Sukatani: Meretas Lantai Dansa, Merapatkan Moshpit

Desember tahun lalu menjadi ihwal yang menjembatani pertemuan pertama saya dengan grup musik yang berisikan duo post punk asal Purbalingga. Ya, mereka adalah Sukatani, salah satu pengisi acara yang berkontribusi meramaikan hari terakhir pameran Abolish The Leviathan.

Sebuah poster undangan yang tersebar di media sosial terlihat sangat menarik dengan bingkai caption yang mencolok berkata demikian –“Kalian semua diundang: kecuali fasis, rasis dan seksis. Mari kita jemput kekuatan solidaritas hari ini, bersilaturahmi, kemudian membangun perkawanan yang kelak kita rawat. Sampai jumpa di gelombang segala suar dan pastikan bahwa kita menjemput gelanggang kebudayaan kita dalam rentetan tragedi yang sudah tertulis!”- memikat saya untuk wajib mengunjungi pameran yang diselenggarakan oleh kolektif Leviathan.lish di kedai kopi daerah bilangan utara. 

Setibanya di lokasi, saya menuju venue untuk memastikan bahwa saya tidak tertinggal aksi keseruan menonton Sukatani malam itu. Untungnya, saat itu perform dari Talamariam masih tengah berlangsung. Di antara jeda menunggu, mata saya tertarik pada lapakan dengan bendera di bagian belakang penjualnya yang bertuliskan Avant Garden. Satu-satunya lapak disana yang menjual patch dan pin bernuansa Punk. Setelah melihat-lihat, saya membeli beberapa koleksi patch bertuliskan font Arab yang berbunyi “Al- Anaarkiiyah Min Al Iimaan” dengan sisipan AK-47 di antara tulisan tersebut.

Gambar 1. Foto dokumentasi oleh @malubertanyasesatdigigs
Gambar 2. Pin & Patch Avant Garden. Dokumentasi oleh @malubertanyasesatdigigs

Sembari diiringi rintik hujan, Sukatani mulai menaiki panggung sambil menjinjing alat Electronic Dance Music, saya mulai mengerutkan dahi. Saya rasa dandanan ala Punk kurang tepat jika dipadukan dengan alat musik EDM. Sesaat saya mencoba untuk bertahan menyaksikannya, sekaligus menduga-duga sajian “Post Punk” ala Sukatani yang akan mereka mainkan. Tiba-tiba seorang leader perempuan memakai balaclava berwarna pink menyeruak kerumunan sambil menggenggam secarik kertas berisi lirik lagu “Realitas Konsumerisme” sebagai mantra pembuka aksi duo ini, ritme gitar mulai mencabik telinga di tengah area moshpit yang semakin basah karena hujan kian deras menghajar kerumunan tanpa ampun. Rupanya mantra tersebut berhasil dengan baik, area moshpit semakin rapat dan khusyuk, hingga dipadati orang-orang untuk moshing dan menggila.

Terbukti hujan yang mengguyur sangat deras tak jua menggentarkan barisan penonton untuk bubar. Setelah lagu “Realitas Konsumerisme” usai, para panitia mulai melempar isyarat untuk menyudahi penampilan Sukatani. Namun raungan para penonton dan juga saya memilih berteriak “Lanjut! Lanjuutt…!!” agar menjadi pemantik energi yang membabi buta untuk menarik Sukatani kembali menyulut atmosfer yang mulai panas dengan lagu kedua berjudul “Wirasaba”. Keriuhan yang terjadi di area moshpit menjadi ajang bagi semua orang untuk saling melempar energinya dan saya menikmatinya.

Menurut saya, aksi pertunjukkan Sukatani berhasil mendistorsi nada dengan mengaransemen lagu dari alat musik EDM. Peretasan musik elektronik yang ditawarkan Sukatani mampu membakar lantai dansa yang semestinya gemerlap nan candu menjadi area moshpit yang liar dan bising. Mereka (baca: Sukatani) menjadi sebuah grup duo yang sukses membawakan warna baru dalam genre Post Punk yang mereka amini. 

Perlu diapresiasi bahwa duo penggawa ini cukup luwes dalam mengaduk lirik khas Punk “Street Punk” yang dikawinkan dengan electronic dance music dan juga karakter vokal dari sang vokalis si Twister Angel yang Hardcore/Shout. Saya menduga kalau referensi musik mereka banyak terpengaruh oleh band Anarcho-Punk 80’s serta band-band gelombang Proto-Punk yang memasukkan unsur synthesizer dalam midi instrumen. Sehingga malam itu lahirlah istilah “Post Punk Ketimuran” secara spontan. 

Kepiawaian mereka dalam merajah lirik dari keresahan terhadap situasi sosial di sekitarnya seperti sedang membingkai suatu peristiwa melalui notasi dan aransemen yang dibuatnya. Mereka juga merapalkan lagu-lagu yang bercerita tentang permasalahan kondisi sosial, budaya pop maupun politik yang layak untuk didengarkan sehari-hari. Sekali lagi, Sukatani berhasil menghadirkan Post Punk yang mengakulturasi budaya pop barat dengan mendekonstruksi melalui sentuhan lirik kritis budaya timur.

Entitas Dresscode sebagai identitas Punk

Penampilan aksi totalitas duo sejoli tersebut mengenakan atribut pelengkap saat beraksi di atas mimbar sangat ciamik. Dengan mengadopsi mazhab manifesto “Resistance in Style” keduanya terlihat serentak memakai balaclava serta menyematkan backpatch bertuliskan “Al-Anaarkiiyah Min Al limaan” serasi dengan ornamen spike yang tertanam pada seluruh battle vest menjadi sebuah penanda simbolik dari bentuk manifesto pemberontakan ala Sukatani dalam pemilihan gaya berbusananya sebagai identitas Anak Punk. 

Situasi itu mengingatkan saya pada Vivienne Westwood dengan julukan si “Mother of All Renegades”, Sosok yang pertama kali memoles Sid Vicious di atas panggung bersama Sex Pistols dan juga sepotong lirik lagu NOFX “…It’s My Job to Keep Punk Rock Elite” dari album “So Long and Thanks for All the Shoes” yang secara sederhana telah mendeskripsikan bagaimana kaum Punk mandiri dengan caranya sendiri.

***

Penampilan Sukatani terpaksa berakhir karena curah hujan dan kerumunan yang mulai tidak kondusif untuk melanjutkan acara. Semua penonton menarik diri untuk mundur dan berteduh di bagian dalam ruangan, sembari sayup-sayup suara hujan dan keramaian menyelaraskan suasana acara pameran tersebut.

*Tulisan ini sekaligus mengenang sosok Vivienne Westwood yang telah beristirahat dengan tenang. Rest In Punk!

Editor: Tim SudutKantin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Berjalan di Antara Kepungan Tembok Kota: Apa yang Dapat Diwariskan oleh Seni Grafiti?

Next Article

Panjul dalam Lakon: Resolusi