The Brand New Old Soul | Bagian Keempat Fiksi Sejarah Britpop

… You got to a publisher and play him your song. He says ‘I hate your music and your hair is too long. But I’ll sign you up because I’d hate to be wrong’…

Seperti kisah pembangunan lainnya di belahan dunia manapun, perdebatan tak akan ada juntrungnya. Para pembawa spanduk Save Tin Pan Alley akan mengatakan, “Tempat ini tak ada duanya di manapun! Kita harus mengembalikan kejayaan Denmark Street dan sumbangsihnya dalam sejarah musik.” Di sisi lain, para developer akan bersikeras, “Proyek peremajaan kawasan ini akan mengintegrasikan lingkungan yang tertata rapi. Tak hanya melindungi, tetapi memperkuat skena musik dan kultur di sini.”

Bukankah dalam setiap cerita, ketenaran dan keruntuhan selalu pasang surut?

Denmark Street kini menjalani fase ketiga dalam hidupnya, setelah puluhan tahun kejayaan. Ia tengah dipersiapkan menyongsong masa modern melalui pembangunan demi pembangunan. Kawasan pertokoan baru akan muncul di tengah deretan toko gitar lawas.

Tak akan ada lagi yang mengingat kios komik sci-fi yang dirombak menjadi toko keyboard Argent. Atau toko drum dan merchandise band di Nomor 28. Atau toko World of Pianos di Nomor 8.

Pada bangunan-bangunan lawas itu, melekat kisah gitar Les Paul milik Bob Marley yang rusak saat tur di Inggris. Atau Jimmy Page yang memesan gitar kustom. Atau Eric Clapton, Pete Townshend, dan Mick Ralphs yang selalu membeli instrumen mereka di toko yang sama. Atau Hank Marvin yang ikut-ikutan nongkrong di Top Gear, tetapi tak pernah membeli apa-apa.

“Dulu semuanya tentang musik,” kata Cliff Cooper, pemilik toko Rhodes Music di Nomor 22. “Sekarang semuanya terlalu sibuk dan berisik.”

Cliff akan tertawa saat mengingat kisah itu lagi. Ia gemar menceritakannya berulang-ulang, seperti saat ini.

Baca Juga: That Breakfast, We Turned Into Rockstars | Bagian Pertama Fiksi Sejarah Britpop

“Kami harus melakukan ‘transfer’ antartoko waktu itu. Uang tunai dikirim melalui pipa dan berujung di Argent. Di sana uang akan dihitung. Kemudian kami harus membawanya ke bank yang ada di sudut jalan. Untuk berjaga-jaga, kami mengirim tiga orang dengan tas yang sama. Hanya satu yang membawa uang, dua lainnya untuk mengecoh perampok,” tuturnya.

Menjelang 1990-an, Cliff punya ambisi cemerlang. Ia berniat membeli seluruh Denmark Street demi menyelamatkan sisa-sisa warisan yang ada. Harga yang ditawarkan menarik: 11 juta pound.

“Aku akan menjadikannya pusat industri musik. Semalaman aku tak tidur, terlalu girang memikirkan rencana itu. Sedikit lagi uang terkumpul, hanya itu waktu yang dibutuhkan,” kata Cliff.

“Lalu apa yang terjadi?” tanyaku.

Cliff tersenyum singkat.

“Consolidated Developments menerima proyek pembangunan ulang di Denmark Street,” jawabnya.

Tak lama setelah itu, Cliff memutuskan menjual tokonya. Pada 2006, ia pindah selamanya. Proyek pembangunan pun bergulir lancar.

***

Musik terus bergema di Denmark Street. Di antara gedung-gedung yang dibongkar, masih dapat terlihat toko-toko seperti Wunjo, Music Room, Hank’s, Sixty Sixty Sounds, Music Room and Stairway To Kevin, Rose-Morris, dan tentu saja, Regent Sounds.

Regent Sounds boleh dikata sebagai studio paling sibuk pada masanya. The Rolling Stones merekam album pertama mereka di sana. Vera Lynn sampai Black Sabbath, Petula Clark sampai Jimi Hendrix, dan The Kinks sampai Bananarama adalah sedikit dari contoh kesuksesan yang diterbitkan Regent Sounds.

Saat pertama kali menyambangi Regent Sounds, siapapun pasti akan merasa skeptis awalnya. “Studio” itu tidak benar-benar berbentuk studio rekaman, setidaknya tidak akan memenuhi ekspektasi awal para musisi tentang apa yang disebut dengan studio.

Sebuah bilik kecil di belakang, mereka menyebutnya.

Baca Juga: Weekend Classics | Bagian Kedua Fiksi Sejarah Britpop

Crispin Weir memang baru bergabung dengan Regent Sounds pada 2004. Namun enam tahun kemudian, ia mengambil alih tempat tersebut.

“Bukankah tempat itu mempesona, dengan segala sejarah dan gemerlap bintang yang ia lahirkan?” ungkap Crispin. “Di zaman itu, tak ada yang seberisik Regent.”

Sempat berubah sejenak menjadi percetakan selama beberapa tahun, Regent Sounds kembali pada kiprahnya di dunia musik. Mereka mulai menjual gitar dan segala perlengkapan instrumen musik.

Mereka menantikan kunjungan Joe Walsh yang selalu unik. Penyanyi rock itu akan berkeliling sambil sibuk mengamati. Mencoba beberapa gitar, lalu memutuskan dengan lugas, “Aku akan mengambil ini.” Mencoba satu gitar lagi, lalu mengatakan, “Tidak yang ini.” Mencoba gitar lainnya, lalu kembali memutuskan, “Aku mau ini.”

Crispin terkekeh melihat sosok legendaris yang nyentrik itu.

“Akankah ada lagi kisah-kisah menyenangkan seperti itu di Denmark Street yang baru?” katanya, melipat tangan di depan dada.

Ia tak menginginkan lebih, walaupun bisnis musik kian hari kian sulit. Komersialisasi menggempur, tetapi warisan tak boleh luntur. Didesak menggaet turis sebagai imbal balik proyek pembangunan ulang. Melindungi iklim industri demi para musisi muda. Namun berulang kali, berulang dan berulang, mempertahankan tradisi yang sama.

“Suatu saat, akan ada waktunya kami meneruskan tongkat estafet ini,” harap Crispin.

 

… Now the walls are shaking from the tapping of feet. Daytime, night time, every day. You can hear that music play. Every rhythm, every way.

Denmark Street, The Kinks

 

*) Kisah ini merupakan bagian terakhir dari 4 babak cerita fiksi sejarah Britpop karya Brigitta Winasis.

Editor: Tim SudutKantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts