Pagi yang dingin menyapa kumpulan penulis muda dari berbagai penjuru kota Yogyakarta. Udara sejuk Kaliurang mengajak saya dan kumpulan mahasiswa terpilih untuk saling berjabat tangan dan berkenalan. Spanduk bertuliskan “Inclusive Writing for Young Professionals” terpajang di aula kecil sebagai penanda penting dari agenda hari itu. Kami hadir sebagai 25 orang pilihan yang menaruh perhatian besar terhadap tema inklusivitas, termasuk persoalan gender, disabilitas, dan minoritas agama.
Women Empowerment Indonesia dan Write Haus Asia bekerja sama untuk menghimpun jurnalis muda di Yogyakarta dalam sebuah sesi diskusi kritis yang padat. Tertanda Sabtu (20/01), segenap harapan dan kabar baik tertulis di secarik kertas. Kami menempelnya di pohon imajiner sebagai bentuk doa untuk kelancaran kegiatan di hari itu.
Desy Putri mendirikan Women Empowerment Indonesia sebagai komunitas yang berfokus menyuarakan persoalan perempuan. Hari itu terma “inklusivitas” menggaung dan dikupas dari berbagai sisi. Direktur kreatif Write Haus Asia yakni Durga Poonambalam membuka penyampaian materi dengan mengutarakan bahwa kita kerap menjumpai informasi dan kebenaran yang bias dalam dunia kepenulisan hingga hari ini.
Sebelum bergerak lebih jauh, ia bercerita bahwa bagi dirinya menulis adalah cara untuk terhubung melalui emosi. Kekuatan dari kata-kata dapat mengajari kita untuk mencintai maupun membenci. Kata-kata memiliki apa ia yang sebut “a power to ignite change”. Tulisan dapat membawa perubahan sebagaimana kekuatan kata-kata dapat menggerakan hati pembacanya.
Kala itu saya teringat tokoh bernama Violet Evergarden, karakter anime yang menemukan arti hidup melalui pengalamannya sebagai penulis surat di sebuah perusahaan pos. Ia menarasikan apa yang orang-orang rasakan dengan jujur, menciptakan medium alternatif saat tidak semua bentuk ekspresi dapat diucapkan langsung secara lisan.
Dalam sesi presentasi tentang gender dalam ranah jurnalisme, Durga kemudian bertanya mengapa bias lestari bertahan di peradaban kita hingga hari ini? Ketika itu saya merespons bahwa konstruk sosial kita membiarkan bias terus berlaku sebagai wujud kontrol terhadap masyarakat. Maskulinitas dan superioritas menjadi simbol kekuatan. Perempuan terasosiasi dengan karakter sekunder dan lemah sehingga konstruk sosial butuh oposisi biner. Masyarakat disajikan kebenaran biner yang memperlawankan antara benar dan salah, maskulin dan feminim, kuat dan lemah, baik dan jahat, dan masih banyak lagi.
Sebagaimana tanggapan yang dilayangkan Durga, sesungguhnya kita hidup di dalam dunia yang kental dengan pluralitas. Binaritas menjadi sesat pikir yang dipelihara dan secara halus diamini tanpa sadar. Berikutnya, media atau sekolah bahkan menciptakan asosiasi antara gender dan profesi. Presiden, perdana menteri, dan pebisnis terbiasa diasosiasikan dengan profesi maskulin. Buku pelajaran lebih lazim membuat ilustrasi kalimat menggunakan subjek “him” dari pada “her” atau nama Budi alih-alih Wati sebagai subjek utama.
Seorang manusia, misalnya laki-laki, lebih dari itu ingin dipandang dan dihargai dari peran majemuknya sebagai “human being”. Ia bukan hanya seorang laki laki. Ia juga mengemban status sebagai seorang kakak, seorang anak, seorang suami, seorang mentor, sehingga perannya tidak diikat dengan identitas gender yang tunggal dan mengekang.
Pemahaman kita dibingkai ulang kala itu. Penggunaan diksi bias gender pada media mainstream dibongkar bersama untuk membangun dunia yang egaliter. Pendefinisian dikotomis antara diksi “businessman” dan “bussineswoman” ditengahi oleh diksi inklusif seperti “entrepreneur” atau “bussinessperson”. Saya kemudian menyadari bahwa ketidaksetaraan cara pandang profesi juga berlaku ketika ada disclaimer seperti “penulis perempuan” atau “perupa perempuan”.
Ada penegasan dan penebalan diksi “perempuan” sebagai sesuatu yang anomali. Lebih dari itu, ketika mereka tampil sebagai public figure, katakanlah politisi, maka yang disorot bukanlah kompetensi dan kiprahnya. Mereka diobjektifikasi dengan headline media seperti “berikut ini 10 caleg cantik” tanpa peduli program dan kebijakan strategis apa yang mereka usung. Kecantikan dijual sebagai nilai tawar alih-alih profesionalitas sebagai seorang manusia yang berdaya dan bernalar kritis.
Saya lantas tersadar bahwa di lingkup terdekat berlangsung pergeseran wacana yang serius. Label “perempuan perupa” mengganti “perupa perempuan” di jagat seni rupa. Label “perempuan komponis” menggantikan “komponis perempuan” di jagat musik seni sebagaimana forum yang digagas oleh Gema Swaratyagita. Mereka punya misi untuk memposisikan perempuan sebagai subjek utama yang tampil mendahului predikat profesinya.
Dialektika menjelma sebagai pembunuh waktu terbaik bagi jalannya diskusi dan pemrosesan informasi. Perjumpaan antara mahasiswa dari lintas kampus menghadirkan kekayaan sudut pandang. Kala itu saya menjadi satu-satunya mahasiswa dari kampus seni yang hadir di tengah kumpulan aktivis dan anggota pers kampus Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Universitas Ahmad Dahlan, hingga Universitas Sebelas Maret.
