Tengaraan; Menarasikan Isu Lingkungan Kalimantan dalam Tubuh Tari

Tengaraan; Menarasikan Isu Lingkungan Kalimantan dalam Tubuh Tari

Berangkat dari keresahannya mengenai isu eksploitasi batu bara dan parkiran kapal tongkang di Kalimantan, Ari Ersandi menggagas sebuah karya tari bertajuk Tengaraan. Kata ini dikutip dari bahasa Bahau yang memiliki arti bercerita. Seperti diketahui, isu lingkungan kerap menjadi wacana populer saat ini. Tentu saja gagasan ini mengusik pandangan saya tentang bagaimana fenomena permasalahan lingkungan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan kapitalisme yang kian mengikis kebudayaan lokal mampu dituangkan oleh sang koreografer sekaligus penampil ke dalam tubuh pertunjukan.

Jika diamati dengan saksama perbendaharaan gerak tubuh penampil seperti menggali kembali pengalaman empirisnya. Hal ini untuk membekali proses kreatif tubuh yang bermigrasi menjadi narasi guna menciptakan berbagai bentuk simbolik dalam tarian.

Dilihat dari segi artistik, bagian visual panggung keseluruhan disajikan begitu sederhana. Panggung dihadirkan tanpa bidang dengan properti dua utas tali yang menjalar di sisi samping. Visualisasi dua lampu spot yang sudah dimodifikasi menjadi semi lampu topong ditambah untuk memperjelas titik gerak dalam panggung.

Baca juga: Manik Bumi Puas Gelar Acara Ramah Lingkungan dan Bebas Sampah

Pemilihan nuansa warna gelap terasa sesak. Tampaknya, penampil ingin memanifestasikan suatu energi yang kerap dirasakannya selama proses kreatif berlangsung. Untuk bagian audio visual, terasa sangat dinamis, transisi dari iringan langgam musik etnik ke dalam musik eksperimental sangat kentara, sehingga menghasilkan gerak tubuh yang kontras. Tak hanya itu, pemilihan kostum hitam putih ternyata mewakili entitas burung enggang yang disakralkan suku Dayak.

Sejak awal pertunjukan, sepertinya penonton sengaja digiring untuk meraba pertunjukan tanpa sinopsis. Namun, saya melihat beberapa penonton cerdik tengah menyaksikan cuplikan video perihal ide dan konsep yang digarap melalui akun media sosial sang penampil sembari menonton.

Iringan langgam musik etnik mengawali pembukaan pertunjukan. Penampil lalu memasuki panggung menggunakan topeng sebagai simbolisasi pengikat identitas pada gerakan tari yang diadopsi dari bentuk tarian ritual topeng Hudoq. Setelah itu, performer keluar – melepas topeng – dan kembali mengeksplorasi tubuhnya dengan mencoba menubuhkan dirinya dan mengekspresikan dirinya menjadi tubuh bahasa sehari-hari dan menarasikan tubuh tradisi – identik dengan Kalimantan- yang dibenturkan oleh problematika manusiawi.

Kedua utas tali properti yang -saya interpretasikan sebagai simbolik kapal tongkang pengangkut batubara- diekplorasi menjadi ekspresi gelombang-gelombang ketidaksadaran maupun kepasrahan atas nama materiil kepada masyarakat lokal terhadap perilaku menerima eksploitasi yang terjadi selama ini.

Baca juga: Merayakan Bercinta dengan Melbi di Yogyakarta

Kemudian pertunjukan diakhiri dengan gerakan “seperti menghilang” ke dalam gelap, sangat membingungkan, tetapi saya membaca ini seperti kepenatan sang penampil yang tidak menemukan solusi atas permasalahan dan kepasrahan yang terjadi. Sebagai catatan, pertunjukkan ini berdurasi selama kurang lebih 30 menit. Akhir kata untuk menutup tulisan ini, penulis meminjam pernyataan dari seseorang, “Bahwasanya tari itu ternyata bersinggungan erat dengan konsep-konsep kehidupan”.

 

Editor: Agustinus Rangga Respati

Foto: Media Setiadji / Ari Ersandi, seorang seniman tari, menampilkan pertunjukan bertajuk Tengaraan di Kelas Pagi Yogyakarta (11/02/2020).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts