Lampah Ziarah Sejarah bersama FSTVLST | Mengunjungi Petilasan Sri Aji Joyoboyo

Rasanya, FSTVLST bukan hanya tentang pertunjukan musik apik di atas panggung, namun lebih dari itu, ada rasa lain yang perlu dirawat.

Mulanya, mungkin rasanya akan sama seperti perjalanan panggung demi panggung FSTVLST (baca: festivalist) sebelumnya. Dua puluh delapan Juli kemarin, kami mendapat kesempatan kali pertama tandang ke salah satu daerah tertua di Jawa Timur, Kediri. Daerah yang dikenal dengan sejarah besar kerajaannya.

Setlist lagu hits mereka siapkan. Diawali dengan Menantang Rasi Bintang, disusul oleh Hujan Mata Pisau sebagai pengingat, sedikit sisipan bait Hal-hal Ini Terjadi, dipungkasi oleh Hari Terakhir Peradaban yang sukses memecahkan ruang panggung yang rendah, cukup luas, lega tanpa barikade. Tangis haru, tawa bahagia, serta hangatnya pertemuan tak usai begitu saja setelah pentas.

Rasanya, FSTVLST bukan hanya tentang pertunjukan musik apik di atas panggung, namun lebih dari itu, ada rasa lain yang perlu dirawat.

Barisan Festivalist berbaris mengantri untuk sekadar foto juga meminta cap tangan para personil idolanya. Mereka bercerita. Mengungkap rasa tentang, “Mungkin, pertemuan-pertemuan macam ini adalah perpanjangan tangan dari apa yang sudah FSTVLST bentuk bersama cinta lamanya JENNY.”

Teman Pencerita. Ya begitulah mereka. Satu kata untuk malam bersama Kediri: bahagia.

Gerbang petilasan Sri Aji Joyoboyo, Kediri (dok. Saka Kamandhanu)

Waktu menunjukan pukul 00.04 dini hari. Di luar skenario pertunjukan, bersama dua personil dan tiga teman, FSTVLST bersepakat untuk menziarahi petilasan Sri Aji Joyoboyo. Sebuah petilasan yang diyakini sebagai tempat moksa salah satu raja kerajaan Kediri. Petilasan ini menurut beberapa sumber bisa dibilang merupakan pusat sejarah dan cikal bakal berdirinya Kediri.

Persis, saya suka perjalanan ini dan apapun yg terjadi. Gumam saya dalam hati.

Segera kami menuju daerah Menang, Pagu, Kab. Kediri. Petilasan yang kami kunjungi ini dipercayai sebagai tempat moksa Prabu Sri Aji Joyoboyo. Beliau dikenal sebagai raja Kediri abad XII. Selain itu, jika kalian pernah mendengar Ramalan Jangka Jayabaya, nah coba cari tahu lebih lanjut ya. Hehehe.

Sampailah kami di lokasi tujuan. Tepat di samping gapura masuk petilasan, kami parkirkan kendaraan. Perjalanan kami mulai dengan rute memutar. Kami memilih untuk menuju petirtaan suci lebih dulu sebelum akhirnya memasuki area petilasan.

Kurang lebih jarak tempuh kami satu kilometer dari area parkir. Suasana tenang, hembusan angin kencang menemani kami selama perjalanan. Oh iya, kami menempuh perjalanan ini dengan jalan kaki. Mungkin ketika dibayangkan, rasanya bisa jadi melelahkan, namun percayalah ini menyenangkan.

Perjalanan menemukan pengalaman dan pelajaran baru segera berlanjut. Selangkah demi langkah, dalam hati terus mengingat, merapal. Yakin dan semakin yakin, tak sering kutemukan cara untuk mengingat dan meresapi.

Dalam tenang langkahku, tiba-tiba kudengar lantunan lagu The Stroke yang digumamkan oleh Mas Farid. Maklum, dia baru saja selesai menunaikan umroh musiknya menonton pentas The Stroke.

Vokalis FSTVLST, Sirin Farid Stevy di Kediri (dok. Saka Kamandhanu)

Sejauh mata memandang, nampak pohon-pohon besar berjejeran. Sepertinya pertirtaan yang kami tuju sudah dekat. Dalam perjalanan, kami menemukan belokan yang menuju ke satu tempat. Pada belokan itu bertanda retribusi dan imbauan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Dari balik imbauan, terdapat rumah kayu yang dari dalamnya kami dengar suara musik langgam Jawa klasik.

Ah, makin menjadi rasanya. kami ikuti belokan itu bersama. Belokan itu mengantarkan kami ke sebuah candì (Hindu). Menyempatkan sowan dan menepi dulu. Suasana tenang malam itu, mendapat dukungan penuh dari semesta. Dari dalam halaman candi, kami ditemani ribuan bintang dan cahaya bulan yang bersinar terang. Ayem, tentrem.

Langkah berlanjut, kami tiba di petirtaan; tempat di mana sumber mata air berada.

Untuk mereka yang percaya, konon airnya mampu menjadi sesuatu seperti apa yang kita yakini. Entah obat, entah ketenangan, entah sesuatu yang lainnya.

Di mana di setiap tempat, kerumunan, keyakinan, kepercayaan selalu dan masih menjadikan air sebagai wujud kesucian/menyucikan. Bagiku, ini adalah ruang suci. Takjub.

Petilasan Sri Aji Joyoboyo, Kediri (dok. Saka Kamandhanu)

Cukup, kami kembali ke titik di mana kami bermula. Gapura menuju petilasan di depan mata. Sungguh, instalasi seni yang berbeda, lengkap dengan aksesoris umbul-umbul warna merah- putih. Sepahamku, ini tanda, seperti warna jenang/bubur merah dan putih adat Jawa. Manis, mengingat mula, dari mana kamu berasal. Gerbang demi gerbang kami lalui, berlapis uluk salam, kula nuwun.

Sampai pada pusatnya, doa kupanjatkan, pun yang lain juga dengan cara dan kepercayaan mereka masing-masing. Kutabur bunga (melati) yang kubawa mengelilingi petilasan. Yakinku, caraku menghargai dan menghormati.

Matur nuwun Gusti Allah, telah diberi kesempatan untuk menjadi saksi atas kuasa dan keesaan-Mu.

Khusyuk, hening. Tak ada satupun dari kami yang melewatkan momen syukur itu. Keindahan ciptaan-Nya, sejarah besar yang pernah terjadi, dan bagaimana masing-masing dari kami memilih sikap untuk saling menghargai adalah hal lain yang patut dan layak kami rayakan bersama. Sebuah pengalaman laku lampah bersama yang mungkin jarang akan kudapatkan.

Semoga ruang, tempat, dan kesempatan seperti ini tak hanya jadi arena destinasi pariwisata yang seakan lupa merawat dan mengingat. Pepatah Jawa bilang, eling lan waspodo ya, silakan diartikan sesuai pengalaman dan pemahaman masing-masing.

Sekali lagi, ucap syukur, bahagia itu memang sederhana. Terima kasih FSTVLST, terima kasih Kediri, sungguh kalian di luar ekspektasi.


Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul:
 Saka Kamandhanu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts