Pameran ‘Life of Our Years’: Merenungi Kecemasan pada Wajah-Wajah Bergeming

Melalui pameran “Life of Our Years”, membicarakan kegelisahan yang dirasakan oleh generasi muda hari ini jadi jalan ninja untuk membangun kesadaran dan menumbuhkan ide-ide positif di masa depan.

Barangkali salah satu cara untuk memulai perjalanan baru adalah dengan mengingat dan mencatat apa saja yang telah dikerjakan sebelumnya. Dengan begitu, tafsir akan capaian di masa depan bisa ditarik garisnya mulai dari sesuatu yang telah dimulai. Kurang lebih begitulah LAV Gallery mempresentasikan pameran terbarunya di awal tahun 2024 berjudul “Life of Our Years”.

Koleksi karya terkurasi terpampang di dinding mengelilingi setengah ruangan yang disekat menjadi tiga bagian. Wajah-wajah bergeming dalam lukisan lebih dulu menampakkan diri di ruang pertama. Suasana yang tenang, dinding putih bersih, dan karya seni yang cenderung penuh warna menjadi perpaduan yang memanjakan mata untuk melihat lebih dekat. 

Pameran “Life of Our Years” telah berlangsung sejak 13 Januari 2024 lalu di LAV Gallery, Yogyakarta. Terdapat 18 seniman yang terlibat di dalamnya, di antaranya Adwin Lambert, Ryan Kusuma, Aziz Nur Totox, Susiyo, Sogik Prima Yoga, Bio Andaru, Eric Pradana, Rawraw, Valdo Manullang, Yula Setyowidi, Ramadhan Arif Fatkhur, Avita Risqi Vilanda, Tonerin, Alfian Tirta Kurnia Pratama, Muhammad ‘Aqil Najih Reza, Landha Bellamora, Rumondang, dan Salvador Lee.

Pameran “Life of Our Years” di LAV Gallery (dok. Sudut Kantin Project)

Sebagai siasat untuk memulai putaran waktu setahun ke depan, masing-masing seniman menampilkan karya terkurasi dengan tema kesadaran emosional. Lewat seni, ada keyakinan tentang perasaan yang coba diungkapkan dalam wujud lain.

Meskipun galeri memberikan suasana yang cukup tenang dengan keberagaman karya di dalamnya, tetapi ada “wajah-wajah bergeming” yang menempel di dinding yang menatap siapapun yang melewatinya. Wajah-wajah ini, sekilas mengingatkan saya tentang perasaan cemas yang tertimbun di dalam diri. Kecemasan, dapat diartikan sebagai bentuk respons tubuh atas situasi yang dianggap mengancam, atau mungkin cara bertahan tubuh yang lain atas sesuatu yang tak dimengertinya. 

Perasaan ini lalu secara tak langsung muncul dalam berbagai tingkat intensitas yang dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik seseorang. Kehadiran seni, termasuk seni visual, musik, dan tari, bagi sebagian orang diyakini mampu memberikan dampak psikologis untuk meredam atau melepaskan perasaan yang ada dalam diri.

Dalam pameran “Life of Our Years”, misalnya saja karya berjudul Key of Me dan Peace Yourself yang dilukis oleh Avita Risqi Vilanda. Tatapan dengan pandangan yang lurus ke depan seakan hendak membagikan perasaan kepada siapapun yang memandangnya. Juga bagaimana misalnya seniman Salvador Lee melukis karakter-karakter dalam wujud empat mata di karya Escaping Reality dan Feast for the Ghost of the Past. Bentuk luapan perasaan kemudian juga coba direpresentasikan dalam bentuk jantung yang menempel di pohon; semacam pohon yang ditumbuhi oleh ragam jantung di batangnya.

Escaping Reality karya Salvador Lee

Atau ada juga seniman Rumondang yang melukis dua sosok perempuan dalam karya Back Home dan Piece of Story dengan ekspresi datar. Sesuatu yang kemudian dianggap sebagai afek datar, kondisi di mana ketidakmampuan diri untuk mengekspresikan emosi tertentu. Dalam keheningannya, justru memunculkan pertanyaan dalam benak saya: apa yang dirasakan seniman ketika melukis wajah-wajah itu?

Meskipun tak semuanya hadir dengan warna dan bentuk kekaryaan yang sama, namun intensitas tentang ekspresi wajah terasa familier. Ekspresi wajah ini dapat dianggap sebagai bentuk emosional atau hal-hal intim yang ingin disampaikan senimannya melalui seni. Tak hanya dalam ekspresi wajah, pada salah satu karya lainnya berjudul Looking for Peace karya seniman Alfian Tirta Kurnia Pratama bahkan menuliskan dengan gamblang pada kanvas sepotong pertanyaan, “What kind of peace do you want?”. Sebuah kalimat yang barangkali selalu bertengger di dalam diri setiap orang ketika menghadapi kecemasan dan ketidakpastian.

Ungkapan semacam inilah yang kemudian menjadi refleksi seperti apa bentuk emosional dan mental yang sedang dialami oleh generasi muda hari ini. Menaruh fokus pada kesehatan emosional dan mental di ruang seni, agaknya membuka kemungkinan lain untuk membicarakan apa yang dirasakan terus menerus.

Lembaga Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyebut bahwa di tahun 2022 lalu sebanyak satu dari tiga remaja berusia 10-17 tahun di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Gangguan kecemasan menjadi kategori tertinggi di antara masalah lainnya. Disebutkan juga bahwa pada semua gangguan mental yang diteliti, hendaya paling lazim adalah pada domain keluarga, lalu teman sebaya, sekolah atau pekerjaan, dan distres personal.

Piece of Story karya Rumondang

Dari situlah kemudian bagaimana seni memiliki potensi untuk menjadi sesuatu yang ekspresif dan terapeutik. Keragaman karya yang merepresentasikan luapan emosi, barangkali dapat berkontribusi pada pengalaman dan keintiman yang personal bagi pelaku maupun penikmat seni, juga menawarkan berbagai perspektif tentang kehidupan hari ini.

Mengenal dan membicarakan kegelisahan yang dirasakan oleh generasi muda hari ini bisa menjadi jalan ninja untuk membangun kesadaran dan menumbuhkan ide-ide positif di masa depan. Dengan begitu pameran seni ataupun galeri seni, tak lagi dipandang sebagai kegiatan atau platform yang hanya memamerkan karya seni, tetapi juga untuk menciptakan pengalaman yang relevan secara sosial.


Foto sampul: Sudut Kantin Project

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts