Film ‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’: Problem Tiga Peran untuk Perempuan

Dalam film ‘Cinta Tak Pernah Tepat Waktu’, sang sutradara terkesan terlalu ekstrem memangkas interpretasi cerita dalam novel.

Jika novel adalah pohon yang rimbun, seorang sutradara film adalah tukang kebun yang melakukan pruning ekstrem terhadapnya. Sang sutradara-tukang kebun akan memangkas sangat banyak cabang dan ranting dari pohon-novel itu. Ia hanya menyisakan akar, batang, dan beberapa bagian pohon yang menurutnya perlu tetap. Sehingga, hasil pruning-nya dapat ditautkan dengan atau diidentifikasi sebagai pohon sebelum dipangkas.

Novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu (CTPTW) karya Puthut EA menanamkan akarnya pada kekayaan monolog batin “Aku” yang larut dalam kenangan cinta dan masa muda sebagai aktivis, lalu terempas ke dalam kegelisahan yang tak bisa dinamai. 

Kekayaan itu tecermin, misalnya, dalam “Ibarat pejalan, aku sudah berjalan terlalu jauh. Melewati hidup dengan semangat hijau dan liar. Tikungan-tikungan patah menjadi saksi. Hinggap dari satu pelukan kasih ke pelukan kasih yang lain. Aku membayar penderitaanku dengan marah dan brutal. Marah yang diam. Brutal yang hening.” (Hal. 5-6)

Sutradara Hanung Bramantyo mencabut pohon-novel itu dari tanah-sastra yang reflektif-kontemplatif, lalu menanamnya kembali di ladang-sinema yang disebut sebagai, dalam istilah Ester Lianawati, ideologi kejantanan. Di ladang-sinema yang baru itu, para perempuan dalam novel CTPTW diberi tiga peran yang selalu membayang sebagai takdir: perawan, ibu, dan pelacur.

Adalah benar bahwa tiap film yang lahir dari novel tak pernah merupakan cerminan yang utuh atas novelnya, melainkan satu kemungkinan tafsir di antara sekian banyak kemungkinan. Namun, Hanung sang sutradara-tukang kebun tampaknya terlalu ekstrem mem-pruning-nya ketika menginterpretasi.

Novel “Cinta Tak Pernah Tepat Waktu” karya Puthut EA (sumber: Mojok Store)

Tiga Peran yang Mencengkeram

Berbeda dengan novel, film bekerja dengan penglihatan dan pendengaran. Mata dan telinga adalah pintu masuk bagi pemaknaan. Hanung memberi “Aku” nama baru dan tubuh-visual-auditori, yaitu Daku Ramala. Daku adalah seorang penulis yang ingin menjadikan pernikahan sebagai tempatnya mengakar, tetapi selalu dihembalang oleh waktu. Identifikasi utama dengan novel CTPTW dibangun dari permainan nama dan tubuh ini. Selebihnya adalah perkara-perkara yang menggelisahkan.

Perkara pertama adalah bagaimana citra perempuan dibangun. Nadya ditampilkan sebagai perempuan penyabar, berbalut busana yang menutup lengan, tanpa gincu, dan selalu pulang sebelum tengah malam. Secara diametral, Anya ditampilkan sebagai perempuan yang memiliki karier, tampil dengan atasan ketat tanpa lengan, bergincu, bertato, merokok, berpesta, dan mengonsumsi alkohol. Kontras ini segera mengingatkan pada prinsip oposisi biner dalam strukturalisme, yang memang niscaya, tetapi meresahkan.

Perkara kedua adalah bagaimana Daku berinteraksi dengan mereka. Hanya Anya yang, lewat adegan-adegan simbolis dan dialog, digambarkan melakukan aktivitas seksual dengan Daku.

Ketiga, bagaimana kehadiran para perempuan itu ketika dibandingkan antara dalam novel dan dalam film. Dalam novel, tak ada sosok perempuan yang tegas, hanya sifat yang samar seperti “sabar” dan “cantik”. Bahkan, mereka tetap tanpa nama. Namun, patut diterka bahwa, dalam film, Nadya adalah konstruksi ulang dari sosok perempuan tanpa nama yang setia di sisi “Aku” saat jiwa “Aku” sedang remuk. Sementara itu, Anya mungkin berakar dari perempuan yang, dalam ingatan “Aku”, tahu bahwa dirinya menawan.

Tiga perkara itu cukup untuk mengatakan bahwa Hanung, sadar atau tidak, telah menempatkan Nadya dalam peran perawan sekaligus ibu, dan Anya dalam peran pelacur.

Akan tetapi, tangan-tangan patriarki bekerja dengan halus dalam proses yang terasa wajar di film CTPTW. Misalnya, keinginan Nadya untuk membangun keluarga bersama Daku, seakan-akan keinginan itu adalah panggilan alam yang kodrati. Padahal, keinginan itu lahir dari konstruksi yang lebih besar—sebuah mekanisme yang hendak menjadikan perempuan sebagai ibu yang, dengan segenap kelembutannya, melayani.

Di sisi lain, tanda-tanda yang melekat pada Nadya juga menunjukkan bahwa, oleh sutradara, ia dibebani dengan citra perawan: tubuh yang tertutup, perilaku yang terkendali, dan ketidakhadiran tindak seksualitas. Lalu, jika perawan adalah perempuan “tanpa seks”, siapakah perempuan yang “dengan seks”? Jawabannya: pelacur. Di sini, makna pelacur tidak lagi sekadar perempuan yang menjual tubuhnya. Ia adalah semua perempuan yang, dalam kacamata patriarki, bertolak belakang dengan karakteristik perawan.

Jika perawan adalah murni, polos, dan naif, pelacur adalah sensual, erotis, dan vulgar. Jika perawan membangkitkan keinginan untuk menyayangi, pelacur membangkitkan hasrat untuk meniduri belaka. Masyarakat patriarkal selalu membagi perempuan dalam dua kategori ini. Dan Anya, dengan segala yang ditampilkannya, ditempatkan dalam peran kedua.

Namun, Daku tidak menikahi salah satu dari mereka. Ia menjauh. Lantas, siapa perempuan yang akhirnya “menyelamatkan” Daku dari ketakutannya untuk menikah dan berkeluarga?

Sarah yang Agung

Dalam film, Sarah adalah solusi untuk ketakutan Daku terhadap pernikahan. Sarah bisa menjalankan tiga peran sekaligus. Ia berbusana tertutup dan religius (perawan-Nadya), tetapi tetap cantik, modis, dan mandiri (pelacur-Anya). Sarah juga mampu menjalankan peran ibu karena, sebagai dokter, ia bisa dekat dan bersikap penuh pengabdian kepada orang tua Daku.

Di dalam diri Sarah, segala tuntutan peran perawan, ibu, dan pelacur bertemu dan berpadu. Maka patriarki, yang dalam film ini diwakili oleh Daku, memberinya imbalan tertinggi: terpilih untuk menjadi penerus keturunan.

Namun, sepertinya demi tuntutan efek dramatis, sutradara dengan jelas dan tegas menggiring tafsir penonton dengan akhiran tertutup. Sarah tiba-tiba hilang dalam kecelakaan pesawat setelah Daku mengakuinya sebagai pilihan.

Dalam novel, Sarah tak lebih dari bayangan. Yang kita tahu hanyalah bahwa orang tua Aku menginginkan keduanya berjodoh karena kedekatan Sarah dengan mereka. Bagi Aku sendiri, yang tersisa sebenarnya hanyalah secercah perasaan samar: “Sarah tersenyum. Sewaktu aku melihat senyumannya, dadaku menjadi begitu nyaman ketika bernapas.” (Hal. 36)

Namun, tak ada desakan batin Aku untuk menikahi Sarah. Bahkan, sebenarnya tak ada pilihan yang nyata. Puthut tidak menuliskan dengan jelas dan tegas bahwa Sarah memang pada akhirnya menjadi pilihan Aku. Seolah-olah, seperti tokoh perempuan lainnya, Sarah hanya melintas—tak berakar, tak menetap, tertiup angin begitu saja. Akhiran terbuka ini menjadi salah satu kekuatan CTPTW.

Demikianlah Sarah dalam film hadir bukan sekadar sebagai tokoh, melainkan sebagai fondasi baru tempat ideologi film ini berpijak. Sarah menjadi bukti bahwa novel CTPTW, yang telah dicerabut dari tanah literer asalnya, kini ditanam kembali di ladang-sinema yang lebih subur oleh ideologi kejantanan.

Namun, ada sesuatu yang menarik. Akhiran tragis yang dialami Sarah, dengan atau tanpa kesengajaan, seakan mengingatkan bahwa ideologi kejantanan pada kenyataannya adalah pohon besar yang tak bisa  tumbuh dengan sempurna. Seperti yang dikatakan Ester Lianawati, trinitas perawan-ibu-pelacur yang maujud dalam sosok Sarah yang ideal itu adalah konstruksi yang mustahil ditegakkan sepenuhnya.

Di balik kontestasi peran-peran itu, ada sesuatu yang selalu luput dari perhatian. Di ladang patriarki yang memungkinkan laki-laki untuk memiliki segalanya, justru laki-laki sendiri juga menjadi pihak yang merugi. Seperti Daku, ia tak mendapatkan apa pun dari bayangannya tentang perempuan yang ideal untuk menjadi pasangan hidup.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Dapur Films

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Anti-Tur dan Demiliterisasi: Membongkar Monumen, Melawan Kekerasan Epistemik

Next Article

Anatomi Musik B.O.A.R dan Album Penanda Zaman

Related Posts