Agaknya terasa cukup susah menuliskan secara komplit ketika FSTVLST kembali membentangkan layar untuk hadir di industri musik dengan single baru. Setelah lebih dari empat tahun tidak meluncurkan karya baru, band rock asal Yogyakarta itu akhirnya merilis single berjudul ‘Enam Masa’ dalam versi demo.
Di antara beberapa draft lagu inisial yang tersimpan untuk album ketiga, Sirin Farid Stevy (vokal), Roby Setiawan (gitar), Humam Mufid Arifin (bass), dan Danis Wisnu Nugraha Widiasmara (drum) memilih ‘Enam Masa’ sebagai suguhan menuju album yang sedang dipersiapkan. Yup, single yang dibantu oleh Fanny Soegi di bagian vokal itu telah dirilis pada 24 September 2023 bertepatan dengan pertunjukan FSTVLST di panggung Pestapora 2023.
“Lagu ini saya tulis di awal tahun 2023,” ucap Farid Stevy di tengah proses rekaman demo ‘Enam Masa’, Rabu (20/9) lalu. Pada mulanya, ‘Enam Masa’ merupakan salah satu draft lagu yang dikerjakan oleh Roby Setiawan, Fandi Kurniawan (gitar), Hutama Mahdi Putra (synthesizer), dan Eunike Theresia Siahaan (drum).
Lagu ini ditulis Farid Stevy saat sedang penuh kebulatan hati menjalani laku spiritualnya; sebuah fase yang mengubah cara pandangnya dalam menyikapi suatu hal di kemudian hari. Salah satunya adalah menuliskan konsep kejadian semesta menjadi sebuah lagu.
“Tiba-tiba muncul ide untuk menuliskan kejadian semesta. Dimulai dari nol atau ketiadaan, sampai adanya manusia,” ujar Farid Stevy.
Tidak sesederhana itu, lirik demi lirik yang dituliskannya terasa cukup spiritual. Sesuatu yang agaknya dicoba Farid Stevy untuk tidak lagi melihat suatu hal dalam jarak yang dekat, tapi mengambil jarak sedikit mundur dalam pandangan yang lebih luas. Menulis konsep penciptaan semesta sebagai respons atas kerusakan yang terjadi di sekitar.
Setelah delapan bulan berlalu, apa yang ditulis Farid Stevy seolah menemukan relevansinya hari ini. Tentu saja secara serampangan, tapi penuh kearifan lokal, otak-atik gathuk (konsep menghubung-hubungkan) menemukan kalimat kunci yang menguatkan isi dari lagu ‘Enam Masa’.
Hampir tak mungkin bisa dijelaskan. Misalnya sepenggal lirik tentang unsur api yang dituliskan dalam lagu ‘Enam Masa’ waktu itu, hari ini menjelma peristiwa hujan meteor dan kebakaran hutan hingga gedung arsip sejarah sepanjang 2023 di Indonesia.
Juga hal yang sama, hampir tak mungkin bisa menjelaskan keterkaitan antara: (1) rancangan pemerintah memindahkan ibukota ke Kalimantan, (2) keinginan Farid Stevy mencukur rambut ala manusia Dayak, dan (3) pertemuan FSTVLST dengan penyanyi berdarah Kalimantan untuk single ‘Enam Masa’.
Mungkin memang tidak ada kaitannya sama sekali. Namun, bagi Farid Stevy ada intuisi tentang hal-hal semacam ini yang tak terhindarkan datang ketika mengerjakan single ‘Enam Masa’. Dalam bahasa yang paling mudah dimengerti, barangkali memang tidak ada yang kebetulan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana perubahan peradaban ini bermula atau tentang tanah indah yang perlahan rusak, jadi semacam energi yang menemani Farid Stevy membaca ulang hal-hal yang terjadi di sekitarnya. ‘Enam Masa’ kemudian dipilih menjadi momentum untuk melihat kembali peristiwa penting tentang penciptaan alam semesta, bumi, hingga manusia pertama.
Secara komposisi, ‘Enam Masa’ ditulis dalam bentuk yang kronologis. Namun runtutan peristiwa penciptaan semesta ditulis secara terbalik, sehingga dimulai dari masa terakhir menuju ke awal permulaan penciptaan.
‘Enam Masa’ adalah sebuah kisah tentang kembali menuju ke permulaan.
Secepat menduga percikan api yang selalu menjadi mula dari melangitnya kepulan asap, seperti itu pula FSTVLST melihat perubahan dan kerusakan yang perlahan hadir dalam pandangan mata. Selalu ada penyebab dari apa yang telah terjadi, selalu ada akhir dari setiap permulaan. Farid Stevy menyebutnya dengan praduga, “Jika kita tidak merawat bumi dan kehidupan, maka semesta akan mengajak kita kembali lagi seperti semula.”
