Nyala Lentera Literasi dari Sudut Pasar Buku Bekas

Ketidakpastian ekonomi yang berjalan terhadap buku bajakan yang masih tinggi menjadi salah satu peluang pasar buku bekas untuk bertahan hidup.

Sinar matahari siang itu di Kota Malang cukup menyengat. Kutimbang ulang tujuan perjalananku kali ini. Akhirnya, kuputuskan untuk berjalan kaki menyusuri gang sempit yang ada di Kayutangan. Dengan perasaan yang masih bimbang, memikirkan tempat mana lagi yang kukunjungi setelah ini. Sekilas, terlintas di pikiranku sebuah tempat dengan tumpukan buku di dalamnya.

Pikiran itu muncul saat teringat Yogyakarta dengan banyak toko bukunya. Pikirku, Kota Malang sebagai salah satu kota yang dihuni ribuan pelajar dan mahasiswanya, banyak tempat seperti itu juga tidak ya. Langsung saja kucari di Google Maps, “tempat buku di Malang”. Muncul dua pilihan yaitu Rumah Budaya Ratna dan Pasar Buku Wilis.

Dengan pertimbangan sudah tercukupinya kebutuhan kafeinku siang itu, aku memilih Pasar Buku Wilis. Pasarnya berlokasi tak jauh dari kawasan SMA Dempo Malang, tempatku meneduhkan diri untuk menghindari teriknya sinar mentari. Sesampai di pasar buku bekas, dengan sigap beberapa pedagang menyambutku dan bertanya, “Nyari buku apa, Mas?” Aku lempar kembali sambutan itu dengan senyuman dengan berkata, “Mau lihat-lihat dulu, Pak-Bu.”

Aku tertegun menyaksikan sepanjang koridor dalam pasar ini, tumpukan buku ditata sangat rapi. Mataku bergerak liar ke segala arah memperhatikan judul-judul buku apa saja yang ada di tumpukan dan rak. Tanganku dengan sigap membolak-balikkan beberapa buku yang menurutku menarik, namun masih tak kunjung kubeli. Singkatnya, aku pun membeli beberapa majalah Tempo edisi khusus dan juga Rolling Stone edisi tahun 2007.

Pasar Buku Wilis (dok. Hasan Daffa)

Dari semua pedagang yang ada di sepanjang koridor Pasar Buku Wilis, perhatianku tertuju ke salah satu toko di sebelah utara paling pojok. Sepanjang pengamatanku, koleksi bukunya agak berbeda dibanding toko lain. Kutemukan banyak buku bernafaskan politik, sejarah, budaya, dan pemikiran tersebar di rak-raknya. Memasuki toko tersebut aku disambut dengan semangat oleh lelaki yang mungkin usianya sudah hampir 40 tahun. Namanya, Pak Aan. Toko buku ini kepunyaannya dan diberi nama “Suka Main Buku”. Dari namanya saja kita sudah bisa menduga kalau Pak Aan ini, berjualan buku bekas tidak sekedar untuk mencari nafkah. Namun, menjadi hobi yang ditekuninya. Pekerjaan yang menyenangkan menurutku. Bekerja sepenuh hati atas dasar kecintaan pada buku-buku.

Kecintaannya pada buku, berkembang menjadi sebuah profesi yang ia tekuni sekarang sebagai pemilik toko buku bekas sudah dimulainya sejak circa 2000-an. Pak Aan sudah merasakan asam garam perdagangan buku-buku bekas. Dia pernah memiliki koleksi sekitar 30 buku Pramoedya Ananta Toer yang sekarang sudah terjual habis semuanya. Koleksinya itu dilepas dengan berat hati sebab kondisi ekonomi yang tak menentu semasa wabah pandemi kemarin. Selain itu, Pak Aan juga memiliki beragam pelanggan dari berbagai golongan. Kebanyakan mahasiswa dan anggota-anggota organisasi. Sebab, di rak-rak milik Pak Aan banyak tersebar buku-buku pemikiran karya tokoh yang menjadi role model dari tiap organisasi besar.

Sepanjang berbincang dengannya, rasa penasaranku yang meledak-ledak diterima dengan sangat terbuka olehnya. Dia bercerita tentang segala hal yang mengitarinya selama hidup dengan buku-buku tua. Aku rasa, hidup dan berbagi ruang dengan tumpukan buku koleksinya, menjadi salah satu alasan kenapa Pak Aan gemar bercerita dan berwawasan luas. Sayangnya, tak sempat kutanyakan beberapa pertanyaan tentang kehidupan pribadinya.

Pak Aan merupakan satu dari sekian banyak pedagang buku bekas di Indonesia yang mengabdikan hidupnya demi nyala sebuah lentera literasi. Aku rasa mereka ini pantas menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa. Sebab, di tangan merekalah banyak masyarakat dari berbagai latar belakang mendapat akses terhadap literatur. Jalan yang ditempuh masyarakat Indonesia untuk mencapai masyarakat yang gemar membaca masih panjang. Mulai tingginya harga buku baru karena kenaikan harga bahan baku menjadi sebuah faktor penghambat beberapa masyarakat untuk gemar membaca.

Kehadiran pedagang-pedagang buku bekas inilah yang menjadi alternatif yang tidak dapat diremehkan. Sudah berapa banyak orang tua yang terbantu dalam mencari buku bacaan untuk anak-anaknya. Sudah berapa banyak mahasiswa yang terbantu penelitiannya karena jasa para pedagang seperti Pak Aan karena turut serta membantu pencarian bahan sumber referensi mereka. Sebagai seorang mahasiswa sejarah, tentu aku menyetujui hal ini. Sumber-sumber seperti arsip, majalah, dan koran yang dibutuhkan dalam penelitian, sering ditemukan tersembunyi di tengah buku-buku bekas dagangan.

Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang semakin tidak stabil, kehadiran pedagang buku bekas menjadi sangat penting. Layaknya pedagang mie ayam yang membantu masyarakat kelas bawah mengisi perut-perut kelaparan mereka pada masa krisis menjelang tahun 1998, para pedagang buku hadir melepas dahaga orang-orang yang haus akan pengetahuan. Selain membantu akademisi yang membutuhkan banyak bacaan dengan harga terjangkau, secara tidak langsung para pedagang buku ini juga berperan dalam pendidikan anak-anak di keluarga miskin. Keterjangkauan harga yang ditawarkan di tiap buku dagangan mereka, menjadi nilai penting yang mendorong beberapa keluarga miskin melek pendidikan untuk tetap mencekoki anak-anaknya dengan bacaan.

Pasar Buku Wilis (dok. Hasan Daffa)

Di lain sisi, eksistensi pedagang buku bekas di tengah pasaran buku sekarang menimbulkan sebuah dikotomi. Fenomena buku bajakan menjadi permasalahan tiap penulis yang menerbitkan sebuah karya. Buku-buku populer seperti karya Pramoedya dan beberapa novelis lain sering menjadi bahan bajakan. Karya-karya mereka sering dibajak dan toko-toko buku bekas inilah yang menjadi salah satu distributornya. Selain masalah pembajakan ini, nasib hidup para pedagang buku bekas juga perlu menjadi perhatian serius. Ditambah lagi, masyarakat cenderung memilih harga buku yang murah meskipun bukan buku orisinil. Kondisi inilah yang menjadi alasan kenapa banyak pedagang buku bekas ikut menawarkan buku-buku bajakan di lapaknya.

Ketidakpastian ekonomi yang berjalan bersamaan dengan permintaan dari masyarakat terhadap buku bajakan yang masih tinggi menjadi salah satu peluang mereka untuk bertahan hidup. Akan terasa aneh rasanya jika pedagang tersebut disalahkan sepenuhnya dalam masalah ini. Selain harus ada kesadaran dari masyarakat untuk mendukung para penulis yang berkarya, pemerintah harus segera ambil bagian dalam menangani pembajakan buku yang marak terjadi.

Tanpa mengesampingkan masalah pembajakan buku, kita tetap perlu melihat kehadiran para pedagang buku bekas dalam perkembangan literasi di Indonesia. Hadirnya mereka harus menjadi perhatian khusus di lingkungan masyarakat. Di tangan para pedagang buku bekas inilah, sejarah dan pemikiran tokoh-tokoh terdahulu dirawat. Lentera literasi di Indonesia akan terus menyala dengan keberadaan toko-toko kecil itu. Dari tiap ruang sempit di toko buku bekas, pengetahuan terhadap sejarah masyarakat ini akan terus hidup dan senantiasa dihidupkan kembali. Oleh karena itu, nyala lentera literasi di Nusantara pun akan terus terjaga.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: Hasan Daffa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Article

Kaki Pincang Dab Supri: Kumpulan Puisi Valentino S.

Next Article

Panjul dalam Lakon: Efisiensi

Related Posts