Mempertanyakan Esensi Kehidupan: Ulasan Album ‘Life is But a Dream…’ Avenged Sevenfold

Eksperimentasi musikal Avenged Sevenfold pada album “Life is But a Dream…” membuatnya menjadi album yang hanya bisa dinikmati oleh para penggemar setia.

Sebelum saya mulai mengulas, saya perlu katakan dahulu bahwa saya adalah penggemar band Avenged Sevenfold sejak saya masih SMA ketika mereka merilis album “Nightmare”. Ketika itu para anggota band masih dalam masa berkabung atas kematian drummer mereka James Owen Sullivan yang dikenal dengan sebutan The Rev.

Kematian The Rev sangat berpengaruh terhadap keseluruhan band. Dalam sesi interview, band ini menyatakan bahwa mereka sempat mempertimbangkan untuk bubar, meskipun akhirnya memilih untuk terus berkarya. Album “Nightmare” pun diselesaikan dengan drummer pengganti Mike Portnoy, penggebuk drum Dream Theater dalam sesi perekaman album.

Cinta saya pada band ini meluas hingga saya pun mendengar album-album mereka yang sebelumnya, bahkan bisa dibilang saya jatuh cinta pada album mereka yang paling jarang dibahas. Saya mendengar album pertama mereka, “Sounding the Seventh Trumpet” setiap malam meskipun saya tahu album kedua mereka “Waking the Fallen” adalah album yang lebih bagus secara musikal. Saya memilih album pertama mereka karena musik mereka di album tersebut mengesankan semangat anak-anak muda yang baru pertama kali masuk ke industri musik dan merekam album perdana.

Genre metalcore yang ada pada kedua album pertama mereka bisa dibilang adalah gerbang yang saya pakai untuk mendengar band-band metalcore lainnya, sehingga saya pun mengetahui band-band semacam As I Lay Dying, Asking Alexandria, War of Ages, dan masih banyak lainnya.

Ketika suatu band terus berkembang dan melahirkan album-album baru, para musisi cenderung melakukan eksperimen terhadap musikalitas mereka, hingga mengubah genre mereka sendiri. Saya kasih contoh band Avenged Sevenfold yang kedua album mereka adalah musik metalcore, tetapi berubah menjadi hard rock di album-album mereka yang selanjutnya.

Contoh lain adalah band Asking Alexandria yang bergenre post-hardcore di album pertama, kemudian berubah menjadi genre metalcore di album-album selanjutnya, dan akhirnya terus berubah hingga pada saat artikel ini ditulis band tersebut menjadi band hard rock.

Album “Life is But a Dream…” yang dirilis pada bulan Juni 2023 juga merupakan salah satu contoh eksperimentasi Avenged Sevenfold. Di album ini mereka bereksperimen terhadap genre rock itu sendiri, bahkan mencoba membongkar batasan genre rock dengan merekam musik yang tidak biasa dalam norma genre ini.

Album “Life is But a Dream…” (dok. Antonius Wendy)

Dunia Palsu Serba Plastik

Menjelang perilisan album “Life is But a Dream…”, Avenged Sevenfold sempat mengunggah tiga video di kanal YouTube resmi mereka. Video pertama berjudul Birth, disusul video High School, dan video Real Life. Masing-masing tayang berurutan setiap hari pada tanggal 18-20 September 2023.

Ketiga video tersebut mempertontonkan permainan boneka plastik yang lengkap dengan narasi dan dialog dan dibalut dengan humor yang terkesan kasar. Video-video tersebut mengisahkan pengalaman sang protagonis wanita yang baru lahir hingga ia sudah dewasa dan memiliki kehidupan sendiri.

Reaksi terhadap ketiga video tersebut, seperti yang saya baca di kolom komentar, sangat bervariasi. Ada banyak orang yang merasa bingung dan salah satu netizen merespons dengan gurauan bahwa para anggota band “telah menjadi gila” dikarenakan pandemi Covid-19 hingga mereka bermain dengan boneka. Saya terkekeh pelan membaca gurauan tersebut.

Ketika album ini sudah dirilis, pada bulan September 2023 Avenged Sevenfold merilis video musik resmi mereka untuk lagu yang berjudul Mattel. Akhirnya makna keberadaan tiga video sebelumnya pun terungkap: yaitu sebagai prolog untuk video musik resmi lagu Mattel. Video ini masih melanjutkan kisah sang protagonis boneka yang hidup di dunia boneka plastik.

Dalam video tersebut sang protagonis melakukan kegiatan sehari-hari dengan bangun pagi, kencing dan BAB, mandi, say hello pada tetangga, dan mengamati dunia di sekitarnya. Video tersebut melakukan repetisi terhadap narasi yang sudah ada. Sang protagonis bangun pagi, kencing dan BAB, dan seterusnya.

Hal ini juga tercermin pada lirik lagu yang dibawakan: “dedicated loop / same year after year”. Pada akhirnya, sang protagonis pun tidak tahan lagi dengan repetisi yang ada dan video tersebut berubah sangat kontras dengan latar belakang berwarna merah dan penuh imaji yang agresif. Hal ini juga tercermin pada lirik lagu yang dibawakan: “Now I know this might sound crazy / But I’ve smelled the plastic daisies / And it seems we’ve found ourselves / In Hell”.

Sang protagonis yang sudah tidak tahan karena merasa terperangkap dalam repetisi dunia serba plastik tersebut pun melakukan percobaan bunuh diri meskipun gagal. Saya rasa tidak perlu menceritakan lebih lanjut apa yang terjadi setelahnya karena para pembaca bisa menonton sendiri video tersebut di kanal YouTube resmi Avenged Sevenfold.

Kami Mencintaimu

Ada dua lagu yang menurut saya sangat menarik untuk dibahas karena memiliki makna tematik yang berdekatan, yaitu lagu Game Over dan We Love You.

Lagu Game Over, mengisahkan seorang protagonis yang melalui proses kehidupan dan berakhir melakukan bunuh diri. Bait pertama penuh dengan imaji anak-anak seperti nurture, loving, teacher, buddy, secret, fairy, pillow. Lirik di bait berikutnya menunjukkan sang protagonis merasakan kehampaan dalam hidupnya, dengan lirik “Days are fine and come on time / But years leave with nothing to find”.

Bait kedua dipenuhi dengan imaji pubertas dan menuju masa kedewasaan seperti changes, hormone, high school, threesome, party, fiighting, wasted, summer. Semuanya dinyanyikan dengan nada-nada menghentak dan tempo yang cepat, seperti kehidupan yang bergulir cepat.

Namun menjelang akhir lagu, liriknya menujukkan tanda-tanda depresi dengan nada-nada yang sangat lambat dan lirik yang berbunyi “It strikes that I don’t belong here anymore / As I observe my own reflection, try a happy face”. Ketika menyanyikan bagian ini, ada nada dan hawa kepedihan yang terasa dari vokal M. Shadows. Lagu ini pun diakhiri dengan narasi bunuh diri dengan menggantung diri di pohon dan berakhir dengan kalimat “Can’t you see / Life is but a dream, anyway?

Lagu We Love You adalah lagu yang sangat unik dalam segi musikal, sebab musiknya memberi kesan seolah-olah sedang membangun sebuah klimaks sejak awal lagu. Lirik lagu ini penuh dengan imaji ambisi seperti “Build out / Build fast / Build strong / Build vast” yang dinyanyikan di bait pertama.

Pada bait kedua, terjadi perubahan dengan imaji glamor yang disisipkan dengan penggunaan NAPZA seperti “More power / More pace / More money / More taste / More sex / More pills” dan juga “More hits / Morphine / More speed / More drive / More self / More time”. Lagu ini pun mencapai klimaks di penutup lagu dengan lirik “And we love you”.

