Kumpulan puisi ini: Kaki Pincang Dab Supri, Hujan di Atap Seng, dan Lampu Merah, Cerita Kita ditulis oleh Valentino S. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang terinspirasi oleh penulis lokal seperti Joko Pinurbo dan Ahmad Tohari.
Kaki Pincang Dab Supri
Ia datang saban hari,
dengan kaki pincang
dan semangat yang tak pernah timpang.
Tukang bakso,
penjaga sunyi di sudut kantin
yang tak pernah benar-benar sepi.
Mahasiswa necis datang dan pergi,
sibuk dengan jadwal dan gawai,
tapi Dab Supri tak pernah lupa
cara menyapa
dengan mangkok panas
dan senyum yang pelan-pelan
mengobati letih dunia.
Aku berjalan ke arahnya,
seperti menziarahi masa kecil
yang tak kukenal tapi mencintaiku diam-diam.
Kupanggil namanya,
kubayar semangkuk nostalgia,
dan kuceritakan sejarah kecil yang tak penting
tapi penuh makna:
bahwa aku ini
anak dari pelanggannya dulu,
saat ia masih perjaka,
dan ibuku masih siswi di Stella Duce dua.
Dab Supri tertawa,
batuk-batuk karena micin dan usia,
lalu berkata,
“Sudah besar ya, anaknya Kingkin!”
dan waktu tiba-tiba menjadi mangkok,
penuh kuah hangat
dan irisan kenangan yang tak bisa dibeli kembali.
Semoga sehat selalu, Dab Supri.
Meski dunia makin asin,
kau tetap setia
mengaduknya perlahan
dengan tangan tua
yang tak pernah berhenti bekerja
untuk cinta yang sederhana.
Hujan di Atap Seng
Hujan turun seperti biasa,
tapi tidak ada yang benar-benar terbiasa
dengan suara seng
yang menua lebih cepat dari usia rumahnya.
Di dalam,
ibu menanak sabar,
anak-anak menggambar genangan
dengan krayon bekas kampanye.
Di luar,
parit menghafal nama-nama
yang tak tercatat di kartu keluarga.
Air hujan membawa sisa nasi,
dan harapan yang belum sempat dimakan.
Kita hidup di antara tembok tipis,
kadang bisa mendengar pertengkaran tetangga
lebih jelas
daripada nasihat Tuhan di toa masjid.
Tak ada taman,
tapi ada langit yang bocor
dan bau comberan yang akrab
seperti kawan lama.
Kata orang,
kemiskinan itu dosa struktural.
Tapi kami hanya belajar tertawa
di sela-sela rembesan atap,
dan percaya:
bahwa rezeki mungkin tidak turun dari langit,
tapi bisa lahir dari mulut
yang tak pernah berhenti berdoa
meski basah kuyup.
Lampu Merah, Cerita Kita
Di simpang empat,
hidup kita menunggu giliran.
Lampu merah menyala lama,
seperti ingin kita merenungkan
kenapa semua ini begitu padat.
Jogja,
yang katanya istimewa,
kini cuma nama
di plat kendaraan yang tak sabar
mengejar waktu
yang macet di mana-mana.
Ada yang mencuri pandang,
ada yang menjual tisu,
ada yang menunduk dalam helm,
berdoa agar hatinya tak ikut terbakar knalpot.
Ada yang tak sempat mencintai
karena sibuk menyeberang nasib.
Aku menatapmu
dari seberang kaca jendela bus kota,
kita tak saling menyapa,
tapi mungkin
saling mengerti betapa sepinya
hidup yang selalu disuruh berhenti
di tempat yang tak kita pilih.
Saat lampu hijau menyala,
semua kembali berjalan,
dengan arah yang tak tentu—
seperti cinta yang tak pernah sempat
diutarakan
karena kota ini
terlalu bising untuk kata hati.
Penyelaras aksara: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Valentino S.
