Dari Tribun Jadi Gerakan Jurnalisme Akar Rumput Zine Sepak Bola di Yogyakarta

Yang menarik, praktik zine sepak bola ini tumbuh dari obrolan di warung kopi, dari keresahan yang sama-sama dirasakan, dan dari semangat untuk mencatat sejarah sepak bola dari pinggir.

Dalam hiruk pikuk industri sepakbola yang semakin terseret ke dalam pusaran kapitalisme,–dari tayangan berbayar, kontrak sponsor miliaran, hingga narasi besar yang dikurasi media arus utama–masih ada gema suara-suara kecil yang memilih berbicara dari pinggir. Bukan suara dari ruang dan meja redaksi, bukan juga suara yang ditopang oleh iklan dan sponsor besar, tetapi suara dari tribun dengan semangat kolektivitas. Mereka tak punya kamera canggih, bahkan tak selalu punya akses internet yang stabil. Namun, cukup dengan selembar kertas, mesin fotokopi, dan hasrat bercerita, mereka mampu menghidupkan ruh jurnalisme akar rumput sepak bola. 

Di sinilah zine sepak bola di Indonesia memainkan perannya. Bukan sekadar media cetak alternatif, zine menjadi perlawanan dalam diam terhadap komodifikasi sepakbola yang kian menggejala. Ia menulis ulang makna dukungan, mendokumentasikan kisah dari pinggiran stadion, dan merawat ingatan kolektif yang kerap terhapus oleh gempuran narasi komersial. Zine, atau majalah kecil yang dibuat secara independen, sudah lama dikenal sebagai media alternatif di banyak ruang subkultur–dari musik, sastra, hingga politik. Begitu juga dengan zine dalam konteks sepak bola lokal, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Zine menjadi wujud senjata kritik, dokumentasi, dan perlawanan terhadap hegemoni narasi tunggal yang kerap dibentuk media besar. 

Warta Tribun: Suara-Suara Kritis dari Pinggir Stadion Sultan Agung

Warta Tribun adalah zine yang diterbitkan oleh kolektif Medioker Power, sebuah komunitas suporter yang aktif mendukung Persiba Bantul. Zine ini bukan sekadar selebaran pertandingan, tapi menjadi ruang alternatif bagi suporter untuk mencatat sejarah mereka sendiri yang tak selalu sejalan dengan versi media massa. Isinya variatif: mulai dari opini tajam soal performa klub, kritik terhadap manajemen, liputan dari tribun, hingga cerita personal menjadi suporter klub kecil yang sering kali diabaikan. 

Zine ini lahir dari keresahan terhadap narasi di media olahraga nasional yang sering kali lebih tertarik membahas klub besar, transfer pemain mahal, atau konflik antar sponsor. Padahal, di luar itu semua ada cerita-cerita lain yang jarang tersingkap dan tak kalah penting di Stadion Sultan Agung. Cerita soal relasi antar suporter, solidaritas kelas pekerja, hingga pengalaman mendukung klub yang terus berjuang dari lapisan bawah. 

(dok. @mediokerpower)

Praktik produksi Warta Tribun sangat khas jurnalisme akar rumput: dikerjakan secara kolektif, tanpa modal besar, menggunakan alat seadanya, dan didistribusikan langsung kepada pembaca di tribun penonton. Tidak ada iklan sponsor besar, tak ada redaktur profesional, yang ada hanya semangat berbagai narasi dari bawah. Dalam setiap edisinya, Warta Tribun tidak hanya menyoroti pertandingan Persiba, namun juga memberi ruang bagi wacana yang lebih luas.

Relasi sepak bola dan kelas sosial, peran perempuan di tribun, dan kritik terhadap politik olahraga daerah, terpampang dalam tiap edisinya. Inilah bentuk jurnalisme yang tidak hanya mencatat skor, tapi juga menulis ulang makna sepak bola dan kelindannya dengan kondisi sosial-politik. 

Matchgazine dan Budaya Suporter PSIM

Sementara itu di Kota Yogyakarta, geliat serupa muncul lewat Matchgazine, sebuah zine mandiri yang dibuat oleh suporter PSIM Yogyakarta. Dibagikan secara gratis setiap laga kandang, zine ini menjadi ruang alternatif yang memuat opini, ilustrasi, puisi, trivia, hingga kritik sosial seputar kehidupan suporter Laskar Mataram.

Dalam satu edisi, misalnya, Matchgazine menampilkan refleksi dari seorang suporter soal kenapa mereka tetap mendukung PSIM meski klub tak kunjung naik kasta. Di edisi lain, muncul ulasan kultural soal budaya tribun, semacam catatan antropologis kecil tentang nyanyian, koreografi, dan perasaan kolektif di stadion. Ini bukan jenis tulisan yang akan muncul di media olahraga nasional, dan karena itulah Macthgazine jadi penting. 

Produksi zine ini juga dilakukan dengan semangat kolektif, melibatkan berbagai pihak mulai dari ilustrator, penulis lepas, hingga kurator konten dari komunitas suporter. Mereka tak digaji, tak terikat tenggat, tapi punya visi yang sama: membangun budaya baca, tulis, dan pikir di lingkungan tribun Stadion Mandala Krida. 

(dok. @matchgazine)

Apa yang dilakukan Matchgazine juga menjadi praktik literasi media di kalangan suporter. Ia mengajak orang-orang yang biasanya hanya menonton untuk turut menulis dan membaca, untuk tidak hanya menerima informasi dari atas, tapi juga memproduksi narasi dari bawah. Inilah praktik jurnalisme akar rumput yang sesungguhnya: membangun ruang alternatif yang demokratis, kritis, dan berakar pada pengalaman nyata.

Match Companion dan Digitalisasi Zine di Sleman

Di Sleman, praktik jurnalisme akar rumput menemukan bentuk khasnya lewat komunitas Suicide Squad/115 roots, yang dikenal sebagai bagian dari suporter garis keras PSS Sleman. Mereka tak hanya lantang di tribun, tetapi juga aktif menyuarakan isi kepala lewat media yang mereka kelola sendiri. Salah satu karyanya adalah Match Companion, sebuah zine digital yang menggabungkan semangat ‘matchday programme’ ala klub-klub Eropa dengan gaya khas zine: lugas, penuh opini, dan tidak dikurasi oleh kepentingan sponsor. Match Companion dirilis secara berkala menjelang laga kandang PSS, berisi ulasan pertandingan, opini suporter, hingga refleksi sosial yang berkembang

(dok. @suicidesquad11.5)

Hal yang menarik dari zine-zine ini adalah posisinya yang selalu melawan arus. Di saat media arus utama sering kali terjebak dalam logika pasar yang memihak sponsor, memoles narasi, bahkan kadang mengabaikan suara tribun, zine justru hadir dengan keberanian untuk bersuara tanpa filter. Mereka tidak takut tidak laku, karena tujuannya bukan komersial, tapi keberlanjutan narasi.

Platform seperti 115roots.com juga memberi ruang digital untuk karya zine sepak bola. Dengan mengarsipkan dan membagikan ulang karya-karya ini, mereka turut memperkuat jaringan jurnalisme akar rumput di kancah digital, tanpa menghilangkan nuansa DIY (do it yourself) yang menjadi rohnya.

Membudayakan Media Alternatif di Ranah Sepak Bola

Praktik zine seperti Warta Tribun, Matchgazine, dan Match Companion tidak hanya penting sebagai media ekspresi, tapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap homogenisasi media. Ketika mayoritas kanal olahraga lebih sibuk dengan clickbait dan drama di luar lapangan, zine justru membawa kita kembali ke esensi sepak bola: sebagai pengalaman kolektif yang nyata, penuh emosi, dan tak selalu rapi.

Di sisi lain, inisiatif seperti 115roots.com turut membantu mengarsipkan dan menyebarkan zine-zine ini secara daring. Meski zine lahir dari kultur cetak, keberadaan dokumentasi digital memungkinkan jangkauan yang lebih luas dan mempertemukan berbagai komunitas dari daerah yang berbeda. Digitalisasi ini tidak menghilangkan semangat DIY, justru memperkuat jejaring jurnalisme akar rumput antarwilayah.

Yang menarik, semua praktik ini tidak disokong oleh institusi besar. Ia tumbuh dari obrolan di warung kopi, dari keresahan yang sama-sama dirasakan, dan dari semangat untuk mencatat sejarah sepak bola dari pinggir.

Di Yogyakarta, praktik ini menemukan tanah subur karena kultur komunitas yang kuat, serta semangat kolektif yang terpelihara di kalangan suporter.

Dari Tribun, Kita Menulis Sejarah Kita Sendiri

Zine sepak bola di DIY membuktikan bahwa jurnalisme tidak harus mahal, tidak harus netral, dan tidak harus profesional untuk bisa bermakna. Justru dalam keterbatasan, ia menemukan kejujuran dan keberpihakan yang jarang kita temui dalam media besar. Dari tribun Mandala Krida hingga Stadion Sultan Agung, dari mesin fotokopi ke tangan suporter, narasi-narasi ini terus bergerak membentuk sejarah alternatif sepak bola Indonesia. 

Apa yang dilakukan oleh para pembuat zine ini bukan sekadar kegiatan iseng atau dokumentasi fans biasa. Ini adalah kerja jurnalistik dalam bentuk yang paling organik. Mereka menjadi jurnalis tanpa gelar, redaktur tanpa media besar, dan dokumentaris tanpa modal besar. Mereka menciptakan ruang di mana suara minor bisa terdengar.

Di tengah dominasi narasi media arus utama yang kerap melayani kepentingan sponsor, rating, atau konflik sensasional, zine-zine ini hadir untuk merawat cerita dari akar. Karena kadang, sejarah terbaik bukan yang ditulis oleh wartawan resmi, tapi oleh mereka yang berdiri di tribun, bernyanyi 90 menit, lalu menulisnya dalam satu, dua, tiga lembar kertas.


Editor: Zhafran Naufal Hilmy
Foto sampul: dok. @matchgazine

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

EP 'Hyacinth': Repertoar Ketidakbahagiaan yang Menenangkan dari Noire

Next Article

Menjaga Alam Melalui Titi Luri Adat: Perjuangan Kariadi dari Tengger

Related Posts