Ketika menyanyikan bagian klimaks, vokal M. Shadows terkesan tenang. Bagian ini juga terkesan sangat kontras dengan seisi lagu dikarenakan ketenangan yang dirasakan dan gitar yang tidak lagi berdistorsi, tetapi melantunkan nada-nada yang tenang. Oleh karena itu, lagu ini memberikan kesan bahwa sang protagonis adalah seseorang yang sangat ambisius dan mencapai kesuksesan finansial, tetapi ingin merasakan kenikmatan yang lebih dengan seks berlebihan, penggunaan obat-obatan serta morfin.

Sang protagonis yang bunuh diri di lagu Game Over pastinya akan ditangisi dan dirindukan oleh kerabat dan keluarga, sedangkan sang protagonis yang menjadi pecandu kenikmatan di lagu We Love You juga akan mendapat perhatian dari kerabat dan keluarga seperti yang disampaikan pada akhir lagu. Kedua lagu ini penuh dengan eksperimentasi musik sebagaimana lagu Game Over adalah permainan tempo sedangkan lagu We Love You adalah tentang membangun klimaks.

Penjelajahan Alam Semesta

Ada lagu yang sangat menarik untuk dibahas, yaitu lagu berjudul Nobody. Video musik resmi lagu tersebut juga direkam dengan teknik animasi stop-motion. Lagu ini juga dekat dengan lagu lain yang berjudul Cosmic secara tematik.

Nobody adalah lagu yang sulit dipahami untuk para pendengar awam (termasuk saya) dikarenakan makna filosofis yang sangat dalam. Sebagai contoh, lirik “I’m the God / I’m awake / I’m the one in everything” yang disusul dengan “I’m alive / I’m the dead / I’m a man without a head”. Video musik resmi lagu ini menunjukkan seorang protagonis yang melakukan perjalanan spiritual dan menjelajahi dunia di sekitarnya yang penuh dengan tekanan.

Lagu ini mencapai chorus ketika sang protagonis mengamati alam semesta yang hampa, dibarengi dengan lirik “And see / I see, I see / Nobody”. Pada bait kedua, sang protagonis tetap melanjutkan penjelajahan dan menemukan dunia di sekitarnya yang penuh dengan kehancuran dan kekerasan. Ia pun dibawa dengan kereta kuda menuju suatu dunia yang penuh keindahan tanpa siapapun yang hidup di dalamnya, dibarengi dengan lirik yang menujukkan bahwa sang protagonis ingin membebaskan diri.

Ketika sampai di dunia yang indah tersebut, ia malah menemukan bahwa semua keindahan di sekitarnya bersifat artifisial alias palsu karena adanya barcode di setiap objek, menyiratkan bahwa semua keindahan itu dibikin oleh manusia dan bukan hasil ciptaan yang alami.

Lagu Cosmic adalah lagu yang lebih gampang dicerna. Lagu ini merupakan lagu favorit saya karena musik yang terkesan melankolis. Struktur lagu ini juga non-tradisional dikarenakan oleh bait pertama yang langsung disusul dengan bait kedua sebelum menuju chorus yang memiliki dua tahapan dengan musikalisasi berbeda. Synyster Gates memainkan solo gitar yang sangat megah di lagu ini, kemudian disusul dengan permainan piano yang menimbulkan kesan melankolis.

Chorus pun dinyanyikan berlatar piano, sebelum dinyanyikan ulang untuk kedua kalinya dengan latar musik yang lebih intens dengan penggunaan synthesizer. Lirik lagu ini sangat berkesan, seperti “Dancing in the wind / As roses born again / There you’ll find me / Before the dawn of man / In castles made of sand / There you’ll find me / Writing in the caves / As fire lights the way / There you’ll find me”. Imaji keindahan yang terdapat di lirik lagu ini juga selaras dengan lirik di penutup lagu yang mengisahkan bahwa sang pendengar dan sang penyanyi telah saling mencintai dalam banyak kehidupan, dan keduanya akan bertemu di malam yang baik.

