Pergelaran Yogyakarta Art Book Fair yang pertama akan berlangsung pada tanggal 2-4 Mei 2025. Tahun lalu, edisi rintisan atau pilot edition untuk art book fair yang sama, telah digelar untuk menjajaki relevansi perhelatan ini di Yogyakarta. Sebagai bagian dari komite penyelenggara sejak pilot edition hingga sekarang, saya menjadi terpapar dengan berbagai diskusi yang mempertimbangkan keberadaan Yogyakarta Art Book Fair. Dalam situasi ini, saya justru kerap bertemu dengan alasan-alasan untuk tidak menyelenggarakan sebuah art book fair di kota ini.
Misalnya alasan pertama, provinsi Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki ratusan festival seni dan budaya setiap tahunnya. Bahkan di tahun 2024, Yogyakarta ditetapkan sebagai Kota Festival oleh Jogja Creative Society. Penekanan pada festival ini terwujud dalam berbagai skala, wilayah, dan tema—mulai dari festival kuliner level kelurahan hingga lomba burung perkutut dengan piala dari Paku Alam.
Jika perlu lebih spesifik, sudah ada beberapa festival yang terkait literasi dan buku di Yogyakarta. Salah dua festival buku yang besar di Yogyakarta adalah Patjar Merah dan Jogja Art+Book Fest. Apakah Yogyakarta masih membutuhkan festival buku lainnya?
Alasan kedua, di Indonesia, sudah ada acara yang menggunakan format art book fair, yaitu Jakarta Art Book Fair. Tentu Jakarta sebagai ibu kota dan pusat aktivitas ekonomi menjadi tempat yang pas untuk menggelar art book fair. Kantor-kantor distributor kertas, jasa finishing dengan teknik terkini, serta berbagai agensi dan biro desain, banyak terpusat di Jakarta. Upah Minimum Regional yang lebih tinggi pun turut memupuk daya beli konsumen. Jakarta menjadi kota yang ideal untuk sebuah art book fair yang mempertemukan antara desainer, penyedia jasa, supplier material, dan konsumen produk desain.

Apakah Yogyakarta adalah tempat yang tepat untuk menyelenggarakan sebuah art book fair?
Selain alasan-alasan untuk mempertanyakan keberadaan Yogyakarta Art Book Fair, para anggota Komite Penyelenggara masih terus mendiskusikan bagaimana menerjemahkan art book ke dalam Bahasa Indonesia. Art Book tentu secara langsung dapat diterjemahkan sebagai buku seni. Namun art book tidak melulu berarti buku-buku yang membicarakan seni sebagai topiknya.
Melalui observasi atas berbagai perhelatan art book fair dan bentuk penerbitan yang ditampilkannya, art book sebenarnya dapat diterjemahkan atau didefinisikan secara lebih spesifik. Pendefinisian ini bahkan dapat dielaborasi lagi secara antagonistik, artinya dengan memikirkan apa yang bukan art book untuk menjelaskan art book. Art book di art book fair berbeda dengan buku-buku yang bersirkulasi dengan oplah tinggi dan diedarkan oleh toko-toko besar. Namun apa saja perbedaannya? Apakah art book fair adalah sebuah bentuk alternatif? Alternatif atas apa dan kenapa?
Setelah rapat-rapat panjang dan berkepanjangan, tampaknya kami cukup yakin dengan penerjemahan art book sebagai penerbitan artistik.
Alih-alih hanya book sebagai buku, kata penerbitan dipilih untuk merangkul berbagai dimensi proses penciptaan terbitan. Penerbitan artistik berarti ada seni di setiap lini kerja penerbitan, mulai dari proses riset, editorial, perancangan, percetakan, finishing, hingga distribusinya ke publik.
Pada beberapa kesempatan, bahkan istilah penerbitan artistik dikembangkan menjadi “penerbitan sebagai praktik artistik” oleh beberapa anggota komite. Tampaknya lagi, konsep “penerbitan artistik” untuk saat ini menjadi motor semangat yang cukup untuk menggerakkan Yogyakarta Art Book Fair. Tentu motor ini tidak datang dengan sendirinya. Ada beberapa konteks yang turut membentuknya.
Selain sebagai kota festival, Yogyakarta merupakan kota pekerja lepas dengan sektor ekonomi informal yang besar. Pekerja lepas adalah istilah untuk seseorang yang bekerja di beberapa tempat dan seringkali dalam kurun waktu yang berbeda-beda. Berdasarkan obrolan sana-sini dengan beberapa teman, menjadi pekerja lepas sembari menjadi seniman adalah suatu keniscayaan di masa sekarang.
Apalagi ketika pendanaan proyek seni dan jual beli karya tidak selalu bisa memberi kepastian pemasukan sedangkan harga kebutuhan pokok dan kontrakan terus meroket. Kebutuhan untuk ekonomi seni yang lebih beragam menjadi semakin penting.
Terbitan dan karya cetak menjadi medium kekaryaan yang populer di kalangan seniman yang juga menjadi pekerja lepas karena dapat dikerjakan di mana saja dengan alat produksi yang bervariasi, mulai dari teknologi rumahan seperti inkjet printer hingga cetak sablon dan digital di berbagai printshop. Praktik penerbitan berbasis komunitas yang sudah memiliki sejarah panjang di Yogyakarta, sekarang makin diperkaya secara metode kerja, konten, dan bentuk oleh penggiat-penggiat yang secara sadar melihat ini sebagai praktik kekaryaan mereka.
Penerbitan artistik juga membutuhkan ruang di mana nilai-nilai estetik, sosial, politik, dan ekonominya dibicarakan, ditakar, dan dipelajari. Seberapa laris penjualan sebuah terbitan artistik hanyalah satu jenis ukuran. Ukuran-ukuran lainnya masih perlu dirumuskan bersama.
Penerbitan artistik mungkin bisa jadi kesempatan untuk menambah keragaman bentuk-bentuk komoditas di ranah seni kontemporer sekaligus menciptakan model ekonomi berbeda. Art book fair memungkinkan pengunjung untuk mengoleksi karya seni dalam bentuk buku dan poster dengan harga yang tidak jauh dibandingkan kaos merchandise musisi atau piringan hitam.

