantik perdebatan antara kubu Semaoen yang pro revolusi yang radikal dengan kubu Soerjopranoto yang pro reformasi yang konstruktif. 

Sementara tokoh Abdul Muis, yang tercatat memiliki peranan cukup penting pada saat kongres 1918 berlangsung, tak dimunculkan. Memang melalui pendekatan reenactment, pertunjukan Vergadering SI menjadi sebuah kerja penerjemahan dan penulisan ulang. Ia merujuk pada temporalitas masa lampau tetapi tidak melulu “patuh” pada “sejarah” sebagai teks. Seperti absennya tokoh Abdul Muis dalam pertunjukan. 

Vergadering SI juga menawarkan pengalaman imersif yang memperluas perspektif penonton yang terlibat sebagai anggota kongres pasif. Penonton bisa berada di masa kini dan berupaya membayangkan bagaimana adu gagasan dan argumen yang (mungkin) terjadi di era pergerakan nasional. Namun sesekali, penonton terseret ke masa lalu dan menjadi rakyat tertindas yang menggantungkan harapan pada Soerjopranoto, Tjokroaminoto, Semaoen, Haji Misbach, Darsono, Sosrokardono, maupun Agus Salim. 

Sempat menonton pertunjukan hari kedua, saya merasa, pilihan untuk melibatkan penonton sebagai anggota kongres pasif – mulai dari ikut arak-arakan hingga kongres – di hari kelima ini merupakan strategi yang jitu.

Strategi artistik ini memberi ruang bagi penonton menjadi pelaku sekaligus mempertahankan jarak yang cukup sebagai pengamat peristiwa di atas panggung. Melalui peralihan peran dari spectator (penonton) menjadi spec-actor (penampil) – berdasarkan gagasan Boal – dan ulang-alik di antara keduanya inilah, penonton mendapatkan pengalaman yang lebih kaya. 

Teks Kongres dan Rekontekstualisasi Sejarah 

Bersandar pada notulensi kongres dan biografi tokoh, Shohifur melalui Vergadering SI mampu menjalin teks-teks tersebut menjadi satu pertunjukan yang terasa relevan dan kontekstual. Ia piawai memainkan tanda dan menginterupsi realita. 

Melibatkan Kelompok Hadroh Bibis Bangunjiwo sebagai pengiring dan pembuka kongres adalah pintu masuk yang subtil untuk mengarahkan fokus dengan tetap mengacu pada teks. Memberikan konteks perubahan kongres nasional SI Surabaya 1918 menjadi kongres nasional SI Yogyakarta 2024. Mengubah fokus dari perdebatan Semaoen vs Abdul Muis dan memberi ruang bagi pemikiran Soerjopranoto serta dinamika yang muncul setelahnya. Meskipun tentu saja, penonton telah dibekali dengan kerangka berpikir dan seperangkat pengetahuan bahwa pertunjukan ini adalah tentang Soerjopranoto, Si Raja Mogok. 

Hadirnya Kelompok Hadroh Bibis Bangunjiwo juga merepresentasikan suasana kongres dari sebuah organisasi penting di masa pergerakan nasional yang dirayakan bak pesta rakyat.

Meriah dan menyedot perhatian. Seperti bagian awal tulisan ini, mengutip gambaran kongres nasional pertama SI di Bandung sebagai sumber teks yang dapat saya akses. 

Selain itu, adegan Agus Salim usul untuk memberikan jeda saat suasana kongres mulai memanas dengan dalih kumandang azan merupakan pilihan cerdas. Entah sudah direncanakan atau terjadi secara spontan, adegan ini menjadi interupsi atas realitas tempat dan waktu, spasial dan temporal. 

Sutradara Shohifur Rido’i berperan sebagai Haji Sadili dari afdeling Sampang, Madura, sang notulen kongres (dok. Komunitas Sakatoya)

Shohifur, secara konsisten, menyertakan kedua dimensi tersebut sepanjang pertunjukan Vergadering SI. Seperti saat memanggil Muhidin M Dahlan sebagai penceramah dari masa depan saat kongres terjeda karena iqomah dari masjid sebelah. 

Secara substansi, materi ceramah yang disampaikan oleh Gus Muh sangat penting untuk rekontekstualisasi biografi Soerjopranoto sebagai bagian dari sejarah pergerakan buruh di era kolonial. Sedangkan secara bentuk, ceramah “7 Fakta Soerjopranoto” yang disampaikan dengan gaya dan bahasa populer, mampu mencairkan suasana sekaligus memberikan konteks yang lebih luas atas realitas terbatas di atas panggung pertunjukan. 

Melalui pendekatan reenactment, Shohifur berhasil memperlakukan teks sejarah sebagai sitasi dan mentransformasikannya sesuai dengan konteks, ruang, dan waktu masa kini. Bersama mesin tik tua berwarna hitam, tumpukan kertas, dan segelas kopi pekat, ia mengamati dan mencatat dari belakang, menuliskan ulang peristiwa berusia seabad sebagai peristiwa baru di atas panggung amphiteater TBY pada siang terik itu. 


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. Komunitas Sakatoya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Menatap Anak-Anak, Seni Rupa, dan Masa Depan: 20 Tahun Art for Children Bermain dan Belajar di Selasar

Next Article

Masyarakat Kelas Menengah yang Luput dari Pandangan