Madness on Tha Block; Dari Hulu ke Hilir, Membedah Album Chypertensi

Madness on Tha Block (MOTB) adalah kolektif rap yang terpengaruh dengan golden era boom bap di tahun 90-an. Terbentuk sebagai kolektif di Denpasar dengan semangat pertemanan sekitar akhir tahun 2016. Grup ini terdari; Kid Clique (MC), Loseyes (MC), W. Jenggo (MC), B-Radio (MC/Human Beatbox), dan ada Da Kriss (Beatmaker/DJ).

Karakter musik MOTB terbentuk seiring berjalannya grup ini dengan personil yang memiliki selera dan kesukaan masing-masing, alhasil menjadikan musik MOTB seperti perkawinan antara Buckwild DITC dengan Onyx, atau Black Moon dengan Mobb Deep. Banyak juga dipengaruhi rap seperti Da Youngstas, Rage Against The Machine, Ultramagnetic MCs, Gravediggaz, ATCQ, Rakim, J Dilla, MF Doom, Wu-Tang Clan, Da Shogunz & Blabbermouf.

Konsep dasar lagu yang diangkat selaras dengan isu-isu lingkungan hidup, kritik sosial politik, dan kekonyolan yang sedang terjadi di lingkungan sekitar. Tak mengesampingkan Bali sebagai lahan basah pariwisata dan pamer budaya, suara kami justru dibangun karena musik yang diciptakan adalah perwakilan kami dalam mengutarakan perlawanan.

361 Boombap adalah slogan atau karakter Madness on Tha Block yang sebenarnya memiliki arti. 0361 adalah kode nomer telepon daerah Denpasar sedangkan Boombap atau boom bap adalah subgenre dari rap itu sendiri yang mempunyai ciri khas padat lirik pada setiap verses, kick dan snare yang menghentak, serta bass yang keras pada bagian instrumental/beat. Jadi 361 Boombap bisa diartikan bahwa MOTB membawa boom bap dengan karakter sendiri yaitu aksen lokal Bali.

Membentuk Identitas Awal

Sebagai pembuka, saya menaruh sedikit profil pendek dari grup rap asal Denpasar yang kini sedang berada dalam pencarian identitasnya. Dengan pembukaan yang begitu singkat padat dan jelas bagi orang-orang yang paham soal genre musik rap pasti akan langsung terbayang bagaimana sejarah panjang MOTB membentuk karakter lirik dan musiknya. Namun bagi orang-orang yang jauh dari pengetahuan musik rap atau hip-hop, membaca latar belakang MOTB terasa begitu berat.

Ada banyak nama-nama yang mungkin masih awam didengar bagi telinga. Ya, mungkin saya mencoba memosisikan diri bediri pada ruang itu. Sebagai orang yang benar awam dan tidak memberi interpretasi apa-apa pada mereka, karakter yang muncul adalah sesuatu yang organik. Ketika mendengar atau melihat mereka, saya tidak pernah berpikir bahwa grup ini dibangun oleh potongan-potongan kecil idolanya, yang kemudian membentuk kolase bernama Madness on Tha Block.

Bahwa jauh dari hal itu, jika melihat Madness on Tha Block pada ruang dan momen tertentu, ada beberapa hal yang kemudian menjadi karakteristik yang bisa dikatakan itu adalah milik mereka yang tidak bisa diganggu gugat dan dicari korelasinya di grup manapun. Ada hal-hal yang organik terjadi di balik proses dan sejarah panjang proses kreatif mereka dalam scene hip-hop khususnya di Denpasar, Bali.

Tiap anggota dalam grup tersebut membawa identitas dirinya masing-masing yang memiliki kesamaan, kemudian menjadi memori kolektif bersama yang disepakati ketika di kelompok. Obrolan-obrolan ringan yang tanpa disadari itu adalah titik awal MOTB bisa mencari identitasnya sendiri; menjadi grup rap yang seperti apa kemudian.

Apakah obrolan-obrolan ketika diskusi sesama anggota itu menjadi tidak pentingkah untuk ditandai menjadi sebuah ide dan gagasan? Seolah-olah kesenian yang digeluti hari ini menjadi hal yang begitu ekslusif, tidak bisa berdampingan tumbuh dengan telinga-telinga masyarakat. Seolah musik dan lirik yang diciptakan memiliki jarak antara si pencipta dan si calon pendengar. Padahal jika dilihat, tiap anggota MOTB adalah para pemuda yang tumbuh sedari kecil di tanah Bali yang bersentuhan langsung oleh tubuh-tubuh orang Bali.

Tapi hal itu justru tidak terlihat ketika karya itu muncul ke permukaan. Identitasnya hanya menjadi tempelan atau hanya semacam potongan kecil yang disematkan dalam liriknya. Jika melihat misalnya dari album $UCKLAW, itu malah terlihat sangat jauh oleh tempat tinggalnya. Musiknya yang begitu jauh oleh telinga-telinga masyarakat Bali umumnya dan lirik yang melompat entah seolah tidak memiliki fondasi yang kokoh untuk dipegang ketika menciptakan lirik.

Bisa dikatakan lagu-lagu dari Madness on Tha Block tidak akan nyaman jika diputarkan di depan telinga tempat mereka tinggal masing-masing. Apalagi dalam profil singkat MOTB menulis bahwa dirinya adalah grup asal Denpasar, yang tumbuh di lingkungannya masing-masing. Tapi dalam penciptaannya malah hal itu tidak terjadi, tapi tidak berdosa juga jika memang MOTB ternyata memang membangun karakternya seperti itu. Itu juga sah saja terjadi, band memiliki hak yang besar untuk menyaring pendengarnya sendiri.

Tapi menyaring pendengar sendiri pun butuh proses yang begitu panjang, apalagi $UCKLAW adalah album pertama Madness on Tha Block yang jadi fondasi awal mereka. Pastinya menjadi titik awal pula untuk mengulang-alik ide-ide mereka selanjutnya. Sebagai album, $UCKLAW sukses menjadi pemantik untuk para pengulik MOTB untuk mencari tau lebih dalam lagi.

Menyibak Album Chypertensi

Beberapa waktu lalu MOTB mengeluarkan album baru, berjudul Chypertensi, yang berangkat dari kata hipertensi atau tegangan yang tinggi. Sebenarnya hampir sama dengan album pertama $UCKLAW, kata yang mempunyai arti dalam bahasa Bali “Suklau/Sakle” berarti suci. Kemudian pada album Chypertensi juga mengalami semacam alih bahasa yang diplesetkan sedikit. Dalam album kali ini saya mendengarkannya lewat rilisan fisik berbentuk kaset. Terdiri dari 8 lagu; 6 lagu di Side A, dan 2 lagu di Side B. Mengherankan bukan? Kenapa di Side B hanya terdapat dua lagu saja.

Mendengarkan album Chypertensi pertama kali tidak ada sama sekali interpretasi yang coba saya pasang di awal sebagai perisai perlindungan ketika digedorkan materi-materi di dalamnya. Saya mencoba membuka diri begitu saja, rela dirampas waktunya oleh tiap lagu yang ada dalam album tersebut.

Pertama saya mendengar lagu Jurus 8 Lengan terasa seperti digiring ke dimensi ruang dan waktu yang lampau. MOTB mencoba mengajak pendengarnya untuk menabrak ruang dan waktu, tapi tetap lewat beat rap yang karakteristik dari MOTB. Pendengar seperti sedang menyaksikan adegan adu jurus dua pendekar pada film-film jadul Indonesia.

Ini kesannya hampir sama pada album $UCKLAW ketika MOTB mencoba menabrakkan materinya dengan potongan dialog film Mahabarata. Pendekatan MOTB menggunakan potongan dialog film itu menjadi menarik, narasi apa kemudian yang ingin dibangun atau dilemparkan ke pendengarnya? Atau memang tidak ada dan tidak butuh narasi, ya memang muncul saja ke permukaan sebagai sebuah potongan yang dicomot begitu saja.

Formula-formula itu dirasa sangat menarik mungkin bagi MOTB sehingga ada kesan untuk melakukan pengulangan yang sama di album barunya ini. Cuman yang harus dibaca ulang, adakah korelasi antara karakteristik band yang sedang dibangun dengan adegan potongan dialog tersebut? Apa sebenarnya maksud yang terselip di balik potongan dialog itu? Mungkin bagi saya akan lebih menarik misalnya jika menggunakan formula yang serupa tapi tidak jauh mewakili identas dari band itu sendiri. Misalnya memakai potongan naskah wayang-wayang Bali, atau hal semacamnya.