Teks ‘Enam Masa’ diawali dengan sebuah puisi yang dibacakan oleh Fanny Soegi. Bait ini serupa mantra untuk mengunjungi ulang apa yang pernah dirapalkan FSTVLST dalam lagu Tanah Indah Untuk Para Terabaikan, Rusak Dan Ditinggalkan: ruang yang megah menjelajah / waktu yang entah berpihaklah / langit yang pemurah berkatilah / tanah yang indah kami datang.
waktu itu, kami kira waktu itu entah
sejak kala itu, berkala kami percaya
bahwa milenia, era, abad, warsa, masa, detik
dan segala sebutan tentangnya
sampai bagian mili, nano, dan mikronya
akan selalu hadir dan berpihak dalam percaya
demi masa
Ada semacam keyakinan yang dipegang oleh FSTVLST tentang tanah indah yang pernah dibayangkan. Peradaban seakan terus menuntun mereka berhadapan dengan satu per satu persoalan tanah (bumi) dan manusianya: kekeringan air, hutan terbakar, pencemaran tanah, polusi udara, dan perubahan iklim, hingga krisis sosial seperti amoral, intoleransi, hingga sikap manipulatif individu.
Ketika kemudian apa yang dibayangkan tentang tanah itu perlahan rusak, tercemar, dan tidak dirawat nilainya oleh perilaku manusia-manusianya, maka segalanya akan terluka dan kembali menjadi tiada.
“Sebenernya kalau semakin ke belakang, kalau merunut kronik terjadinya semesta bukan berarti itu selalu baik-baik saja, tapi ternyata setelah ada manusia yang lebih banyak permasalahan-permasalahannya jadi semakin krusial,” kata Farid Stevy.
“Bagaimana kalau manusia ini sebenarnya nggak ada sih? Harusnya itu bisa lebih baik atau nggak?” imbuhnya.
Album Ketiga: Melanjutkan Pencarian atas Tanah Indah

Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Januari 2015 menobatkan Hits Kitsch (2014) sebagai salah satu dari 20 Album Terbaik Indonesia 2014. Album pertama FSTVLST itu hadir membahagiakan pendengarnya dengan 10 lagu. Butuh sekitar enam tahun untuk FSTVLST merilis album kedua berjudul FSTVLST II di 2020 yang berisikan sembilan lagu.
Dua album tersebut, sudah tentu jauh dari tema-tema yang lebih simpel seperti dalam album Manifesto (2009) melalui grup musik Jenny, entitas sebelum FSTVLST. Sejak itu pula, Farid Stevy cs perlahan meruntuhkan bayang-bayang “The Strokes Wannabe” pada FSTVLST yang pernah melekat pada Jenny. Masa-masa yang lebih identik dengan “muda” dan “kesenangan” itu barangkali telah diistirahatkan Farid Stevy dan Roby Setiawan ketika bertransformasi menjadi FSTVLST.
Kembali kepada single ‘Enam Masa’ untuk album ketiga, perlu juga melihat bagaimana grup ini akan melanjutkan narasi yang telah dibangun sejak dua album sebelumnya. Di antara album Hits Kitsch dan FSTVLST II, setidaknya ada potongan-potongan teks yang dapat dibentangkan dalam satu narasi besar: perjalanan menuju tanah indah.
Menurut Farid Stevy, apa yang dibayangkan tentang FSTVLST di album ketiga adalah susunan cerita yang tak lepas dari narasi di karya sebelumnya. Beberapa tembang sempat disebutkannya, seperti ‘Akulah Ibumu’, ‘Tanah Indah Untuk Para Terabaikan, Rusak Dan Ditinggalkan’, dan ‘Telan’. Sebagai pengingat, lagu ‘Telan’ sebelumnya telah lebih dulu beredar dengan judul ‘Telan Cakrawalanya’ dalam album Doggybarks Compilation Vol. 1 (2014).
“Misalnya setidaknya di lagu sebelumnya ada ‘Telan Cakrawalanya’, terus ada ‘Akulah Ibumu’, ada konektivitas dengan ‘Tanah Indah’. Ke sana kok sebenarnya kita,” ungkap Farid Stevy.
“Kalau kemarin-kemarin kan melihatnya deket banget ya, [seperti] ‘Orang-orang di Kerumunan’ gitu. Tentang pengalaman-pengalaman di panggung, pengalaman-pengalaman di sosial media gitu. Nah ini kita tuh mau loncat agak jauh terus bagaimana kemudian menceritakan penglihatan dari jauh itu supaya tetep relevan dengan mereka [pendengar],” sambungnya.
Kembali ke 2019, ada permulaan yang tanpa disadari Farid Stevy mendasari hal-hal yang dikerjakannya kemudian. Dalam sebuah postingan akun Instagram-nya, tertulis “logika membawa kita ke luar angkasa, rasa mengajak kita kembali pulang merawat budaya”, sepotongan cerita akan gambaran masa depan yang sedang dibayangkan Farid Stevy.
Waktu menuntun Farid Stevy bertemu dengan Resan Gunungkidul, sebuah komunitas pecinta ‘resan’ (pohon pelindung), sumber air, dan ilmu pengetahuan lokal. Kerja-kerja konservasi yang beririsan juga dengan budaya leluhur kemudian jadi jejak langkah yang ditempuhnya hingga saat ini. Dari situlah narasi tentang hal-hal tadi juga larut dalam meja kerja penulisan lirik di FSTVLST.
“Tapi, kalimat singkatnya itu kembali mundur, keluar dari matrix. Kemudian kata kuncinya tradisi, lokalitas, leluhur,” ujarnya.
Untuk menyebut album FSTVLST selanjutnya, Farid Stevy dan Roby Setiawan punya nama tersendiri. “Ini albumnya besok UFO. Oke, Unidentified FSTVLST Object. Masuk,” tutup Farid Stevy sambil tertawa.
Editor: Agustinus Rangga Respati
Foto sampul: FSTVLST/Nein Raka