Dalam satu sesi diskusi dengan tema yang berbeda, mahasiswa Rachmad Ganta dari kampus UNY menyorot soal bagaimana hewan turut menjadi korban dalam konflik agama. Anjing dengan label hewan haram mendapat perlakuan buruk, seperti diracun dan disakiti oleh sejumlah oknum yang mengatasnamakan agama.
Di sesi diskusi yang lain, Maria Ara dari UIN Sunan Kalijaga mengutarakan persoalan krisis air bersih yang dialami oleh kawasan pemukiman di area pertambangan. Kebutuhan air bersih untuk memasak, minum, mandi, dan berbagai tujuan lain harus terhalang bahkan terhantam dengan segala bentuk resiko kesehatan yang menyertai.
Begitu banyak isu tersampaikan dalam padatnya sesi diskusi. Kembali pada topik gender, selama ini kita tidak menyadari ada hegemoni yang terpelihara dari masa ke masa. Bias gender secara halus turut mewarnai dunia dongeng yang dikisahkan kepada anak-anak. Perempuan dalam kisah dongeng hadir sebagai sosok putri yang harus diselamatkan.
Konsep ini memperlihatkan perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya dan pasif. Mereka hanya menunggu untuk ditolong dan dinikahi oleh pangeran tampan dan gagah berani. Cerita rakyat Jaka Tarub dan Nawang Wulan bahkan mengizinkan kejahatan untuk terjadi secara halus. Sesat logika terproduksi ketika Nawang Wulan dan Jaka Tarub menikah alih-alih Jaka Tarub dihukum sebagai laki-laki cabul karena mengintip perempuan yang sedang mandi.
Durga mengajak kita merekonstruksi ulang bagaimana kisah dongeng bisa dinarasikan lewat sudut pandang yang berbeda. Kita diajak untuk mengubah dan menciptakan dongeng putri kerajaan yang mampu berdiplomasi dan menjadi aktor utama dalam kisahnya sendiri.
Diskusi tidak berhenti pada persoalan gender dan jurnalistik, Ahmad Shalahudin sempat mendiseminasikan isu demokrasi dan minoritas agama, termasuk konsep subalternitas dari Gayatri Spivak yang turut direspons oleh teman-teman mahasiswa. Aprila Wayar hadir sebagai sosok idola, seorang novelis dan jurnalis dari Papua yang kala itu turut membuka mata kita tentang gerakan perempuan Indonesia dari masa ke masa.
Aprila Wayar mengajak saya dan teman-teman untuk berkenalan dengan Rohana Kudus, jurnalis perempuan pertama di tanah air yang menguasai 13 bahasa tanpa pernah mengenyam bangku sekolah. Belum berlangsung 5 tahun ujarnya, Rohana Kudus dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh presiden Republik Indonesia.
Sebagai jurnalis, April turut menceritakan bagaimana peran yang diembannya tidak hanya sekadar meliput dan menulis. Di saat yang sama, jurnalis dituntut untuk membangun empatinya. Dalam perjalanannya menulis tentang korban kekerasan seksual, Aprila mengikuti perkembangan psikologis sang narasumber. Ia bertanggung jawab untuk mendampingi dan menciptakan kenyamanan bagi sang korban. Suasana ini dibangun agar korban bersedia menceritakan dirinya secara jujur dan terbuka.
Sebelum berlangsung coaching clinic bersama para mentor, sesi materi terakhir diisi dengan pengenalan konsep SOGIESC oleh Amar Alfikar. SOGIESC adalah, akronim dari sexual orientation, gender identity, gender expression and sex characteristics. Amar menjelaskan banyaknya identitas gender di luar sana yang tidak kita ketahui melebihi keterbatasan pemahaman biner antara laki-laki dan perempuan. Pembahasan ini cukup sensitif. Kami diajak menumbuhkan kerelaan dan penerimaan terhadap banyaknya gender dan konsep ketubuhan maupun hormon manusia yang begitu kompleks.
Berbicara tentang ketubuhan, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga bernama Aditya Firmansyah menawarkan bahan tulisannya untuk sesi coaching clinic. Di hadapan teman-teman peserta Inclusive Writing for Young Professionals, Adit berbicara soal maskulinitas dan perawatan tubuh. Baginya, laki-laki berhak melakukan perawatan tubuh dan menggunakan produk skincare.
Adit meyakini bahwa perawatan tubuh memiliki pengaruh tidak hanya bagi kesehatan fisik namun juga bagi kesehatan psikis. Pandangan bahwa produk perawatan tubuh hanya melekat dengan dunia perempuan adalah stereotipe yang harus diruntuhkan, terlebih dengan hadirnya banyak produk skincare khusus untuk kulit laki-laki yang beredar di pasaran.
Tanpa terasa agenda Inclusive Writing for Young Professionals harus berakhir. Hari itu kami menumbuhkan perspektif yang tajam, mengetahui perlintasan isu gender dan inklusivitas secara lebih luas dari berbagai area maupun disiplin ilmu.
Perjumpaan dan percakapan dengan sejumlah mentor yang telah berkiprah begitu panjang di arena perjuangan inklusivitas membingkai kembali cara pandang, terutama dalam menarasikan kisah teman-teman yang termarjinalkan di luar sana melalui medium jurnalistik yang inklusif dan tidak bias. Kami membangun kepekaan dan kesadaran tentang pendekatan menulis dan berdialog, terutama berkaitan dengan pengalaman dan isu sensitif yang hadir namun belum tersuarakan di luar sana.
Editor: Arlingga Hari Nugroho
Foto sampul: dok. IWYP 2024