Sang protagonis yang ada di lagu Nobody melakukan pencarian makna dengan melakukan penjelajahan spiritual, sedangkan lagu Cosmic juga mengisahkan pencarian di antara si ‘aku’ dan ‘kamu’. Kedua lagu ini memiliki persamaan tematik, yaitu penggunaan imaji alam semesta. Perbedaannya adalah lagu Nobody bersifat pesimistik dengan alam semesta yang telah dirusak oleh manusia sedangkan lagu Cosmic bersifat melankolik dengan lirik penuh ungkapan-ungkapan cinta dan keindahan sebelum adanya peradaban manusia.

Kreator dan Kreasi

Ada tiga lagu di album “Life is But a Dream…” yang secara sengaja dibuat dekat dari judulnya, yaitu lagu G, (O)rdinary, dan (D)eath. Ketiga lagu ini jika dilihat dari penggunaan huruf besar akan memunculkan huruf ‘GOD’ yang berarti ‘TUHAN’ dalam bahasa Indonesia.

Lagu G seolah mengambil perspektif dari Tuhan dikarenakan imaji mengenai tujuh hari penciptaan. Lagu ini juga terasa spesial dikarenakan intro lagu yang terasa sangat berbeda, seperti bukan musik Avenged Sevenfold pada umumnya. Ketika saya scrolling kolom komentar di YouTube, seorang netizen bahkan mengatakan bahwa intro lagu ini terasa seperti musik Dream Theater.

Lihat saja lirik lagunya di bait pertama yang berbunyi “I am the man / Six days of bullshit, a wave of my hand” dan juga di bait kedua yang berbunyi “On the seventh day, I thought about world peace, but I decided just to take it off”. Lirik-lirik tersebut memiliki konotasi yang negatif mengenai Tuhan, seolah ‘six days of bullshit’ menyiratkan bahwa Tuhan tidak menghargai dunia ciptaannya dan ‘I thought about world peace but I decided just to take it off’  menyiratkan bahwa Tuhan sempat mempertimbangkan untuk menciptakan dunia yang damai akan tetapi menolak pertimbangan tersebut.

Lagu (O)rdinary seolah mengambil perspektif dari hasil ciptaan. Hal ini dikarenakan sang protagonis dalam lirik ini menginginkan kendali dan nyawa. Lihat saja liriknya yang berbunyi “Will you give me my own soul? / Will you let me take control? / I wanna see the things that you see / I wanna be the human you be”. Perspektif ini juga semakin ditekan di chorus lagu yang menunjukkan bahwa sang protagonis ingin bisa memiliki mimpi dan bagaimana rasanya untuk merasakan perasaan-perasaan manusiawi. Menjelang akhir lagu, sang protagonis menunjukkan bahwa ia memiliki rasa cinta terhadap penciptanya, seperti liriknya yang berbunyi “Can you feel my love? / Can you feel my love?”

Lagu (D)eath adalah lagu bertempo lambat dengan nada-nada yang tenang. Bait pertama mengisahkan sang protagonis yang bermimpi bangun pada pagi hari dan melakukan aktivitas seperti biasa, tetapi ada sedikit kejanggalan: ia menulis hal-hal yang ingin disampaikan dan menyimpannya di perapian. Bait ini diakhiri dengan sepenggal lirik “And in my dreams, another day” yang menyiratkan bahwa setiap mimpinya adalah hari-hari berikutnya. Bait kedua mengisahkan sang protagonis yang bermimpi mengamati kota dari kejauhan di suatu tepian sebelum melompat ke dalam kegelapan. Bait ini diakhiri dengan sepenggal lirik “And in my dreams, I fly away” yang terbuka untuk interpretasi para pendengar lagu tersebut. Lagu ini pun diakhiri dengan orkestra yang semakin intens.

Ketiga lagu ini disusul dengan lagu terakhir berjudul “Life is But a Dream…” yang merupakan lagu instrumental piano dan dimainkan oleh Synyster Gates.