Namun melihat penerbitan artistik sekadar sebagai komoditas tidaklah cukup bahkan cenderung menyederhanakan. Sebagai benda yang dipertukarkan, distribusi terbitan artistik juga menciptakan komunitas antara pencipta dan “pengguna.” Seperti di banyak komunitas subkultur dan budaya tanding, posisi pencipta dan pengguna seringkali bercampur aduk dalam penerbitan artistik.
Seseorang yang membuat zine, biasanya juga mengoleksi karya seni cetak. Sehingga menjual karya terbitan artistik tidaklah cukup untuk menjaga keberlangsungan praktiknya. Komunitasnya pun perlu dirawat seperti layaknya suatu ekosistem dengan organisme yang saling bergantung satu sama lain. Ekonomi penerbitan dan perhelatan seperti apa yang dapat melakukan ini?
Yogyakarta Art Book Fair edisi pertama akan dibuka dalam beberapa hari ke depan, pada tanggal 2-4 Mei 2025. Dibandingkan dengan edisi rintisan tahun lalu, tahun ini Yogyakarta Art Book Fair akan digelar dalam skala yang lebih besar. Namun apakah ini model kerja yang sustainable dan dibutuhkan untuk Yogyakarta Art Book Fair? Mungkin perhelatan tahun ini perlu dievaluasi dalam kerangka pertanyaan tersebut.
Proyeksi atas praktik penerbitan artistik maupun art book fair yang sudah disebutkan di atas mungkin belum dapat terwujud sepenuhnya di perhelatan Yogyakarta Art Book Fair tahun ini. Namun sebagai praktik yang berkembang di berbagai kalangan dan lintas disiplin, menjadi lebih serius membicarakan penerbitan artistik memiliki segudang potensi. Paling tidak satu potensinya adalah keterkaitan penerbitan artistik dengan gelombang demokratisasi produksi seni dan budaya yang berlangsung dua puluh tahun belakangan ini.
Jika semua orang adalah seniman dan memiliki suaranya, mari kita gunakan alat apapun untuk menguatkan suara masing-masing. Penerbitan artistik bisa jadi salah satu alatnya dan perlu untuk diasah bersama.

Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Danysswara