Ketika membedah album Chypertensi saya seperti masuk ke dalam ruang yang luas, ruang yang begitu tidak jelas sebenarnya ini ruang apa. Dari 8 materi tersebut memiliki kesan yang berbeda-beda, misalnya juga dalam lagu Lotus dengan irama beat yang cukup kental dan enak didengar memberi warna baru ketika mendengarkan album ini.

Sama juga itu terjadi pada lagu terakhir berjudul Comin Thru, yang memberi kesan berbeda ketika saya memandang MOTB. Selebihnya coba teman-teman bisa cari atau dengar sendiri bagaimana lagu lainnya. Karena saya sendiri merasa masih ada persamaan bentuk dalam album pertama menuju album kedua. Dan saya juga tidak akan memaparkan secara detail apa saja yang ada dalam album tersebut, hitung-hitung agar teman-teman menjadi penasaran juga dengan album Chypertensi.

Tapi menariknya lagi ketika MOTB mengambil Chypertensi sebagai judul albumnya, lagu Chypertensi sendiri merupakan sebuah gaya baru lagu rap dalam daftar list MOTB. Lagu ini berdurasi hampir 12 menit lebih sekian, di dalamnya terdapat 4 beat berbeda yang kemudian mencoba disatukan. Sebuah satu kesatuan berbentuk kolase, seperti bentuk yang saling tempel dan tumpang tindih. Tapi tidak merubah suasana dan rasa dari tensi tinggi yang coba dibangun oleh MOTB.

Tapi ketika dilihat lebih padat lagi, ketika sudah mendengarkan kedua album MOTB, ada hal yang mungkin lupa dibangun oleh MOTB. Bagaimana ketika grup ini sedang live di atas panggung? Sungguh terasa identitas ke-Bali-annya itu ada, tapi ketika melihat karya-karya itu di platform digital, seolah apa yang dibangun di atas panggung itu sirna. Seperti memiliki ruang yang berbeda. Padahal akan lebih menarik jika aksen itu juga diangkat ke dalam karya-karya MOTB misalnya.

Kalau menonton MOTB secara langsung, teman-teman tidak hanya akan menikmati beat dan lirik yang memukau dari MOTB. Jika teman-teman berhasil masuk dan membaca grup ini, mereka tidak hanya seorang penghapal lirik dan penyanyi asal ceplas-ceplos. Mereka bukan hanya orang-orang yang menyatukan lirik dan ketukan beat yang dikeluarkan oleh sang penjaga tempo beat. Namun mereka adalah seorang performer, MC, bahkan sebenarnya mereka adalah sebuah tokoh wayang dalam tradisi mereka. Hampir seperti menonton tradisi drama gong kalau di Bali, atau menonton Bondres. Sebab drama gong sering kali membawa isu-isu sosial yang sedang terjadi namun dikemas dengan lelucon.

Sebenarnya pendekatan-pendekatan MOTB ketika sedang live ada tendensi mendekati kesenian tradisinya ketika sedang menyapa para audiens. Bagaimana MOTB mencoba mendekati dan mengendalikan audiensnya dengan metode lawakan daerah yang konteksnya hanya dimengerti oleh tubuh-tubuh Bali. Tema-tema yang dilontarkan juga terlihat begitu ringan. Lawakan tongkrongan muda-mudi Bali ketika sedang nongkrong di bale banjar misalnya atau sedang berada pada ruang tongkrongan yang melontarkan lawakan-lawakan daerah.

Memilih isu-isu daerah sebagai landasan awal untuk diolah kembali menjadi hal yang lebih ringan dibicarakan. Malah sebenarnya audiens seperti saya lebih lebih mengerti maksud dari MOTB yang dikatakan dalam profilnya, menyuarakan isu-isu lingkungan daerahnya sendiri. Jika melihat bentukan lirik-liriknya yang begitu banyak memakai metafor, perlu “cocoklogi abal-abalan” untuk mencoba mengerti dari lompatan-lompatan lirik yang dilantunkan oleh MOTB. Artinya menikmati lagu MOTB di atas panggung adalah menikmati alunan beat yang membuat tubuh tanpa sadar mengikutinya.

Hal-hal itu yang mungkin juga lupa ditempelkan dalam tiap karya MOTB ketika dilahirkan ke depan publik. Kemarin saya sempat mengobrol oleh berapa kawan personil MOTB, bahwa bagi kawan-kawan MOTB mereka terbiasa dari kecil bahkan hingga saat ini masih hidup dalam lingkungan lawakan pergaulan di tongkrongan muda-mudi Bali.

W. Jenggo mengungkapkan, bahwa teman-teman di MOTB akan selalu ada segelintir orang yang mengejutkan suasana dengan lawakan ringannya dalam ruang manapun. Seharusnya mungkin itu bisa menjadi titik awal MOTB bersikap dalam memilih karakteristik, ketika teman-teman band lainnya terlalu serius dalam bermusik maka hadirlah sang tukang banyol nan kritis bernama MOTB.

Itu mungkin yang menarik ketika melihat MOTB yang tumbuh dalam lingkungan dan budaya yang urban, antara bingung menghadapi modernisasi dan keresahan tiap individunya menghadapi tradisi dan identitas mereka sendiri. Mendengarkan karya MOTB di platform digital dan secara live itu sangat-sangat berbeda.

Bagaimana saat live MOTB selalu memakai narasi atau membawa embel-embel ke-Bali-annya. Bahkan pada waktu lalu saya sempat menyaksikan MOTB live dengan membawa lawar. Lawar adalah makan khas daerah Bali yang tentu sudah sangat terkenal di kuping-kuping pecinta kuliner. Hal-hal semacam itu yang membentuk MOTB bukan semata-mata hanya sebuah kelompok musik rap, tapi bisa jadi mereka adalah cerminan budaya urban anak-anak muda di Bali hari ini.

Misalnya dalam album Chypertensi, ada salah satu lagu berjudul Alexander Trance [Skit]. Itu adalah sebuah banyolan sederhana yang direkam oleh teman-teman MOTB, yang pembawannya hampir mirip ketika MOTB sedang di atas panggung. Mendengarkan lagu ini saya seperti dibawa ke dalam ruang yang khusus untuk menertawakan hal-hal serius nan mistis di Bali. Dengan dialog pendek dan diulang-ulang menggunakan bahasa Bali, serta dengan pengucapan yang cepat tapi intonasi yang jelas berhasil membuat saya tertawa dan paham apa yang diucapkan.

Mendengar lagu Alexander Trance [Skit] adalah sebuah penurunan tensi dalam album Chypertensi. Letak lagu ini berada pada bagian tengah album, jadi sangat menarik setelah mendengar hal-hal yang begitu serius di lagu-lagu awal akhirnya dipertemukan oleh lagu ini. Saya terus berharap ketika pertama kali mendengarkan album Chypertensi, adakah di penghujung track-nya hal serupa yang mirip dengan celotehan lagu Alexander Trance [Skit]. Lagu ini bagi saya adalah representasi MOTB secara karakteristik di atas panggung, hanya saja mungkin bisa ditempelkan sedikit beat agar lebih menarik.

Namun Alexander Trance [Skit] cukup mengobati rindu saya untuk saat ini ketika sudah lama tidak menyaksikan Madness on Tha Block secara langsung. Di tengah situasi yang serius, ketat, bahkan tidak jelas begini mendengarkan album Chypertensi sangat membantu dan bahkan menghibur saya, terlebih pada banyolan ke-5 pada bagian Side A. Pokokne Alexander Trance, mantep ci ee!!!

Album Chypertensi dirilis oleh Def Bloc berbentuk fisik kaset. Def Bloc sendiri adalah kolektif lintas pulau yang tersebar di banyak kota besar seperti Medan, Jakarta, Bogor, Bandung, Jogja, Bali dan masih banyak daerah lainnya. Secara tidak langsung Def Bloc berada di bawah payung Grimloc Records dan berfokus merilis album-album dengan mandiri.

Kebetulan saya kebagian rilisan fisik album Chypertensi ini, saya sangat merekomendasikan ini untuk didengar terlebih ketika teman-teman tertarik mengulik musik rap atau hip-hop di Denpasar. Madness on Tha Block bisa menjadi salah satu rekomendasi yang menonjol untuk saat ini dalam ruang lingkup scene di Denpasar. Telebih lagi menyaksikan mereka secara langsung adalah sebuah hal yang tidak boleh dilewatkan untuk menyaksikan bagaimana setiap MC-nya memanjakan telinga teman-teman.

Salam 361 Boombap untuk Alexander Trance!

 

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Dewi Andriani

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Menyingkap Simbol Peradaban Masa Lalu dalam Pameran Asana Bina Seni 2021

Next Article

Menelusuri Dimensi Hardcore di Channel Hate5six