Album “Life is But a Dream…” (dok. Antonius Wendy)

Album untuk Penggemar Setia

Yang paling berkesan di album ini adalah permainan Synyster Gates. Ia sangat luar biasa sebagai gitaris dan bahkan juga pianis seperti yang ditunjukkan di lagu instrumental piano terakhir. Ketika membaca booklet yang ada di rilis fisik album, saya menemukan tulisan yang menyatakan bahwa Synyster Gates memiliki peran paling besar dalam perekaman album ini dikarenakan kontribusinya di banyak lagu dengan berbagai instrumen yang berbeda.

Vokalis M. Shadows juga menunjukkan kembali nyanyian teriakan yang sudah lama tidak ia lakukan. Teriakan ini dilakukan di lagu berjudul Mattel ketika ia meneriakkan kata “hell” yang terdapat pada chorus lagu tersebut.

Meskipun saya mengapresiasi album “Life is But a Dream…” ini, tetap saja album ini bukan tanpa cela. Sebagai contoh, lagu Beautiful Morning adalah lagu yang bagi saya terasa kacau dikarenakan perubahan suasana lagu dan lirik yang tidak konsisten. Lagu ini adalah lagu yang spesial dikarenakan adanya sepenggal lirik yang ditulis oleh The Rev pada zaman mereka masih bermain dalam band Pinkly Smooth.

Akan tetapi keseluruhan lagu tersebut tidak lagi terasa spesial dikarenakan kekacauan musikal yang ada dan keseluruhan lirik lagu yang tidak konsisten ataupun mengesankan apa-apa. Lagu Beautiful Morning dilanjutkan dengan lagu Easier yang bagi saya merupakan lagu yang lebih bagus dibandingkan dengan lagu sebelumnya, akan tetapi kualitas lagu ini tenggelam di antara lagu-lagu lainnya yang lebih berbobot.

Genre rock yang diusung di album ini terkesan sangat eksperimental. Banyaknya perubahan suasana lagu membuat album ini butuh waktu untuk dicerna dan bisa dinikmati pendengarnya. Album ini sangat jarang dibahas oleh para penggemar Avenged Sevenfold yang masih berkutat dengan album “Self-Titled” (2007) dan “Nightmare” (2010) yang menjadi dua album pada masa kejayaan band tersebut.

Di sisi yang lain, saya kagum dengan artwork yang didesain oleh Wes Lang di album ini. Jika Anda mendengar album ini di platform YouTube dan Spotify, hampir setiap lagu memiliki visualisasi resmi terkecuali lagu Nobody yang hanya memiliki video musik resmi tersendiri. Lagu “Mattel” juga memiliki video musik resmi, tetapi juga memiliki video yang menggunakan visualisasi resmi.

Pada akhirnya, saya merasa bahwa album “Life is But a Dream…” bukan untuk semua orang. Eksperimentasi musikal yang dilakukan oleh Avenged Sevenfold terhadap album ini membuatnya menjadi album yang hanya bisa dinikmati oleh para penggemar setia band tersebut dan para penggemar musik yang tidak konvensional.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Warner Music

0 comments
  1. Terima kasih untuk ulasannya, sepakat sih memang Album ini adalah karya eksperimental dari A7x, saya jg baru bisa menikmati lagu Nobody setelah mungkin 10x mengulang-ulang lagu ini. Saya ibaratkan mereka sudah mendapatkan puncak kesuksesan dan sekarang saatnya mereka mengeluarkan karya-karya yang cenderung idealisme mereka namun dengan sebuah kedewasaan (wise) dalam karya. Seperti pada lagu Cosmic yang seolah menggambarkan perjalanan spiritual. Dan sebenarnya karya eksperimental mereka sudah di mulai dari album The Stage dan yang paling mencolok di lagu Exist.
    salam kenal dari Fans Avenged sejak tahun 2004

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts