Napas Mayat : Kematian Kemanusiaan

“Aku memotongnya dengan sangat rapi, membuang lemak yang tidak dipakai sehingga hanya tersisa beberapa potong daging besar saja dari kaki, dada, dan tangan. Semua jeroan dari bagian bawah sampai jantung kujadikan satu. Kupotong-potong dan kutambah bumbu dapur dan berbagai sayur mulai dari wortel, kol, buncis, dan kesukaanku kacang polong; menjadi sup mangkuk besar, siap buat disantap. Berporsi-porsi mangkuk aku ciduk dari panci sup. Berkali-kali sampai lenyap ditelan mulut.”

Ini adalah sepenggal narasi dari tokoh utama yang sepanjang cerita tak pernah disebutkan namanya dalam Napas Mayat karya Bagus Dwi Hananto. Sekilas, mungkin narasi dari adegan memasak tersebut tampak biasa-biasa saja. Tetapi, tak dapat dipungkiri bukan, bahwa ada suatu kejanggalan dalam narasi tersebut yang membuat bulu kuduk Anda meremang?

Jika memang Anda merasakannya, bersiaplah, sebab adegan tersebut hanyalah sekelumit dari rangkaian kengerian yang disajikan Bagus Dwi Hananto melalui tokoh ‘aku’ dalam novelnya. ‘Aku’ diceritakan sebagai seorang lelaki yang semasa mudanya hidup bergelimang kekayaan ayahnya, sedangkan ibunya meninggal ketika ‘aku’ masih sangat belia. Hingga suatu hari sang ayah mengalami kebangkrutan dan hidup ‘aku’ perlahan-lahan berangsur terperosok dalam gelap.

Di penghujung usia tiga puluh, ‘aku’ yang hidup sebatang kara terjebak dalam rutinitasnya sebagai buruh pabrik. Perutnya membuncit dan rambutnya yang telah rontok sebagian membuatnya mengalami kebotakan. Fisik ‘aku’ yang sama sekali tidak menarik membuat keberadaannya diabaikan, atau bahkan direndahkan dan diolok-olok oleh beberapa orang.

Muak dengan perilaku manusia, ‘aku’ membunuh orang-orang yang dirasa memandang rendah dirinya dan memasak daging mereka sebagai santapan pribadi.

Agaknya Bagus Dwi Hananto paham betul dimana letak kekuatan dari cerita yang ditulisnya. Latar tempat dalam cerita hanya dituliskan sebagai Kota A, sebab penulis memang menjauh dari fenomena sosial budaya yang terjadi di suatu daerah dan ‘bertapa’ untuk mendalami gagasannya tentang kemanusiaan secara universal.

Tokoh ‘aku’ merupakan model dari gagasan penulis. Maka, dengan sudut pandang orang pertama, narasi batin tokoh ‘aku’ terasa begitu kental dan mengisi kerenggangan yang jauh di antara adegan-adegan fisik dalam cerita.

Aku tertidur lama sekali. Dan selama ini hanya cahaya dari jendela kamar yang menampakkan wujud sebenarnya. Cahaya hangat jam sembilan pagi ketika serangga kecil dari lumut tembok meneriakkan kegembiraannya. Tuhan? Bukan. Itu adalah kematian panjang yang mesti aku jalani; kematian yang kudapat di dunia ini meskipun aku masih hidup

Kau tahu, sesungguhnya Tuhan telah mati bagi mereka yang kecewa. Bagi dirimu dan bagiku yang kita. Tidak ada apa pun di luar sana. Hanya kekosongan. (Hlm 1)

Sepanjang cerita, kita akan banyak berjumpa dengan kalimat ‘Tuhan telah mati’. Ungkapan kondang tersebut dikutip dari Friedrich Nietzche, sehingga besar kemungkinan tema dari novel Napas Mayat dipengaruhi oleh pemikiran filsuf asal Jerman tersebut mengenai Ubermensch, yaitu ‘manusia super’ yang mampu menciptakan nilai dan tujuan untuk hidupnya sendiri.

Dialog yang dicetak tebal di atas merupakan narasi dari tokoh Hitam. Sebenarnya, Hitam merupakan manifestasi dari sisi gelap ‘aku’ yang lahir karena kekecewaannya terhadap sikap orang-orang. Ketiadaan cinta kasih yang dirasakannya membuat ‘aku’ beranggapan bahwa Tuhan tidak ada dan akhirnya ‘aku’ berlaku menurut kebenaran yang diciptakannya sendiri. Sepanjang cerita, ‘aku’ seperti digambarkan bercakap-cakap dengan Hitam yang haus darah.

Jika kita membawa kisah hidup ‘aku’ ke dalam perenungan pribadi, kita akan menemukan suatu kesimpulan bahwa tindakan biadab ‘aku’ adalah produk dari rasa kemanusiaan yang telah mati. Tanpa kita sadari, ketidakpedulian kita terhadap sesama bisa mengubah seseorang menjadi ‘monster’. Satu hati nurani yang mati akan membunuh hati nurani lainnya.

Melalui karyanya yang menembus juara tiga dalam Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 tersebut, Bagus Dwi Hananto berhasil mengolah keperihatinannya menjadi sebuah cerita yang kompleks, brutal, menyimpan dendam, sekaligus indah.

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts