Ketika itu, saya sedang mengoreksi lembar soal siswa-siswi sambil memutar lagu lewat laptop. Sepertinya tindakan itu merupakan kebiasaan alami manusia dewasa ini ketika sedang bekerja.
Beragam genre lagu berseliweran di kuping saya; mulai dari indie remaja senja bersama kopi yang disruput di sore hari, pop melayu menye-menye yang kembali naik daun, dan berbagai genre lagu yang secara otomatis masih terkotak-kotak di balik sebuah ungkapan, “Ini tuh gw banget tau ga? Lagu lo itu sampah dah pokoknya.”
Kira-kira seperti itu. Tahulah karena saya pernah menjadi pelaku tersebut.
Singkat cerita, tibalah sebuah lagu dari Marini Nainggolan berjudul “Siklus Gila”. Sekilas tak ada keanehan dengan lagu tersebut; sebuah lagu simpel dengan alunan gitar dan perkusi yang menimbulkan nuansa riang seperti kita mendengarkan Endah N Rhesa.
Saya pun terbius “Siklus Gila” selama bekerja. Juntrungnya, “Siklus Gila” saya putar selalu–berulang-ulang.
Jika boleh mengatakan, lagu ini jelas banyak tipu muslihatnya! Di balik nuansa ceria nan riang dari aransemen lagu tersebut, nyatanya lirik lagu tersebut merupakan pisau tajam bagi kita manusia.
Jika kita perhatikan di bait satu dan dua lagu tersebut, jelaslah terlintas sebuah kredo masyarakat kiwari yaitu saya harus duluan dalam hal apapun.
Kredo tersebut dapat diwakili lagu ini. Tambah terasa saat kita menggunakan transportasi umum.
Apabila naik Trans Jakarta, sepertinya drama pura-pura tidur dengan tujuan menjaga kursi agar tak ditempati orang lain adalah wajar.
Namun, ada pula orang baik yang dimanfaatkan manusia tak tahu diri dan sok tua agar diberikan kursi. Jadi, jangan heran dengan istilah, Banyak Orang Brengsek (BOB) merupakan makanan kita sehari-hari.
Yang paling keras dari “Siklus Gila” menurut saya adalah bagian reff.
Sejujurnya saya tidak habis pikir dan justru kagum pada reff lagu ini. Apalagi bagian yang berbunyi “Semua berlagak korban, berharap dimengerti. Tanpa menyadari, mereka pelakunya”.
Buat saya makna tersebut sungguh dalam dan keras. Seharusnya juga bagi kalian yang mendengarkan lagu ini serius tanpa memedulikan pangkat atau jabatan kalian.
Buat kita orang tua, lagu tersebut dapat menjadi contoh; apakah kita ingin menerima kenyataan kalau kadang kita sendiri adalah orang yang menutup diri atas hidup yang sejatinya harus direfleksikan sampai mati? Apakah kita siap menerima suatu pernyataan kalau kita secara nyata memang melakukan kesalahan atau memberikan pilihan yang tidak baik bagi anak kita?
Jangan sampai embel-embel anak durhaka terucap hanya semata-semata ingin melindungi gengsi kita sebagai ayah atau ibu. Jangan sampai orang tua lupa diri kalau mereka juga pernah di usia muda dan seharusnya bisa memahami alasan anak bertindak seperti yang pernah dilakukan orang tua.
Sebagai anak pun jangan kira bisa berlenggang bebas seakan-akan tidak ada konsekuensi apabila bertindak dalam hal apapun dengan embel-embel pencarian jati diri sehingga nasehat orang tua diabaikan.
Tidak dipungkiri memang ada nasehat orang tua yang mungkin tidak pas untuk kita tapi ingat bahwa orang tua lebih tua dari kita. Kita akan mengalami atau merasakan hal serupa jika kita di posisi orang tua suatu saat nanti.
Memang, kehidupan berkeluarga itu kompleks karena tiap keluarga punya keunikan masing-masing. Namun, komunikasi dua arah jadi salah satu alternatif atau cara untuk hidup harmonis satu sama lain. Maukah kita sadar kalau dalam permasalahan, kita juga menjadi pelaku permasalahan tersebut?
Pada akhirnya, lagu ini merupakan serangan yang coba mengingatkan manusia untuk “Tidak Jemawa.”
Jika boleh curhat dikit, salah satu contoh nyata bahwa masyarakat Indonesia masih gengsi untuk merefleksikan diri sendiri dapat terlihat di kolom komentar Instagram.
Siklus manusia pengguna akun kedua yang sok garang dengan komentar provokatif adalah budaya normal masyarakat Indonesia.
Budaya masyarakat Indonesia adalah ad hominem; menyerang pribadi seseorang dalam suatu debat.
Dalam berdebat, merupakan kewajaran jika kita saling menyerang. Namun apa yang diserang?
Yang diserang adalah ide atau gagasan mitra bicara. Serang-menyerang tersebut juga bukan semata-mata berdasarkan kebencian, melainkan upaya mencari solusi yang mampu merangkul kedua belah pihak demi meminimalisir konflik.
Namun di Indonesia, seni berdebat adalah jika orang kehabisan ide dalam mempertahankan argumentasi, mereka dengan percaya diri menyerang pribadinya, entah mencemooh fisik, latar belakang hidup, dan sebagainya yang terlihat jelas betapa dangkal penerimaan diri atas kesalahan yang mereka buat.
Saya tak tahu apakah lagu “Siklus Gila” meledak di pasaran atau tidak. Jika tidak sekalipun, menurut saya bukan menjadi hal mengagetkan.
Bukan karena lagu ini kacangan alias nir-makna karena hanya mengejar popularitas tapi jika lagu ini belum diterima di masyarakat, itu karena memang sebagian besar masyarakat Indonesia masih minim kesadaran untuk merefleksikan diri atas kesalahan dirinya.
Saya pikir masyarakat Indonesia perlu ditonjok perspektifnya melalui hadirnya lagu-lagu atau karya seni lain dengan tema serupa.
Akhir kata:
Terima kasih Marini Nainggolan! Berkat karya anda, saya tetap diingatkan untuk tidak lupa merefleksikan diri dan tetap diingatkan jika memperbaiki diri menjadi lebih baik adalah kebutuhan, bukan kewajiban. Panjang umur segala hal baik untuk Marini Nainggolan!
Editor : Tim Editor Sudutkantin
Betul pentingnya merefleksikan diri dalam upaya memperbaiki diri. Jangan selalu merasa diri sudah baik sehingga lalai dalam menerima nasihat. Terimakasih mas atas tulisannya
Panjang umur hal” baik