Novel The Plotters: Kepiawaian Un-Su Kim dan Substansi Tersulubung yang Hadir

Buku The Plotters adalah salah satu mahakarya yang berhasil membawa Un-Su Kim menjadi penulis yang disegani di Korea.


Aku Reseng, pembunuh bayaran. Hanya menghabisi orang sesuai perintah. Pilih saja caranya.
Yang cepat tanpa rasa sakit? Atau perlahan, penuh siksaan?
 

Kutipan itu akan kalian dapatkan di cover belakang buku The Plotters, karya penulis berbakat Korea, Un-Su Kim. Dari kalimat-kalimat di atas mungkin kalian sudah bisa membayangkan cerita apa yang ada di dalam buku tersebut. Iya, karena mungkin Un-Su Kim memang menggiring para pembacanya kepada kepekaan mereka masing-masing untuk kesan awal buku The Plotters ini.

Namun, terlepas dari kalimat-kalimat yang terpajang di cover buku tersebut, kalian akan menemukan segudang tanda tanya dan beragam misteri yang terungkap ketika membaca setiap halaman demi halaman. Para pembaca akan terus digiring ke tahap penasaran yang lambat laun menambah sedikit demi sedikit, sesuai dengan bab-bab yang disajikan. 

Buku The Plotters yang terbit pada tahun 2010 dan memiliki 400 lebih halaman ini adalah salah satu mahakarya yang berhasil membawa Un-Su Kim menjadi penulis yang disegani di Korea. Un-Su Kim mendapatkan penghargaan sastra paling prestisius di Korea: Wunhakdongne Novel Prize. Selain itu, pada tahun 2016 dirinya juga dinominasikan untuk Grand Prix de la Litteraire Policiere.

Bab awal yang disajikan Un-Su Kim sangatlah apik. Penulis tersebut memosisikan Reseng langsung dengan tugasnya sebagai pembunuh bayaran. Mendiami bukit dengan senapan yang dibawa, menajamkan fokus teropong serta mengokangnya seraya membidik pria tua yang sedang menyirami tanaman dengan ditemani oleh anjing Mastif peliharannya. 

Dengan awalan semacam itu, para pembaca pasti mempunyai dugaan, Reseng akan menembak mati pria tua tersebut detik itu juga. Saya pun menduganya seperti itu. Namun, dugaan pembaca kepada situasi yang dihadirkan seakan perlahan-lahan meluntur. Reseng menjadi ragu untuk menarik pelatuknya. Reseng meletakkan senapannya di tanah dengan bergumam “Sekarang bukan saat yang tepat.”

Sepertinya di sini penulis ingin berlama-lama untuk memperkenalkan pria tua tersebut. Benar saja, pria tua itu dan anjingnya menemukan tenda yang didiami Reseng, seakan pria tua itu mengetahui bahwa sedang ada yang memperhatikannya dari atas bukit. Reseng loncat dan terkejut atas kedatangan pria tua tersebut. Entah apa yang dipikirkan pria tua tersebut, ia tiba-tiba mengundang Reseng ikut ke rumahnya untuk sekadar berbincang-bincang. Malam yang hangat mereka lewati di rumah pria tua yang hampir reot. Walau pada keesokannya, Reseng tetap teguh dengan rencana yang semula, membunuh pria tua itu.

Un-Su Kim sangat piawai membuka awalan dengan sangat menarik dan juga dibubuhi perbincangan-perbincangan begitu hangat serta intim. Tidak hanya itu, penulis asal Korea tersebut terbilang berhasil membangun imajinasi pembaca dari penggambaran suasana dan tempat yang ia tuliskan. Alur yang rapi, halus dan kata-kata yang tidak berat, cocok untuk para pembaca manapun.

Sepanjang kita membaca lembar demi lembar, ternyata kejadian awal serupa tirai jendela yang terbuka, membawa sinar matahari untuk kita menemukan segala sesuatu yang tak terlihat sebelumnya. Juga semacam tali yang menghubungkan satu kejadian ke kejadian selanjutnya. Di buku tersebut diceritakan, Reseng tumbuh besar di sebuah perpustakaan yang disebut Kandang Anjing. Diadopsi oleh seorang yang bernama Rakun Tua. Reseng juga memiliki teman yang bernama Jeongan dan Beruang. Jeongan ahli dalam bidang memata-matai dan mencari informasi. Sedangkan Beruang hanya petugas kremasi untuk para daftar orang-orang yang telah dibunuh.

Rakun Tua sudah bergelut dengan dunia pembunuhan sejak Reseng masih sangat kecil. Ia menyewakan jasa pembunuh handal untuk para orang-orang kaya yang ingin menyingkirkan seseorang. Selain sosok seperti Rakun Tua yang menyediakan jasa pembunuh handal, terdapat juga orang-orang yang disebut Perencana, mereka yang merencanakan pembunuhan dan pembersihan dengan strategi-strategi yang mereka buat.

Perlahan, tidak sedikit buku ini membawa kita kepada pertanyaan apakah hierarki semacam itu memang nyata di setiap negara? Entahlah, mungkin di beberapa negara memang ada dan berlaku. Saya rasa Indonesia pun seperti itu, walau mungkin tidak seorganisir di buku tersebut. Namun memang terdapat beberapa kasus pembunuhan orang-orang jujur di kalangan masyarakat, yang tanpa kita sadari pembunuhan tersebut seperti sudah terancang sedemikian rupa.

Karena itu pula negara kita sangatlah sengsara. Kehilangan banyak orang yang berpihak kepada rakyat, orang yang mati membela kebenaran. Mereka mati di tangan orang yang haus akan kekuasaan dan jabatan, orang yang menginginkan kedudukan tinggi dan orang yang mementingkan keuntungan pribadinya sendiri. Saya sangat merasakan adanya maksud terselubung mengapa Un-Su Kim menciptakan buku ini dengan alur-alur ceritanya yang agaknya sedikit mencolok ke kehidupan orang-orang yang haus kuasa. Mereka yang rela melakukan apapun untuk menduduki posisi yang diinginkan serta menyingkirkan para musuh dengan cara membunuh. Tidak ada yang terlewatkan sama sekali. 

Bahkan Un-Su Kim meletakkan di buku ini tokoh-tokoh yang menjadi Perencana bukanlah orang yang sembarangan, bukan pria atau wanita abal-abal, bukan orang-orang yang hanya bisa omong kosong. Melainkan para ahli laboratorium, dokter-dokter, dan juga ahli-ahli dalam bidang lainnya. Merekalah Perencana-perencana yang ahli, mengatur pembunuhan seperti apa dan bagaimana untuk orang-orang yang membayar puluhan juta bahkan ratusan juta.

Itulah mengapa saya beranggapan dan menduga-duga apakah benar adanya substansi tersembunyi di buku The Plotters? Mungkinkah Un-Su Kim ingin membongkar beberapa bisnis bawah tanah yang kotor yang ia ketahui telah berlangsung lama di negaranya? Membongkar bisnis-bisnis yang sama yang ada di negara lainnya juga? Seperti para pembunuh, jasa yang menyewakan para pembunuh, Perencana yang sangat pintar, serta kursi kosong yang selalu diduduki secara bergantian oleh manusia berlimpah harta yang menginginkan seseorang dibunuh untuknya. Mungkin untuk tidak menghalangi kegiatan politisinya atau agar berkurangnya saingan. 

Meski poin terakhir dari buku ini bukan apa yang saya maksudkan. Tapi saya rasa sebagian para pembaca mempunyai gagasan semacam itu. Buku ini begitu memperlihatkan pembunuhan yang sistematis, mengatur semuanya dengan teliti agar berjalan sesuai rencana dan tidak ada yang tersisa. Para pembunuh wajib mengikuti alur yang disediakan oleh Perencana. Sekalinya berbeda, nama mereka akan berpindah ke daftar orang-orang yang akan dibunuh selanjutnya. 

Terlepas dari itu, tidakkah kita merasa aneh dengan nama-nama tokoh yang ada di buku The Plotters ini? Menurut saya itu memang disengaja. Un-Su Kim begitu paham dengan orang-orang di luar negaranya. Ia membuat nama-nama tokoh yang ada di buku The Plotters dengan sangat mudah diingat. Mengetahui bahwa nama-nama korea adalah salah satu nama yang sangat sulit untuk dilafalkan bahkan disimpan dalam ingatan. Tokoh dengan nama: Reseng, Rakun Tua, Tukang Cukur, Beruang, Pelatih, Chu, Mito, Misa, Pustakawan. Sangat mudah diingat, bukan?

Tokoh-tokoh selain Reseng dan Rakun tua akan muncul seiring berjalannya halaman. Dan latar belakang mereka semuanya. Terdapat banyak misteri yang ada di balik sebagian tokoh-tokoh, yang nantinya itu akan mengungkapkan kejadian-kejadian yang dialami Reseng dan satu sama lain. Juga alasan-alasan menyedihkan dari keterlibatan mereka dalam dunia yang kejam dan tak kenal belas kasihan.

Sejauh ini saya tak merasakan adanya banyak kekurangan di dalam buku The Plotters karya Un-Su Kim. Alur-alur yang begitu banyak menghadirkan hal-hal yang tak terduga membuatnya menjadi kelebihan yang mampu menutupi kekurangan yang ada. Mungkin para pembaca yang jarang membaca buku kriminal berhiaskan perkelahian, agaknya akan kesulitan mengimajinasikan ketika berhadapan dengan tulisan yang membangun gerak-gerak perkelahian. Mulai dari elakan, cara menusuk, dan gerakan perlawanan. Mereka akan kesulitan memvisualisasikan itu. Namun tak mudah bagi saya untuk mengatakan hal itu sebagai kekurangan dari buku ini.

 

Editor: Agustinus Rangga Respati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts