Menjaga Alam Melalui Titi Luri Adat: Perjuangan Kariadi dari Tengger

Kariadi, warga Desa Tosari, gerakkan masyarakat desa untuk pelestarian alam berbasis spiritualitas dan filosofi Tri Hita Karana.

Di tengah kekhawatiran global atas perubahan iklim dan deforestasi yang terus menggerus hutan-hutan Indonesia, suatu langkah kecil di lereng Tengger menjadi cahaya harapan. Sebuah nama bersinar sebagai penggerak konservasi lingkungan: Kariadi. Sejak 1998, pria asal Desa Tosari ini konsisten memperjuangkan pelestarian alam, khususnya mata air, melalui pendekatan adat dan kearifan lokal.

Langkahnya tidak mudah. Ketika pertama kali memulai gerakan penghijauan, Kariadi harus berhadapan dengan penolakan warga. Usahanya menanam pohon cemoro gunung—pohon endemik khas Tengger—kerap berakhir sia-sia. 

“Dulu sempat mendapatkan penolakan ketika saya menanam cemoro gunung. Bahkan, tanaman yang sudah ditanam sering kali dirusak dengan dalih mengganggu tanaman petani,” tuturnya.

IMG_5791
Sosok Kariadi, penggerak konservasi lingkungan (dok. Vranola)

Secara geografis, Desa Tosari memang berada di luar kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Lahan desa lebih banyak dimanfaatkan untuk pertanian, terutama kentang. Ketergantungan ekonomi pada pertanian, serta minimnya kesadaran lingkungan, membuat perjuangan Kariadi penuh tantangan. Pembukaan lahan yang masif tanpa disertai konservasi menyebabkan vegetasi penyangga air hilang. Beberapa mata air yang dulunya menghidupi warga pun perlahan mengering.

Alih-alih menyerah, Kariadi justru menyelami lebih dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di situlah ia menemukan kekuatan tradisi yang selama ini terlupakan: titi luri adat. Dari warisan budaya inilah ia menemukan titik pijak baru dalam kampanye pelestarian alam dengan menekankan keharmonisan antara manusia, alam, dan spiritualitas.

Filosofi Tri Hita Karana menjadi dasar pendekatannya. Konsep ini mengajarkan tiga harmoni utama dalam hidup: Parhyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam). 

“Sejalan dengan ajaran umat Hindu, Tri Hita Karana menjadi landasan yang hidup di masyarakat Tengger,” jelas Kariadi.

20240614114930_IMG_3336
Basecamp Bala Daun, tempat untuk pembibitan dan penyemaian (dok. Vranola)

Bagi masyarakat lokal, air bukan sekadar kebutuhan dasar, tetapi juga dianggap sebagai simbol penyucian diri dalam menjalani ritus keagamaan. Hal ini membuat pelestarian mata air menjadi persoalan ekologis sekaligus spiritual.

Melalui pemahaman ini, Kariadi kemudian membentuk komunitas Bala Daun. wadah yang menggerakkan aksi penghijauan berbasis komunitas. Awalnya kecil, namun seiring waktu dan bukti nyata di lapangan, gerakan ini tumbuh. Kesadaran masyarakat berubah, terutama setelah merasakan dampak positifnya. Dukungan masyarakat pun mulai berdatangan. “Karena banyak yang menyadari manfaatnya, masyarakat meminta bibitnya untuk ditanam sendiri,” ujarnya.

Kini, seluruh proses penghijauan—dari pembibitan, penanaman, perawatan, hingga pendataan—telah dilakukan secara sistematis. Fokusnya tetap pada pohon-pohon endemik, seperti cemoro gunung, yang terbukti berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem dan efektif menyimpan air tanah.

Usaha Kariadi pun mulai menunjukkan hasil. Mata air yang sempat mati kini mulai mengalir kembali. Meski debitnya kecil, air tersebut cukup untuk menghidupi kebutuhan dasar masyarakat sekitar.

“Ini menjadi bukti nyata bahwa alam terus memberikan kehidupan,” ucapnya.

Bagi Kariadi, menjadi warga desa bukan hanya soal tinggal dan menggantungkan hidup dari tanah. “Menjadi masyarakat saja tidak cukup, kita harus lebih luas dari itu,” katanya. Ia meyakini, kesetiaan pada nilai-nilai lokal dan keberlanjutan adalah warisan terbaik untuk generasi berikutnya.

IMG_7406
Kegiatan penanaman di kawasan TNBTS (dok. Vranola)

Langkah kecilnya telah menumbuhkan harapan besar. Dari lereng Tengger, Kariadi membuktikan bahwa konservasi bukan sekedar aktivitas teknis, ia adalah  perwujudan cinta yang dalam terhadap bumi dan isinya. 

Di akhir percakapan, Kariadi menyampaikan satu harapan sederhana: agar anak cucunya kelak tetap bisa merasakan air bersih, dari mata air yang hari ini ia jaga dengan cinta.


Editor: Hifzha Aulia Azka
Foto sampul: Vranola

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Dari Tribun Jadi Gerakan Jurnalisme Akar Rumput Zine Sepak Bola di Yogyakarta

Next Article

Yogyakarta Art Book Fair: Kenapa Penerbitan Artistik? Kenapa Sekarang? 

Related Posts